Senin, 27 April 2009

belajar dari Jajang dan Tian

Oleh: Asep M Tamam*

Tahun ajaran 2008/2009, bagi IAIC Cipasung terasa cukup istimewa. Di kelas tingkat satu fakultas Syari’ah, jumlah mahasiswa yang hadir di kelas dua orang lebih banyak dari mahasiswa yang tercatat di absensi. Ternyata, dua orang tersebut adalah pendamping dari dua mahasiswa sebenarnya yang bernama Jajang L Amarullah dan Tian Jayanti Lestari.

Jajang dan Tian adalah mahasiswa tuna netra yang karena kelebihan yang Allah titipkan di balik keterbatasan fisiknya, sampai juga ia di bangku kuliah. Walau masih menyisakan guratan kekakuannya di hadapan teman-temannya yang ‘normal’, tapi Jajang dan Tian tetap memantapkan injakan kakinya di kampus, melawan panasnya hawa Tasik yang belakangan terus meninggi maupun hujan deras yang masih menyisakan curahan-curahan terakhirnya. Mereka berdua yakin dan optimis bisa menyumbang saham bagi berjayanya Tasikmalaya.

Penulis sendiri, setelah setahun ini mengajar di kelas mereka tergoda untuk mengangkat keteladanan dua anak muda yang Allah jaga matanya dari jutaan godaan dosa yang setiap saat mengepung mata orang-orang normal. Kali ini, ketika awal bulan Mei sebagai bulan pendidikan bagi warga Indonesia tiba, kisah Jajang dan Tian dirasa sangat layak untuk diapresiasi sebagai bahan refleksi.

Masih Ingatkah Anda Dengan Orang-orang Hebat Ini?
Menghayati semangat belajar Jajang dan Tian, penulis ingat Michio Inoue. Ia adalah juara nasional di Jepang untuk karya tulisnya, Air Mata Ibu dan Diriku Dalam Genggaman. Ternyata anak ajaib itu adalah seorang tuna netra yang sejak lahir ia buta dan terlahir dengan berat 500 gram saja.

Tangan dingin seorang ibulah yang membuat Michio Inoue lalu menjadi inpirasi bagi jutaan orang di dunia untuk tidak menyerah dengan keterbatasan fisik. Selain mengilhami penduduk dunia akan makna terdalam dari rahasia “kerja keras” dan “belajar keras”, kehadirannya pun menjadi dorongan kuat bagi siapapun yang terlahir dalam keadaan normal agar tidak terlena dengan kesempurnaan fisik.

Selain Michio Inoue, masih banyak lagi manusia pilihan lainnya yang lahir dan menjadi ilham prestasi bagi anak-anak dunia. Sebut saja misalnya Hee Ah Lee dari Korea. Ia menjadi pesohor dunia sebagai seorang pianist anak-anak. Hee Ah Lee berhasil memukau dunia dengan permainan pianonya walaupun jari-jari tangannya hanya empat jumlahnya. Selain itu, dua telapak kakinya adalah lutut, artinya ia tak punya kaki.

Di Indonesia, kita mengenal Titiana Adinda. Ia adalah penulis yang memulai karyanya setelah mengidap penyakit Meningoensafalgtis tb (infeksi selaput otak disertai TB). Setelah sempat beberapa hari koma, ia sadar kembali dan mengalami kelumpuhan. Selain Titiana Adinda, ada juga Bahril Hidayat Lubis, penulis buku Aku Tahu Aku Gila. Ia adalah bekas orang gila (Psikosis) yang sembuh dan karena IQ-nya cukup tinggi dan berkarya, ia mampu menyumbangkan sesuatu yang bisa menjadi rujukan ilmu bagi para psikolog dan penyembuh penyakit kegilaan.

Tapi yang paling menakjubkan, adalah Prof. Randy Pausch. Ia adalah professor computer Universitas Carnegie Mellon, Amerika. Setelah dokter bidang medis memvonisnya memiliki sisa umur hanya enam bulan lagi karena sepuluh tumor ganas menyerang pankreasnya, ia dan kawannya, Jeffrey Zaslow menulis The Last Lecture (Pesan terakhir). Tak ia nyana, karyanya telah diakses oleh lebih dari tiga juta orang dan situsnya, YOUTUBE.COM telah mampu menguras air mata mereka.

Refleksi Hari Pendidikan Nasional
Anak-anak kita, siswa dan mahasiswa dewasa ini tengah menghadapi masa-masa yang cukup berat berkenaan dengan keberadaan mereka sebagai tunas-tunas bangsa. Di balik seabreg kegiatan yang membanggakan dan torehan berbagai prestasi di tingkat nasional dan internasional di bidang sains, matematika, fisika, olahraga dan lainnya, mereka pun dihadapkan dengan berbagai pemberitaan minor dan pejoratif, seperti kasus brutalisme, seks bebas, narkoba dan kasus-kasus lainnya.

Hari Pendidikan Nasional tahun ini, seharusnya direfleksi dalam rangka meningkatkan semangat belajar dari anak-anak negeri. Bangga rasanya bila di pagi buta, kita berada di kawasan pegunungan, perkampungan terpencil dan wilayah-wilayah yang jauh dari perkotaan dan kendaraan umum. Sejam lebih mereka menghabiskan perjalanan berkilo meter, melewati lembah, ngarai dan menyebrangi sungai menuju sekolah. Ketika jam pelajaran di sekolah habis, mereka kembali melewati waktu dan melalui jalan yang sama. Di jalan becek yang dilewati, mereka membuka sepatu butut mereka dan sampai di tempat tujuan, baju mereka kotor oleh keringat dan cipratan air bercampur lumpur.

Di perkotaan, kita juga bangga menyaksikan anak-anak kita berjuang dan berkeringat di tengah jubelan penumpang kendaraan umum. Pagi-pagi adalah saat paling mengharukan menyaksikan ribuan anak-anak kita berpacu memburu masa depan dengan wajah optimis penuh keceriaan. Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri mereka seiring seleksi zaman yang akan menentukan nasib mereka di masa depan kelak.

Sayangnya, kehausan mereka akan ilmu dan kerinduan mereka akan figur teladan sering ternoda oleh ulah segelintir oknum dari kalangan mereka sendiri. Hal inilah yang harus menjadi “titik refleksi” lainnya bagi para pemegang kebijakan negeri ini untuk lebih intens menggodok ‘ramuan ampuh’ dalam rangka membenahi sistem pendidikan di tanah air. Bila hal itu terwujud, anak-anak didik kita dan orang tua mereka akan bahagia dan tak ada kekhawatiran dalam rangka menyongsong nasib yang lebih berpihak kepada mereka di hari esok.

Kembali ke Jajang dan Tian. Setiap kali memandangnya, penulis melihat adanya kelemahan dalam fisik ataupun raga mereka. Mereka tak leluasa dalam bergerak dan beraktivitas sehingga dunia pun, bagi mereka tak seluas apa yang biasa dinikmati orang-orang normal. Namun ke-Mahaadilan Allah swt memberikan keyakinan kepada kita bahwa orang-orang seperti Jajang dan Tian pastilah mendapatkan ribuan jalur kebahagiaan yang tidak diberikan kepada orang-orang normal seperti kita. Maka persoalannya adalah, sudah seberapa kuatkah tenaga batiniah kita -bila dibandingkan dengan tenaga bathiniah Jajang dan Tian- dalam mencintai ilmu pengetahuan dan mentransformasikannya kepada keluarga, kerabat, tetangga dan lingkungan sekitar kita?
Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAI Cipasung, juga dosen LB STAI Tasikmalaya dan UNIGAL Ciamis

1 Comentário:

... mengatakan...

Amin ya Allah..

trims, Asmat..
Bahril Hidayat Lubis
(http://bahrilhidayat.blogspot.com/)

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO