KETIKA COBAAN BERTUBI-TUBI MENERJANG
Oleh: Asep M Tamam*
Dan sungguh Kami akan terus menerus memberikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al- Baqarah[2]: 155-157)
Bencana ekonomi global akibat krisis keuangan di Amerika Serikat menyerang kita tanpa dinyana. Begitu cepat itu terjadi, padahal kita belum mempersiapkan apa-apa. Untungnya, rakyat negeri ini telah terbiasa bersahabat dengan cobaan —dari skala kecil sampai besar— sehingga tak lagi harus panik menghadapinya. Setiap tahunnya, negeri ini tak pernah luput dari musibah. Musim hujan selalu saja ditandai dengan longsor dan banjir. Musim kemarau tak luput dibarengi kekeringan, paceklik dan gagal panen. Belum lagi tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan dan pemukiman warga, dan sekarang, lagi-lagi harga-harga mulai naik karena goncangan ekonomi dunia.
Ayat ke 155-157
Sabar, apalagikah akhlak yang lebih hebat dari sabar? Demikian Musa Kazhim dalam buku ash- shabr fii dhau al- Quran wa as- sunnah. Kata sabar dan derivasinya disebutkan dalam al- Quran lebih dari seratus kali, dan tidak ada akhlak apapun yang melebihinya dalam penyebutan al- Quran.
Menghadapi cobaan
Hari ini adalah bulan-bulan pertama kita menghadapi bencana ekonomi dunia ini sehingga —walau pulihnya disinyalir akan memakan waktu lama— dampaknya belum berat terasa. Sejalan dengan apa yang terjadi, ketiga ayat ini menjelaskan bahwa memang Allah akan terus menerus menguji kita dengan berbagai kehawatiran, terutama ketakutan akan ancaman kelaparan, kemiskinan, kematian juga kekurangan bahan makanan dan buah-buahan.
Di jaman Nabi, cobaan merupakan ‘makanan pokok’ sehari-hari bagi beliau dan para sahabatnya. Tak terperikan rasa pahit dari cobaan yang dialami Nabi dan para sahabatnya, entah di Mekah ataupun di Medinah. 23 tahun perjalanan yang direkam dalam berbagai literatur sejarah menyiratkan kisah bahwa rasa manis yang diwariskannya pada kita umatnya, tidak serta merta hadir dari perjalanan singkat dan mudah, tapi dari perjuangan maha berat dan sangat lama.
Kalau nabi sendiri menyampaikan berita, “orang yang paling berat cobaannya adalah para nabi,” (HR. Bukhari), juga dalam sabdanya yang lain, “sungguh, besarnya nilai pahala seorang muslim disesuaikan dengan beratnya cobaan yang ditanggungnya” (HR. Turmudzi), maka itulah yang telah menginspirasi berpuluh-ratus generasi sesudahnya dalam mengemban misi hidup dan dakwahnya.
Dalam buku the great hundred Moslems, Jamil Ahmad menitik beratkan, dari seratus orang muslim terbesar yang telah tampil dalam pentas sejarah umat Islam, tujuh puluh persen lebih di antaranya adalah mereka yang melewati masa kecil, remaja dan dewasanya dalam kepedihan hidup. Deraan dari barbagai cobaan adalah masa-masa terindah bagi ‘aktor-aktor’ dalam buku itu dalam perjalanan mereka mengarungi kehidupan ini, sampai akhirnya mereka menjadi teladan bagi kita, manusia yang hidup di abad modern ini.
Sabar, demikian Ibnu qayyim, bisa berwujud ‘iffah (menjaga diri) ketika seorang muslim berhadapan dengan godaan naluriah adami semisal seks. Ia akan berwujud qana’ah (memerima seadanya) ketika berhadapan dengan godaan harta duniawi. Ia akan menjelma menjadi hilm (berjiwa besar) bilamana bersinggungan dengan kondisi yang membuatnya harus marah. Ia, akan menjadi waqar atau tsabat (tenang) di saat harus berhadapan dengan sikap lahiriah. Sabar, bahkan akan berwujud syaja’ah (berani) ketika menghadapi musuh. Pada situasi yang mengharuskannya mengumbar dendam, sabar akan hadir dalam bentuk ‘afw atau shafh (memaafkan). Selanjutnya, ketika menghadapi situasi yang melemahkan jiwa, sabar akan menjelma dalam bentuk kayis (cerdas mencari jalan keluar). Ketika harus menghadapi situasi yang menimpakan beban kepada orang lain, sabar akan berubah nama menjadi muruah (menjaga harga diri), sedangkan dalam menghadapi perbedaan kehendak dan pilihan, sabar akan beralih nama menjadi samahah (toleransi).
Sikap terbaik
Sekarang ini, dampak dari ambruknya ekonomi Amerika belum sampai mencekik leher kita. Tapi kita tak pernah tahu seberapa berat beban yang akan ditanggung warga bangsa ini di hari, minggu dan bulan depan. Dari berita media
Pastinya, agama adalah pegangan terkuat (al-‘urwah al- wutsqa atau habl allah) bagi siapapun yang ingin menata hidupnya lurus dalam senang dan lurus dalam susah. Agama pulalah yang menjadi pusat kerinduan manusia modern, orang kaya ataupun miskin dalam membahagiakan dirinya di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba tak menentu ini. Tanpa agama, jiwa akan rapuh walaupun dalam kegelimangan dan kegemilangan materi.
Inilah Islam, agama yang jika kita kaffah dan tak setengah-setengah memasukinya, tak pernah kita akan ragu untuk memasuki babak demi babak kehidupan sesulit dan sepahit apapun. Sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib mengajari kita satu doa, “ya Allah, berikan aku cobaan seberat-beratnya, tapi anugerahkan juga bagiku kekuatan untuk mengatasinya.” Sikap mental seperti inilah yang mahal adanya di jaman ini. Kesenangan demi kesenangan duniawi yang kita kejar selama ini, telah membuat kita terlalu rapuh jika diterjang musibah dan cobaan.
Jadi, kita akan menunggu apa yang akan terjadi esok hari. Sekarang kita mempersiapkan diri dan berharap, kerja keras tokoh ekonomi dan politik dunia —terutama para pemimpin negeri ini— dalam membendung arus bencana ekonomi ini berhasil dan berbuah manis. Kalaupun ekses negatifnya sampai kepada kita, senjata sabar adalah senjata pamungkas yang bisa kita praktekkan.
Wallahu min waraa al- qashd
*dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya
Posting Komentar