Minggu, 31 Mei 2009

Ketika 'Gaji' Pengemis Melebihi Gaji Pejabat

Oleh: Asep M Tamam*

Kemiskinan dan kehidupan manusia tak bisa dipisahkan. Ia hadir untuk menjadi bunga penghias keberagaman kehidupan. Ada kemiskinan yang disengaja, tidak disengaja bahkan ada kemiskinan yang diciptakan. Ada kemiskinan materi, kemiskinan rohani dan ada juga kemiskinan nurani. Dalam segala hal, wacana kemiskinan tak enak didengar sekaligus tak sedap dilewati dalam kehidupan. Sebuah negara disebut terbelakang, berkembang ataupun maju, salah satu patron koherensinya adalah jumlah orang miskin di negara tersebut. Orang Arab mengatakan kata ‘miskiin’ untuk mengatakan kasihan deh loh!

Harian Priangan, Sabtu 30/5 lalu, mengangkat kisah Tini –entah nama asli atau samaran– baramaen yang sukses mencetak anak-anaknya menjadi ‘orang’ dari kerja kerasnya menjual kemelaratan. Kaget juga ketika kita mendapat informasi bahwa pendapatan Tini perhari melebihi gaji para pejabat. Di Tasik, Ciamis dan Garut ia bisa mendapat Rp. 100.000 perhari dari aktingnya memerankan tokoh orang miskin. Sementara penghasilan dua hari, Sabtu dan Minggu ‘berdinas’ di Bandung ia mendapatkan income minimal Rp. 150.000 perhari. Subhaanallaah

Paradoksi kehidupan tengah terjadi, dan kita tak pernah mencari apa hikmah di balik kisah Tini ini. Tini, adalah gambaran kecil dari luasnya cakrawala kehidupan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Kota, di manapun ia, adalah surga yang menjanjkan, terutama dalam wacana kehidupan modern. Tak hanya untuk pelaku bisnis, ternyata kota pun menjadi ‘surga’ bagi para pengemis. Dampaknya pasti mudah ditebak, warna kota jadi terkotori. Di Jakarta, untuk mengurangi hingga mengusir para pengemis, pemda DKI hingga harus mengeluarkan perda untuk mengancam para pemberi sedekah bagi para pengemis dengan denda uang 50 juta rupiah atau enam bulan kurungan.

Tak hanya di Jakarta, di Bandung pun pengemis menyemut. Setiap perempatan lampu merah, area perbelanjaan umum terutama pasar, setiap bubaran jumatan dan acara-acara massal lainnya adalah bagaikan gula yang mudah mereka endus. Dengan berpenampilan kumuh, kisruh, menjijikan dan memuakkan mereka ‘bergaya’ di catwalk kota Bandung yang hawanya beranjak panas ini. Dengan nada sinis para ahli sosiologi di Bandung merubah gelar ‘kota kembang’ dan ‘Paris Van Java’ Bandung dengan ‘kota pengemis’.

Keadaan serupa terjadi juga di Priatim. Di Tasik misalnya, jumlah pengemis, lokal maupun impor luar biasa banyaknya. Mereka datang dengan membawa pasukan kecil hingga balita yang sengaja ‘diteteki’ di tengah halayak ramai. Sebuah proses regenerasi pengemis sedang dan terus terjadi. Ironisnya, mereka mempertontonkan kemelaratan hidup di hadapan kantor pemda dan gedung DPRD yang dihuni orang-orang yang dalam jargon politiknya menjanjikan peningkatan kesejahteraan dan pengentaskan kemiskinan di tatar Priangan ini.

Pengemis Dalam Perspektif Islam
Pengemis, adalah entitas kecil dalam kehidupan manusia yang menyejarah. Para pengemis hidup bukan hanya di negara-negara miskin dan berkembang, tapi juga di negara-negara maju. Mereka hadir bukan untuk dibasmi dan dilenyapkan, tapi untuk dikurangi dengan cara dibina dan diberi harapan. Walaupun penghasilan mereka fantastis –bandingkan dengan guru bantu di beberapa daerah terpencil yang bergaya di atas motor dan menenteng hp, padahal gaji mereka Rp. 200.000/bulan–, tetap saja mereka terhina, bak sampah yang mengumuhi kota.

Dalam sejarah Islam, pengemis telah menjadi elemen penting dalam pengembangan sikap karitas, pilantropi (kedermawanan) dan altruisme. Keanggunan sifat Nabi Muhammad saw., para sahabat dan para tokoh besar lainnya tercermin dari kebiasaan mereka mengorbankan hak-hak pribadinya untuk diberikan kepada pengemis. Nabi sendiri tak pernah menolak permintaan siapapun yang meminta sesuatu kepadanya. Kemasyhuran keluarga harmonis Ali bin Abi Thalib dengan istrinya Fatimah adalah karena pengorbanan mereka kepada para pengemis, walaupun kehidupan keduanya bukanlah refresentasi orang-orang beruntung.

Al- Quran menyebut pengemis dengan saail (tunggal/singular) atau saailiin (jamak/plural). Empat kali al- Quran menyebut saail dan sekali saja menyebut saailiin. Perlakuan dan sikap kita terhadap mereka, tentunya harus mengacu kepada pendapat para ulama tafsir, terutama dalam memahami surat al- Dhuha [93]: 10, “Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya”. Salah satu tafsir kebanggaan warga Indonesia, Al- Misbah karya M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa di satu sisi, Nabi memperingatkan kita untuk tidak menolak orang yang datang meminta-minta. Dalam beberapa hadits beliau bersabda, “janganlah seseorang di antara kamu menolak permintaan walaupun yang meminta-minta itu memakai gelang emas” dan “bersedekahlah walaupun hanya dengan sebiji kurma”. Namun di pihak lain beliau juga bersabda, ”Tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima)” dalam hadits lain, “siapa yang meminta untuk memperbanyak apa yang dimilikinya, maka sesungguhnya ia hanya mengumpulkan bara api neraka” (HR. Muslim).

M. Quraish Shihab juga mengingatkan kita, bahwa larangan menghardik di atas tidaklah berlaku terhadap peminta yang yang sanggup bekerja, usia produktif dan bertenaga kuat. Mereka yang demikian itu perlu diarahkan, dibimbing agar bekerja dan apabila mereka enggan, menghardiknya dengan tujuan menginsafkan merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan.
Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIC Cipasung, dosen LB di STAI Tasikmalaya dan FKIP UNIGAL Ciamis.

Dari Elegi Gedung Dewan, Pilpres hingga Kontroversi Facebook

Oleh: Asep M. Tamam*

“Dua menit!”, kalimat itu sepertinya telah menjadi idiom yang tergumam dari bapak-bapak yang baru keluar dari mulut mesjid, tanda obrolan sabulangbentor ba’da bubaran wirid subuh dimulai. Tradisi itu telah mewarnai sejarah mesjid kami sebelum bapak-bapak itu pulang ke rumah masing-masing. Di undakan mesjid, obrolan berat urusan negara, kelakuan para inohong, rencana kegiatan RT hingga melonjaknya harga cabe merah keriting diulas.

Obrolan dua menit yang terkadang memanjang menjadi setengah jam itu, kadang sampai menghabiskan dua hingga lima topik. Arah obrolan berpindah sesuai celetukan sekena dan semaunya dari peserta ‘rumpi’ pagi itu. Obrolan ringan yang kadang juga berat itu, bagi penulis adalah gambaran kecil dari rangkaian suara rakyat akan berbagai harapan mereka, yaitu terwujudnya kehidupan ideal dalam tatanan ekonomi, sosial hingga politik.

Pagi itu, topik yang sedang hangat dalam wacana masyarakat Tasik adalah masalah perbaikan interior gedung dewan yang menghabiskan lebih dari satu miliar Rupiah dibahas. Dengan geramnya bapak-bapak mengutuk rencana yang sudah berjalan itu hingga bila walikota dan anggota dewan hadir dan mendengar, pastilah kuping mereka panas dan mereka akan marah. Bapak-bapak itu tak tahu bahwa dari sudut pandang hukum, tak ada yang salah dengan proyek yang telah tercium bau di hidung rakyat Tasik itu. “Tapi bayangkan”, kata seorang bapak, “rakyat baru saja terbuai dengan janji demi janji untuk kesejahteraan dan perbaikan hidup mereka, janji yang terucap dari para caleg belum juga hilang dari ingatan mereka, bibir para caleg belum juga mengering, eh, legislatif dan walikota malah hom pim pah mendahulukan kepentingan mereka dan melupakan rakyatnya, manajemen pemerintahan macam apa ini?” bapak tadi, saking bernafsunya menaikkan nada suaranya.

Untuk membelokkan arah pembicaraan, seorang bapak yang rutinitas hariannya menonton berita di televisi mengangkat isu yang lain. Isu yang paling hangat dalam wacana sosial politik hari-hari terakhir ini, juga sebulan ke depan adalah isu pilpres. “Lagi-lagi untuk kenduri politik besar-besaran itu, rakyat dipaksa untuk memilih dan lagi-lagi hak mereka untuk memilih berubah menjadi kewajiban untuk memilih”, katanya. Bapak-bapak tadi lalu bergantian memaparkan ‘presentasi’ dari thesis mereka setelah mencerna berbagai masukan informasi dari berbagai pemberitaan televisi. Semua membawa hasil “kuliah pemadatan” semalam.

Politik, selain menghadirkan wacana serius karena berhubungan dengan ilmu dan seni pengelolaan negara, ternyata ia juga menghadirkan wacana sensitif karena bila seorang calon presiden diunggulkan di hadapan seseorang yang berbeda pilihan, masalah justru akan meruncing dan kemudian menjurus kepada pertengkaran. Politik, selain menjanjikan wacana serius dan sensitif tadi, ternyata juga menjanjikan wacana yang lucu dan menggelitik. Bagaimana tidak, dari mulai pejabat tinggi hingga ketua RT, dari mulai ekonom kelas berat hingga tukang jualan bakso, dari mulai pekerja berat hingga kaum pengangguran, dari mulai pejabat higga penjahat, dari mulai seniman, agamawan, pelaku pendidikan hingga pengamen jalanan, semuanya berhak jadi pengamat politik. Anehnya, tukang becak dan kuli angkut di pasar Cikurubuk menganggap dirinyalah yang paling tahu urusan politik. Dengan penuh keyakinan, seorang pemulung di terminal Indihiang memprediksi SBY-lah calon pemenang pilpres mendatang. Lain di terminal, lain pula di pangkalan ojek, seorang pengojek yang punya kemampuan menggirig opini massa, mengarahkan opini tentang kemenangan JK Juli mendatang. Di sudut lainnya, di pesawahan dan di pinggiran pantai, para petani dan nelayan yakin MSP-lah calon juaranya.

Obrolan bapak-bapak tadi, biasanya dibubarkan oleh ibu-ibu yang sekedar nongol memperlihatkan batang hidungnya di depan suaminya, atau juga bisa jadi dibubarkan oleh teriakan seorang ibu yang menyuruh suaminya segera pulang untuk membantu pekerjaan rumahnya atau sekedar meringankan tugas memperiapkan anak-anaknya yang segera akan pergi sekolah. Namun untuk menutupi pembicaraan, biasanya tersisa satu topik penutup. Kali ini, judulnya cukup berat, yaitu ketika penulis ditanya, apa itu facebook (FB)? Apa urusannya sehingga ulama Jawa Madura mengharamkannya?

Penulis menjawab bahwa benar bahtsul masail XI Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri se-Jawa Timur memutuskan bahwa FB haram. Tentu banyak alasan yang mengarahkan pendapat para ulama yang berkumpul di Pesantren putri Hidayatul Mubtadiat Kediri itu berujung di kesimpulan facebook haram. Seperti fatwa-fatwa haram terdahulu; haram rokok, haram pornografi dan pornoaksi, fatwa haram FB ini juga menuai pro kontra. Wajar saja, anggota facebook saat ini marah, mereka merasa seperti anak-anak yang baru saja punya mainan baru nan amat menyenangkan, –hinggga untuk masuk jalur FB siap menghabiskan waktu berjam-jam– lalu ada pihak lain yang siap merebut dan mengambil kembali mainan itu.

Haram tidaknya FB, hemat penulis, tergantung sejauhmana FB memberi dampak madaharat kepada penggunanya sehingga hak dirinya, hak usaha dan waktu kerja produktifnya, hingga hak Allah (agama) terabaikan. Bila FB haram, maka akan sangat banyak variable lain selain FB yang harus difatwa haram. Memang, ada benang merah antara bermain FB dengan penelantaran waktu ataupun hal-hal yang mengarah kepada perselingkuhan dan perzinahan, tapi itu kasuistis, sementara nilai positif FB tak kalah dari nilai negatifnya. Nilai positif itu misalnya, adalah keanggotaan KH. Hasyim Muzadi (ketua umum PBNU) dan Prof. Dien Syamsudin (ketua umum PP Muhammadiyah) di FB. Tentu, keberadaan keduanya bukan legitimasi halalnya FB, tapi sosialisasi program kerja PBNU dan PP Muhammadiyah setidaknya terwakili dan terbantu dengan kehadiran FB ini.

Yang penting untuk dilakukan, adalah sertifikasi atau akreditasi WARNET! Penulis punya cukup pengalaman ketika harus kehabisan tempat di warnet karena penuh oleh anak-anak sekolah. Di satu sisi, anak anak kita (pelajar SMP dan SMU) di zaman sekarang ini sudah melek teknologi, tidak ketinggalan informasi dan tidak jadul. Tapi, lagi-lagi hemat penulis, nilai negatif keberadaan mereka memenuhi ruangan warnet memunculkan pertanyaan, apa yang mereka perbuat di kamar warnet yang nyelegon itu? Situs apa yang mereka hunting? Apakah berjam-jam keberadaan mereka di kamar itu setelah berbagai kewajiban mereka sebagai anak-anak sekolah dan kewajiban mereka sebagai orang-orang beragama telah terpenuhi?

Bapak-bapak yang khusyuk mendengar “ceramah” penulis pun bubar. Salah seorang di antara mereka nyeletuk, “teu ngarti ah…”

*Penulis adalah peminat masalah sosial keagamaan, tinggal di Tasikmalaya, pengelola asmat-arabiyyatuna.blogspot

Dunia Pendidikan, Dunia Hati Nurani

Oleh: Asep M. Tamam*

Ujian Nasional (UN) yang telah berlalu beberapa minggu ke belakang, ternyata masih menyisakan permasalahan. Katakanlah, bila pun segalanya telah terlupakan, tapi apakah kita rela kerancuan demi kerancuan yang terbiarkan itu terjadi lagi di tahun-tahun mendatang?

Bila kerancuan dunia pendidikan yang terjadi dalam UN itu lolos dari tanggung jawab berbagai pihak termasuk kita semua, dikhawatirkan ke depan akan menjadi sebuah budaya yang melembaga. Budaya korupsi misalnya, pada awalnya hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, namun karena dibiarkan dan dianggap lumrah, maka begitu kuat daya tularnya dan kemudian menjangkiti berbagai tempat, berbagai lembaga dan intansi, lalu mewabah dan menjelmalah sebuah budaya korupsi yang massif.

Di salah satu lembaga pendidikan elit di kota Tasikmalaya, ada penguatan paradigma yang terbangun apik dan menjadi sebuah pilihan pahit dari para pengelolanya. Setiap masa pelaksanaan UN berlangsung, semua pihak; kepala sekolah, para guru dan murid-muridnya ‘memasang kuda-kuda’ dan memagari diri untuk tidak terjebak pragmatisme menghalalkan segala cara untuk menunjang kelulusan siswa-siswanya yang diuji. Asumsinya, lebih baik mendapatkan nilai kecil dan murni tapi memuaskan batin daripada lulus dengan nilai tinggi tapi menyakiti dan menghianati hati nurani.

Deskripsi di atas, tak lebih merupakan gambaran dari dua opsi mikro yang selalu menghinggapi para pengelola lembaga pendidikan kita, entah itu pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Dilema demi dilema tak pernah berhenti menghampiri dan ketika itu harus terjadi, betapa beratnya bagi mereka untuk bermakmum pada hati nurani.

PENDIDIKAN DAN KEMENANGAN HATI NURANI
Tulisan ini, adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya (kebahagiaan hakiki para pejuang ilmu) yang mengurai survive dan bahagianya para pejuang ilmu; para guru, dosen, ulama, terutama guru swasta, guru bantu, guru honorer di negeri ini, walaupun mereka harus melewati hari-hari panjang perjuangannya itu dengan pendapatan minim dan irasional.

Kehidupan sederhana yang ditemani bertahtanya hati nurani dalam tingkah laku dan pilihan-pilihan hidup lainnya, sejatinya menjadi bagian inherent dari semua pengelola dan pelaku dunia pendidikan kita, swasta ataupun negeri. Keterpujian ataupun ketercelaan nama mengintai mereka kala godaan demi godaan datang dari berbagai penjuru. Berbahagialah mereka yang hanya memilih jalur kejujuran dan istiqamah dengan dunia ilmu. Kemanfaatan lahir batin akan bisa dinikmati semua pihak terutama para siswa terdidik. Sebaliknya kerugian massal, lahir dan batin, mengintai mereka ketika untuk meraih nama baik, mereka memilih untuk mengorbankan norma-norma yang disepakati.

Jujur dan tidaknya para pengelola dan pelaku dunia pendidikan kita, akan kuat berimbas pada perilaku para siswanya. Pemberitaan tentang demoralitas siswa-siswa didik di tanah air, tidak serta merta menjadi buah dari serangan boombastis teknologi informasi yang tidak terpagari nilai-nilai agama dan budaya, tapi juga karena nilai keteladanan dan kejujuran para ‘abdi ilmu’ (guru) yang semakin tergusur oleh tuntutan dunia pendidikan yang masih berbasis nilai ujian dan kelulusan. Moral para guru, dosen dan para stake holder dunia pendidikan lalu dipertanyakan.

Harapan akan terwujudnya pendidikan yang tidak melulu mengandalkan dan menitikberatkan sisi kognisi siswa semakin menggema di mana-mana. Sisi afeksi dan psikomotor yang terabaikan selama ini semakin meronta untuk diberikan porsinya yang memadai. Dimensi intelektualitas siswa memang paling penting, tapi bukan berarti dimensi emosional dan spiritual harus terpinggirkan dan kemudian terhempas ke pojokan. Maka dalam hal ini, meruyaknya pelatihan-pelatihan demi kelulusan sertifikasi dan menjual acara seminar demi sertifikat lalu dipertaruhkan.

Nyaman rasanya, bila suatu saat kita menyaksikan dunia pendidikan di negeri ini tidak lagi direcoki oleh kepentingan politik yang sisi negatifnya lalu berimbas pada perilaku para pelaku pendidikan. UN yang sejatinya menjadi ujian para siswa lalu berkembang menjadi ujian bagi guru pengampu, kepala sekolah, kepala KCD, kadisdik hingga kepala daerah (bupati dan walikota). Ke depan, ketika suasana dunia politik semakin nyaman, ketika penyakit-penyakit yang diidapnya sembuh, maka dunia pendidikan kita yang sedang menggeliat, dengan kocoran anggaran yang semakin mengarah kepada kemajuan, maka yang muncul dan menjelma adalah prestasi siswa yang menanjak dan porsi moralitas mereka yang meningkat.

Aib yang tak henti menghempas dunia pendidikan kita, sudah saatnya dibenahi dengan —salah satunya— kembali pada norma-norma yang bersumber pada kedalaman hati nurani yang tak pernah bisa dibohongi. Ketika anak-anak didik kita lulus seratus persen dan hati nurani kita mengakui bahwa hal demikian dihasilkan dari kerja keras ‘bermain’ curang, betapa nelangsanya hati terdalam dan tersembunyi itu. Tapi ketika kerja keras telah dilakukan, doa telah dipanjatkan, mental para siswa sudah dikuatkan dan kejujuran siap diperjuangkan, maka apalagi yang lebih indah daripada taqwa dan tawakal?

Kebahagiaan hakiki para pejuang ilmu, berarti ada dan bertengger pada kemenangan hati nurani. Tertanamnya nilai kejujuran dalam benak para siswa yang dipraktekkan para guru, kepala sekolah dan stake holder dunia pendidikan di depan para siswa, adalah satu di antara beribu jalan untuk menghasilkan anak-anak didik kita yang berakhlak mulia. Dengan demikian, demoralitas para pelajar yang berjangkit, mewabah dan menjadi endemi di negara tercinta ini, lambat laun akan menemui titik akhirnya.
Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIC Cipasung Tasikmalaya, dosen LB pada STAI Tasikmalaya dan FKIP UNIGAL Ciamis, pengelola blog asmat-arabiyyatuna.blogspot

moderat; sikap keagamaan dan politik alumni darussalam

Oleh: Asep M Tamam*

Mungkin Darussalam, khususnya Akang (Pak Kiai, KH. Irfan Hilmi), belum sempat meneliti sikap keagamaan dan politik para alumninya setelah tiga, enam atau sepuluh tahun nyantri, lalu keluar menjadi alumni. Tahunya, mungkin sebatas kabar afiliasi beberapa alumni di beberapa partai, atau terdaftarnya mereka sebagai pengurus di beberapa ormas keagamaan lokal, regional ataupun nasional.

Tulisan ini, mungkin subjektif bila dikatakan refresentasi sikap keagamaan dan politik para alumni Darus —demikian kami menyingkat Darussalam— secara keseluruhan. Dan bila ternyata salah, maka tulisan ini berarti hanya sebatas ‘curhat’ pribadi penulis sendiri. Namun demikian, penulis mempunyai keyakinan —bila penelitian benar-benar dilakukan— bahwa thesis ini bisa dibuktikan kebenarannya.

Saya sendiri, adalah alumnus yang hanya tiga tahun menikmati kedalaman kasih sayang Darus dalam bingkai pendidikan. Sekarang, entah apa nama sekolah tempat kami dibina dulu, atau mungkin sudah hilang tergerus masa, tapi dulu, dua puluh tahun yang lalu, saya dan 40 orang teman sekelas mengukir sejarah diri dalam suka dukanya hidup menjadi murid MAPK angkatan kedua (1988-1991).

Pahit Artinya Manis
Sebelum jauh melangkah ke topik di atas, saya mohon diizinkan menulis pengalaman ‘super’ indah yang telah membawa kami pada posisi seperti sekarang ini. Kalau dihitung-hitung, tiga tahun digodok dalam belanga ilmu di Darus, rasa dukanya lebih dominan dibandingkan rasa sukanya, pengalaman pahit lebih banyak dirasa daripada pengalaman manisnya. Subjektivitas demikian wajar disampaikan oleh sesosok diri yang datang ke Darus dengan modal ilmu yang biasa-biasa saja, pas-pasan dibanding teman-teman yang lebih dulu mematangkan ilmu dan kepribadian mereka di MTs-MTs asal.

Pengalaman pahit dan rasa duka selama tiga tahun itu, bila dirinci takan bisa diulas hanya dalam 5000 characteres tulisan sebuah artikel. Singkatnya saja, bagaimana seorang santri bisa kerasan mengisi hari demi hari dengan efektivitas belajar 15 jam —dari jam empat dini hari hingga jam sembilam malam dengan asumsi, ada dua jam istirahat makan, mandi, qailulah dan canda— perhari. Demikian kuatnya arus kompetisi kala itu hingga jika tidak ikut ‘karapan’, pastilah satu demi satu tunas bangsa itu berguguran sebelum bunganya meranum buah.

Walaupun ‘surga’ Darus bisa dinikmati, itu hanya sesaat saja. Sejak lonceng sekolah di Sabtu siang berdenteng, kami beroleh ‘kemerdekaan’ hingga senja di hari Minggu tiba. Malam Senin menjelang dan kami kembali masuk ‘neraka’. Shalat Maghrib adalah tanda genderang perang mulai ditabuh. Siklus itu berlangsung hingga Sabtu siang hadir kembali di pangkuan. Dalam enam hari itu, sahabat kami adalah al- Quran, buku pelajaran dan kitab kuning. Seharian setiap harinya, mulut kami tak henti “menghitung jumlah huruf” al- Quran, buku dan kitab kuning itu. Jam satu siang, ketika anak-anak SMA pada umumnya sudah santai di depan TV sambil ongkang kaki dengan makanan ringan di tangan, kami justru harus mengenakan kembali seragam putih abu, melanjutkan misi, memforsir perangkat ilmu untuk lagi dan lagi membaca, menulis, menghafal, diskusi, mengonklusi dan menyantap aneka hidangan berbagai ilmu dari para guru.

Tanah Ciamis umumnya merah bata. Bila kering pecah dan bila hujan lengket. Kemarau atau pun musim hujan sama menyiksanya. Kemarau hanya menyisakan sedikit air hingga untuk mandi harus terlebih dahulu berkompetisi memperebutkan air ‘bajigur’ yang lecek. Jika tak mandi, kami takan bisa melawan panasnya hawa Ciamis dan tidur malam pun pastinya berteman mimpi buruk. Musim hujan pun tiba dan kami yang duduk di kelas tiga, telah terlatih dengan ledoknya tanah merah bata yang leueurnya minta ampun itu. Dulu, di tahun pertama, kami pergi ke mesjid dan harus berjibaku melawan leueurnya jalan menurun menuju mesjid. Seringnya kami tisorodot, tikosewad, tigorewal, tijumpalit dan tijurahroh. Saya sendiri, sumpah! dalam sehari pernah tiga kali ganti sarung.

Bila jam makan tiba, dada kami berdetak lebih kencang bagai genderang mau perang. Kami benar-benar khawatir dengan nasib piket penggotong nasi, terutama nasinya, akankah perjuangan keras piket penggotong nasi tiba di warung bu Dedeh dengan selamat? Apakah jalan licin itu mampu ditaklukkan? Bila tidak, kami haris kembali pulang ke kamar, sambil memukul-mukulkan sendok ke piring, berjama’ah bersama-sama.

Pak Kiai dan Sikap Moderat Kami
Di tengah suasana serba ‘mencekam’ itu, kebersamaan yang terajut antar teman sekelas dan sobat seasrama, ditambah suhu keilmuan Darussalam yang menakjubkan membuat suasana mencekam itu menjadi cair. Sampai hari ini, ketika ada acara di Darus yang sengaja saya ambangi, tradisi intelektualitas yang terbudayakan itu masih tertata apik dan menjadi alasan kuat kenapa orang tua kami dulu menyekolahkan dan memesantrenkan anak-anaknya di ranah nyiur melambai itu. Satu hal yang harus ditiru pesantren lainnya di wilayah Priatim, adalah budaya baca yang sudah terbenam kuat di kalangan santrinya. Berbagai harian surat kabar lokal maupun nasional bisa dibaca setiap harinya di MTs, MAN, IAID, perpustakaan Darussalam dan rumah keluarga pak kiai; santapan penutup di samping bacaan utama, buku pelajaran dan kitab kuning.

Di atas segalanya, sebenarnya ada faktor lain yang membuat kami bisa betah menggayung samudera ilmu Darussalam, ia adalah sosok pak kiai, juga civitas academica pesantren; guru-guru, pengurus pesantren, keluarga besar pak kiai dan lingkungan sekitar yang melebarkan pintunya untuk kami semua sebagai pendatang yang jauh dari keluarga. Sosok yang sering mengatakan dirinya ‘bapak’ dari semua santrinya dan tidak membedakan siapa dari siapa ini, adalah perekat bathin yang tak seperti leader yang sok mengatur, tapi sebagai manager yang mengayomi semua unsur dengan penuh tanggung jawab.

“Anak-anakku”, kata-kata itulah yang terekam kuat dan takan terlupakan dari pak kiai. Suara lirihnya yang sangat dijiwai itu selalu saja membuat kami ‘merinding’ dan sejenak melupakan orang tua kami, lalu bangga dengan sosok bapak penyabar, bijak dan ikhlas menjaga keseimbangan langkah kami kala itu. Kata-kata itu juga yang kami lantunkan di hadapan anak didik kami dan nyatanya, semua yang mendengarnya terdekap dalam kedalaman kasih sayang.

Sayang, kami hanya tiga tahun merasakan kehangatan pribadi khas pak kiai. Kepemimpinannya dalam mengatur arah Darus, di tengah usianya yang tak muda lagi, telah berhasil mengantarkan Darus menjadi pesantren modern, inklusif, dan multi prestasi. Layaknya madu, manisnya Darus telah tercicipi oleh berbagai kalangan, suku, organisasi dan lainnya. Kesatuan dari berbagai unsur perbedaan latar belakang siswa yang datang ke Darus, menjadi unsur terpenting dalam mengarahkan pilihan dan sikap para santrinya setelah kelak keluar dari Darus dan berkiprah di masyarakat. Bila dulu pak kiai mengarahkan santrinya kepada fanatisme buta dan kepentingan sektarian, maka sikap yang terbangun di setiap benak alumni pasti tak seindah apa yang terjadi hari ini. Ikhtilaf latar belakang santri yang sebagian NU, sebagian lainnya PERSIS, Muhammadiyah, PUI, thariqah dan lainnya berhasil diramu dalam bingkai ittifaq, lalu muncullah keanggunan ukhuwah; hal yang di zaman sekarang ini tak mudah untuk diamalkan di tengah-tengah masyarakat biasa.

Maka di manapun alumni Darussalam berada, ia —harusnya— memperlihatkan maturitas (kedewasaan) sikap ketika ‘terpaksa’ ada dalam kepentingan organisasi massa atau partai politik dan berhadapan dengan kepentingan berbeda dari berbagai arah. Fanatisme buta dan kepicikan berfikir yang dibawa dari kampung halaman —dan itu modal saya sendiri ketika datang ke Darus— nyaris terpangkas habis di tahun-tahun yang penuh kesan dan kepuasan bathin ini.

Dulu, di tiga tahun yang terenyam itu, saya mencoba menyelami kedalaman makna dari visi Darussalam mencetak muslim yang mederat, mu’min yang demokrat dan muhsin yang diplomat. Setelah tak berhasil memaknai tiga kata kunci (moderat, demokrat dan diplomat) itu, maka setelah keluar dan menyelaminya di permanent system, kehidupan nyata, maka jawaban sebenarnya terhidang begitu dekat.

Contoh kecil dari sikap moderat —satu saja dari tiga visi itu yang diangkat dalam makalah singkat ini— adalah apa yang saya alami sendiri (ma’af narsis). Ketika itu, Al- Muttaqin, yayasan elit di Tasikmalaya membutuhkan seorang ‘ustadz’ untuk mengisi pengajian mingguan orang tua murid. Pengajian ini adalah ajuan orang tua murid yang ingin ikut belajar mengaji seminggu sekali di komplek SMP SMA yang megah itu. Ustadz yang dibutuhkan tadi ternyata harus berkeriteria moderat. Saya, kebetulan punya koneksi dengan seorang guru di yayasan itu yang mengenali luar dalam kemoderatan sikap saya dalam perbedaan sekecil apapun di dalam wacana keagamaan bahkan juga politik. Lima tahun kebersamaan bersama ibu-ibu yang berlatarbelakang berbeda; NU, Muhammadiyah dan Persis itu telah mengajarkan saya bahwa visi Darus mencetak muslim moderat, titik kuncinya ada pada pengalaman nyata.

Last but not least, kita, pembaca khususnya, bisa mendulang kekayaan sikap moderat dari para alumni Darussalam di manapun mereka adanya. Fanatisme berlebih sepertinya tak koheren dengan alumni Darussalam. Jika pun dalam prakteknya masih ada yang bersikap demikian, maka ia harus kembali ke pangkuan Darussalam, dan mesantren lagi barang tiga, enam atau sepuluh tahun.
Hasbunallaah wa ni’mal wakiil

*Penulis adalah Alumni Darussalam 1988-1991, tinggal di Tasikmalaya. DPK UIN Bandung di IAIC Cipasung. Dosen LB STAI Tasikmalaya dan FKIP UNIGAL Ciamis. Pengelola blog asmat-arabiyyatuna.

Selasa, 12 Mei 2009

tasik antara santri, gay dan babi

Oleh: Asep M Tamam*

Siapa orang Tasik yang tak bangga dengan Tasik? Pastinya tidak ada. Kota cantik tempat tinggal kita semua ini -dengan hawa sejuknya yang membetahkan- terkenal karena tangan penduduknya yang motekar. Tikar mendong, kelom geulis, sandal kulit, payung geulis, berbagai karya bordir, berbagai karya kerajinan tangan, batik dan lainnya menjadi bukti nyata kemotekaran warga Tasik.

Tengoklah di setiap jengkal tanahnya, gunung, laut, kekayaan bumi dan letak geografisnya yang luar biasa indahnya. Lihatlah juga mojangnya yang gareulis dan jajakanya yang karasep dengan adat priangannya yang sopan dan pikayungyuneun. Intip juga di setiap pori-pori kampungnya, lantunan suara merdu dari load speaker masjid mengumandangkan lantunan bacaan al- Quran dan puji-pujian; sebuah tradisi yang berpuluh-puluh tahun telah terbina apik, wujud dari nafas religis warganya yang selain nyakola juga nyantri. Nikmati juga pemandangan di tiap sore hari, tak ada aktivitas bagi ibu-ibu kita selain mengaji. Bagi mereka, slogan ”tiada hari tanpa mengaji” sudah menjadi nafas dan mendarah daging dalam keseharian. Perhatikan juga rutinitas di pesantren-pesantren, siapa yang tak reugreug menyaksikan anak-anak kita digembleng siang dan malamnya untuk menjadi penerus tradisi kesalehan masyarakat Tasik.

Di Tasikmalaya (kabupaten dan kota) pada tahun 1993 tercatat 613 pesantren dengan jumlah santri 61.000 orang. Data tahun 2009 menyebutkan di kabupaten Tasikmalaya terdapat 604 pesantren dengan jumlah kyai 837 orang, jumlah santri laki-laki 41.203 orang dan 38.241 santriwati. Di kota Tasikmalaya, data terbaru mencatat jumlah pesantren 249 buah dengan 19.093 santri mukim dan 29.541 tidak mukim. Ini adalah prestasi membanggakan di mana Tasik menjadi wilayah tingkat dua di negeri ini yang menampung pesantren dan santri terbanyak.

Di Balik Kebanggaan itu
Kentalnya aroma Tasikmalaya dengan nuansa ‘seribu santri’ bisa disaksikan dari wara-wirinya para kiai dan para santri yang hilir mudik di setiap tempat dan sepanjang jalan, dari utara sampai selatan dan dari barat sampai timur hingga di pusat kota Tasik. Hal ini diperkuat dengan visi “religius Islami” yang senantiasa dipegang teguh dan menjadi wacana yang terus mengumandang di tengah warganya.

Namun di balik kebanggaan itu, hari-hari terakhir ini Tasikmalaya diguncang dua isu menghebohkan; gay dan babi. Ke-kotasantri-an Tasikmalaya lalu dipertaruhkan dan dipertanyakan. Akankah predikat yang telah lama melekat dalam wacana ke-Tasik-an itu akan terus tergerus dan rasa keagamaannya akan bertambah hambar? Ataukah Tuhan sengaja menghadirkan dua isu besar ini agar kita semua introspeksi dan memperkuat barisan agar radiasi daya cemarnya tak bertambah luas.

Di atas segalanya, dua isu besar itu cukup mengganggu suasana nyaman Tasik pasca kerusuhan Desember 1997 yang adem ayem. Isu gay yang tak bisa dianggap main-main itu misalnya, harus menjadi bahan kajian berbagai elemen dan isu ini adalah kesalahan kolektif warga Tasik. Jangan-jangan, selama ini semua sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga semua dibuat terlena. Pemerintah sibuk dengan program-programnya, para ulama sibuk mengasuh santri dan jamaahnya, anggota dewan sibuk dengan kampanye dan dunia politiknya, para guru, civitas akademika kampus, para pengusaha dan para tokoh warga masyarakat sibuk dengan dunianya masing-masing sehingga akhirnya kecolongan.

Harus diakui, bila benar entitas kaum homo itu ada di Tasik dan jumlahnya benar fantastis yaitu 900 orang, ini benar-benar memalukan sekaligus memilukan. Jumlah itu bahkan disinyalir lebih banyak dari jumlah gay yang ada di padayeuh Bandung. Namun sekali lagi, tak elok rasanya bila kesalahan itu dialamatkan ke salah satu alamat karena ini adalah kesalahan kolektif yang hadir tidak untuk diratapi, tapi agar semua elemen sinergis dan bergerak ke depan mencari solusi mengembalikan anak-anak kita ke jalan yang lurus dan mencerahkan.

MUI sebagai garda terdepan dalam menjamin kesehatan rohani warga Tasik, harus lebih pro aktif dalam menangani masalah serius ini untuk mengurai benang kusut yang terjadi di tengah-tengah umatnya. Bila ketua MUI kota Tasik yang di awal kemunculan isu gay ini berjanji untuk segera bergerak dan sinergis dengan pihak kepolisian, maka kita sebagai warga Tasik harus mendorong dan menjadi bagian dari proses itu. Tentunya, kita tengah menunggu janji ketua MUI itu digodok hingga matang dan diimplementasikan dalam bentuk aksi nyata, tentunya lebih lekas lebih bagus.

Bila di Amerika, Eropa dan di negara-negara besar dan demokratis lainnya homoseks merupakan fenomena biasa, tapi di Tasikmalaya yang nyantri dan agamis, hal ini luar biasa, kita harus mengkaji ulang dan mencari solusi terbaik agar herang caina, beunang laukna. Di tengah wacana digulirkannya perda syari’ah, di kala kasus-kasus yang menimpa anak-anak Tasik terus diangkat dalam pemberitaan media, maka isu gay ini harus menjadi prioritas utama mengingat “daya tularnya” yang sporadis dan sangat cepat.

Tak hanya kasus gay, munculnya kasus global yang menjadi bahan kewaspadaan warga negara kita, flu babi (H1 N1) memunculkan kembali wacana RPH (rumah pemotongan hewan) babi yang lokasinya ada di wilayah hukum kota Tasikmalaya. Dilema besar bagi pemerintah kota dan kabupaten Tasikmalaya ini harus didiskusikan ulang oleh pemerintah, DPRD, para ulama dan tokoh masyarakat lainnya sehingga opsi terbaik, sepahit apapun hasilnya bisa menjadi pegangan. Lokalisasi ‘barang haram’ ini tak ubahnya seperti lokalisasi WTS, artinya dilokalisasinya babi ini di satu tempat saja, agar dampak negatifnya –seperti dikatakan drh. H. Budi Utarma, kadis peternakan, perikanan dan kelautan kabupaten Tasikmalaya, Priangan 6/5- tak sampai meluas dan mencemari kehidupan warga Tasik secara umum.

Islam yang diajarkan para ulama kepada umatnya, khususnya di Tasikmalaya telah menempatkan babi pada posisi yang begitu kotornya. Maka amatlah wajar ketika isu global flu babi ini muncul, mata warga Tasik kembali terbelalak. Mereka pun akhirnya tahu bahwa permintaan pasar di Tasik, Banjar, Ciamis dan kota lainnya akan daging babi cukup tinggi. Dilema seperti tahun-tahun ke belakang itu lagi-lagi menyeruak.

Akhirnya kita berharap, keseriusan berbagai pihak dalam menangani dua isu besar yang melanda warga Tasik ini segera menemukan jalan keluar terbaiknya. Tentunya kita tak ingin gara-gara dua isu ini semua kalangan menjadi katempuhan, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Maka gebrakan para pemimpin kita dalam menyelesaikan masalah ini, tak sabar kita nantikan.
Wallaahu min waraa al- qashd

Penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAI Cipasung dan dosen LB STAI Tasikmalaya dan FKIP UNIGAL Ciamis.

Senin, 27 April 2009

belajar dari Jajang dan Tian

Oleh: Asep M Tamam*

Tahun ajaran 2008/2009, bagi IAIC Cipasung terasa cukup istimewa. Di kelas tingkat satu fakultas Syari’ah, jumlah mahasiswa yang hadir di kelas dua orang lebih banyak dari mahasiswa yang tercatat di absensi. Ternyata, dua orang tersebut adalah pendamping dari dua mahasiswa sebenarnya yang bernama Jajang L Amarullah dan Tian Jayanti Lestari.

Jajang dan Tian adalah mahasiswa tuna netra yang karena kelebihan yang Allah titipkan di balik keterbatasan fisiknya, sampai juga ia di bangku kuliah. Walau masih menyisakan guratan kekakuannya di hadapan teman-temannya yang ‘normal’, tapi Jajang dan Tian tetap memantapkan injakan kakinya di kampus, melawan panasnya hawa Tasik yang belakangan terus meninggi maupun hujan deras yang masih menyisakan curahan-curahan terakhirnya. Mereka berdua yakin dan optimis bisa menyumbang saham bagi berjayanya Tasikmalaya.

Penulis sendiri, setelah setahun ini mengajar di kelas mereka tergoda untuk mengangkat keteladanan dua anak muda yang Allah jaga matanya dari jutaan godaan dosa yang setiap saat mengepung mata orang-orang normal. Kali ini, ketika awal bulan Mei sebagai bulan pendidikan bagi warga Indonesia tiba, kisah Jajang dan Tian dirasa sangat layak untuk diapresiasi sebagai bahan refleksi.

Masih Ingatkah Anda Dengan Orang-orang Hebat Ini?
Menghayati semangat belajar Jajang dan Tian, penulis ingat Michio Inoue. Ia adalah juara nasional di Jepang untuk karya tulisnya, Air Mata Ibu dan Diriku Dalam Genggaman. Ternyata anak ajaib itu adalah seorang tuna netra yang sejak lahir ia buta dan terlahir dengan berat 500 gram saja.

Tangan dingin seorang ibulah yang membuat Michio Inoue lalu menjadi inpirasi bagi jutaan orang di dunia untuk tidak menyerah dengan keterbatasan fisik. Selain mengilhami penduduk dunia akan makna terdalam dari rahasia “kerja keras” dan “belajar keras”, kehadirannya pun menjadi dorongan kuat bagi siapapun yang terlahir dalam keadaan normal agar tidak terlena dengan kesempurnaan fisik.

Selain Michio Inoue, masih banyak lagi manusia pilihan lainnya yang lahir dan menjadi ilham prestasi bagi anak-anak dunia. Sebut saja misalnya Hee Ah Lee dari Korea. Ia menjadi pesohor dunia sebagai seorang pianist anak-anak. Hee Ah Lee berhasil memukau dunia dengan permainan pianonya walaupun jari-jari tangannya hanya empat jumlahnya. Selain itu, dua telapak kakinya adalah lutut, artinya ia tak punya kaki.

Di Indonesia, kita mengenal Titiana Adinda. Ia adalah penulis yang memulai karyanya setelah mengidap penyakit Meningoensafalgtis tb (infeksi selaput otak disertai TB). Setelah sempat beberapa hari koma, ia sadar kembali dan mengalami kelumpuhan. Selain Titiana Adinda, ada juga Bahril Hidayat Lubis, penulis buku Aku Tahu Aku Gila. Ia adalah bekas orang gila (Psikosis) yang sembuh dan karena IQ-nya cukup tinggi dan berkarya, ia mampu menyumbangkan sesuatu yang bisa menjadi rujukan ilmu bagi para psikolog dan penyembuh penyakit kegilaan.

Tapi yang paling menakjubkan, adalah Prof. Randy Pausch. Ia adalah professor computer Universitas Carnegie Mellon, Amerika. Setelah dokter bidang medis memvonisnya memiliki sisa umur hanya enam bulan lagi karena sepuluh tumor ganas menyerang pankreasnya, ia dan kawannya, Jeffrey Zaslow menulis The Last Lecture (Pesan terakhir). Tak ia nyana, karyanya telah diakses oleh lebih dari tiga juta orang dan situsnya, YOUTUBE.COM telah mampu menguras air mata mereka.

Refleksi Hari Pendidikan Nasional
Anak-anak kita, siswa dan mahasiswa dewasa ini tengah menghadapi masa-masa yang cukup berat berkenaan dengan keberadaan mereka sebagai tunas-tunas bangsa. Di balik seabreg kegiatan yang membanggakan dan torehan berbagai prestasi di tingkat nasional dan internasional di bidang sains, matematika, fisika, olahraga dan lainnya, mereka pun dihadapkan dengan berbagai pemberitaan minor dan pejoratif, seperti kasus brutalisme, seks bebas, narkoba dan kasus-kasus lainnya.

Hari Pendidikan Nasional tahun ini, seharusnya direfleksi dalam rangka meningkatkan semangat belajar dari anak-anak negeri. Bangga rasanya bila di pagi buta, kita berada di kawasan pegunungan, perkampungan terpencil dan wilayah-wilayah yang jauh dari perkotaan dan kendaraan umum. Sejam lebih mereka menghabiskan perjalanan berkilo meter, melewati lembah, ngarai dan menyebrangi sungai menuju sekolah. Ketika jam pelajaran di sekolah habis, mereka kembali melewati waktu dan melalui jalan yang sama. Di jalan becek yang dilewati, mereka membuka sepatu butut mereka dan sampai di tempat tujuan, baju mereka kotor oleh keringat dan cipratan air bercampur lumpur.

Di perkotaan, kita juga bangga menyaksikan anak-anak kita berjuang dan berkeringat di tengah jubelan penumpang kendaraan umum. Pagi-pagi adalah saat paling mengharukan menyaksikan ribuan anak-anak kita berpacu memburu masa depan dengan wajah optimis penuh keceriaan. Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri mereka seiring seleksi zaman yang akan menentukan nasib mereka di masa depan kelak.

Sayangnya, kehausan mereka akan ilmu dan kerinduan mereka akan figur teladan sering ternoda oleh ulah segelintir oknum dari kalangan mereka sendiri. Hal inilah yang harus menjadi “titik refleksi” lainnya bagi para pemegang kebijakan negeri ini untuk lebih intens menggodok ‘ramuan ampuh’ dalam rangka membenahi sistem pendidikan di tanah air. Bila hal itu terwujud, anak-anak didik kita dan orang tua mereka akan bahagia dan tak ada kekhawatiran dalam rangka menyongsong nasib yang lebih berpihak kepada mereka di hari esok.

Kembali ke Jajang dan Tian. Setiap kali memandangnya, penulis melihat adanya kelemahan dalam fisik ataupun raga mereka. Mereka tak leluasa dalam bergerak dan beraktivitas sehingga dunia pun, bagi mereka tak seluas apa yang biasa dinikmati orang-orang normal. Namun ke-Mahaadilan Allah swt memberikan keyakinan kepada kita bahwa orang-orang seperti Jajang dan Tian pastilah mendapatkan ribuan jalur kebahagiaan yang tidak diberikan kepada orang-orang normal seperti kita. Maka persoalannya adalah, sudah seberapa kuatkah tenaga batiniah kita -bila dibandingkan dengan tenaga bathiniah Jajang dan Tian- dalam mencintai ilmu pengetahuan dan mentransformasikannya kepada keluarga, kerabat, tetangga dan lingkungan sekitar kita?
Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAI Cipasung, juga dosen LB STAI Tasikmalaya dan UNIGAL Ciamis

ulama dan pencerahan politik umat

Oleh: Asep M Tamam*

Harus diakui, kondisi politik pasca pemilu terdegradasi pada kondisi yang carut marut. Tapi naif dan kurang adil rasanya, bila berpuluh dan beratus kerancuan pemilu legislatif yang telah berlangsung hanya ditujukan kepada kesalahan KPU semata. Bila jujur kita membuka mata hati, jauh sebelum pemilu digelar, prediksi tentang berbagai kemungkinan buruk yang akan menimpa dunia politik kita —bila dihubungkan dengan perilaku para politikus kita di lapangan dan sistim pemilu yang diterapkan— nyatanya benar-benar terjadi.

Jauh sebelum 9 April tiba, benih-benih konflik politik dengan segala resikonya telah terbaca sejak awal. Stress caleg dan tim sukses yang ‘kalah perang’, protes dan gugatan berbagai kalangan dan gejala-gejala lainnya yang mengarah pada instabilitas politik telah diwanti-wanti akan terjadi. Kita masih ingat ketika itu, para caleg dan perwakilan setiap parpol, dari pusat hingga daerah berjanji dan berikrar damai dan di hadapan KPU, kepolisisan, mahasiswa, para ulama, wartawan dan masyarakat lainnya. Kini, semua itu benar-benar berbeda dan berubah dan berbagai prediksi tentang akan munculnya ‘watak asli’ para politikus kita itu ternyata tak meleset.

MENENGOK KE BELAKANG
Keran politik yang dibuka di awal musim kampanye, lalu semakin menggelontor ketika MK mendefinisikan kemenangan caleg mengacu kepada perolehan suara terbanyak, membuat seluruh caleg berkompetisi secara ‘habis-habisan’. Siapapun anggota masyarakat, dari kelas teri hingga kelas kakap lalu menjadi pengamat yang intens mengomentari tingkah dan kelakuan para caleg.

Kerancuan itu bermula dari sini. Tak ada satu kekuatan pun yang bisa menekan dan menghentikan jutaan, puluhan, ratusan juta hingga miliaran rupiah uang haram, sekali lagi uang haram yang mengalir deras dan hinggap di berbagai kantong saku, utamanya rakyat miskin di kota sampai masyarakat terpencil. Sampai di sini, tak ada satupun kekuatan yang memberikan pencerahan dan pencerdasan, utamanya dari perspektif agama bahwa kelakuan memperebutkan jabatan dengan mengeluarkan amunisi materi besar-besaran itu ‘tak elok’ di mata agama.

Sekarang ini syndrom stress ringan dan berat hingga gejala kegilaan menghinggapi para caleg dan tim suksesnya yang kalah dan tak ada satu kekuatan pun yang bergerak untuk mengantisipasi dari awal agar hal-hal demikian tidak terjadi. Ketika hal itupun akhirnya terjadi, lagi lagi blaming the fictim, menyalahkan pihak luar menjadi bagian penting yang berpotensi menambah keruh suasana.

MENANTI KERJA KERAS ULAMA
Mu’adz bin Jabal, tokoh sahabat nabi yang masyhur akan ketinggian kharismanya pernah menyatakan, “Ulama adalah hamba-hamba Allah yang terpilih. Tingkah, ucap, dan langkah mereka adalah panduan dan referensi bagi umat. Segala permasalahan umat, dari yang ringan hingga yang berat selalu terselesaikan dengan campur tangan dan keterlibatan mereka. Betapa cintanya segenap ciptaan Allah, di darat juga di laut kepada mereka…”

Berwarnanya masyarakat Islam selalu identik dengan kehadiran para ulama. Lintasan zaman pun lalu melahirkan jutaan ulama shalih, berilmu tinggi dan bukan hanya sebagai pengasuh umat dalam hal keilmuan dan keagamaan saja, tapi bahkan hingga melampaui wacana sosial hingga politik. Dalam hal ini, ribuan buku terbit dalam rangka ‘membenamkan’ berbagai dimensi positif mereka di hati umat.

Zaman modern sekarang ini, warna para ulama pun semikan beragam. Tantangan hidup mereka yang didedikasikan di jalan dakwah pun semakin hebat. Kini, rambahan kaki mereka hingga memasuki wacana perebutan jabatan dan kekuasaan. Maka tak ayal, posisi umat pun berubah. Tak seperti dulu di mana posisi ulama ada di wilayah uncriticable atau sakral, zaman modern ini praduga umat kepada mereka seiring sejalan dengan gerakan sosial politik yang mereka tempuh.

Posisi ini dikhawatirkan semakin merosot ketika keberadaan mereka di ‘panggung kotor’ politik tak memberikan signal positif. Alih-alih ingin mengasuh arah politik dan mengarahkannya ke jalan yang lebih bermartabat, posisi para ulama yang ‘polos’lah yang justru dimanfaatkan ‘oknum-oknum’ tertentu dan lalu menjadikan misi ulama di kancah politik semakin bias. Alih-alih ingin menyucikan dunia politik dari berbagai unsur syubhatnya intrik-intrik dan haramnya suap politik, kaum ulamalah yang justru “dikhawatirkan” menjadi bagian darinya. Bila kekhawatiran itu lalu terjadi, maka unsur kekuatan apalagikah yang bisa bergerak untuk membersihkan dunia politik?

Teriakan-teriakan dari luar panggung agar ulama kembali ke umatnya, khusyu’ melayani mereka dan melangkah menjauhi ‘wilayah abu-abu’ politik nyaris tak didengar. Seiring datangnya musim politik, umat nyaris tak bisa memisahkan mana ulama dan mana yang bukan ulama ketika eskalasi suhu politik meningkat. Dari titik inilah lalu gerakan pemurnian nilai-nilai ideal dalam berpolitik terhambat dimunculkan.

Rabu (15/4) kemarin, Majlis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten Tasik menggelar musdanya dan sukses mengantarkan KH. Ii Abdul Bashit, ulama muda kharismatik sebagai pucuk pimpinannya. Ulama pengasuh PP. Sukahideng yang sangat dihormati dan dibanggakan santri-santrinya ini —penulis tahu hal ini dari obrolan ringan dengan para santri PP. Sukahideng yang kuliah di IAIC, tempat khidmat penulis— tentunya akan menjadi harapan baru di di kabupaten Tasik bukan hanya dalam membebaskan area Tasik dari faham dan aliran sesat, tapi juga dalam rangka mengembalikan pamor para ulama ke posisi terlayak ketika mereka terpaksa harus ancrub ke dalam kolam politik atau sudah kaduhung terpilih dan melenggang ke gedung dewan.

Harapan umat begitu kuatnya agar dunia keulamaan di tanah air, khususnya di Tasikmalaya, bisa bersih dari segala unsur kepentingan politik. Harapan lebih kuat lagi adalah bila mana para ulama ada di wilayah imparsial (netral) ketika musim politik tiba. Bila demikian halnya, maka ulama ada di pihak yang bisa memberi jalan tengah, pencerahan dan pencerdasan politik. Jebakan demi jebakan yang terpasang untuk mengeluarkan para ulama dari dunianya dan masuk ke wilayah pragmatisme, seringnya membuat umat ambigu.

Tulisan ini merupakan resume subjektif dari bincang-bincang ringan penulis dengan teman-teman mahasiswa dan rakyat di dataran paling bawah yang berada di luar pagar politik. Diharapkan, tulisan ini memberi sumbangsih pemikiran dan wacana yang bisa didiskusikan dalam rangka optimalisasi peran ulama dalam pencerahan politik umat.
Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah peminat masalah politik, keagamaan dan keulamaan. Tinggal di Tasikmalaya

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO