Senin, 27 April 2009

ulama dan pencerahan politik umat

Oleh: Asep M Tamam*

Harus diakui, kondisi politik pasca pemilu terdegradasi pada kondisi yang carut marut. Tapi naif dan kurang adil rasanya, bila berpuluh dan beratus kerancuan pemilu legislatif yang telah berlangsung hanya ditujukan kepada kesalahan KPU semata. Bila jujur kita membuka mata hati, jauh sebelum pemilu digelar, prediksi tentang berbagai kemungkinan buruk yang akan menimpa dunia politik kita —bila dihubungkan dengan perilaku para politikus kita di lapangan dan sistim pemilu yang diterapkan— nyatanya benar-benar terjadi.

Jauh sebelum 9 April tiba, benih-benih konflik politik dengan segala resikonya telah terbaca sejak awal. Stress caleg dan tim sukses yang ‘kalah perang’, protes dan gugatan berbagai kalangan dan gejala-gejala lainnya yang mengarah pada instabilitas politik telah diwanti-wanti akan terjadi. Kita masih ingat ketika itu, para caleg dan perwakilan setiap parpol, dari pusat hingga daerah berjanji dan berikrar damai dan di hadapan KPU, kepolisisan, mahasiswa, para ulama, wartawan dan masyarakat lainnya. Kini, semua itu benar-benar berbeda dan berubah dan berbagai prediksi tentang akan munculnya ‘watak asli’ para politikus kita itu ternyata tak meleset.

MENENGOK KE BELAKANG
Keran politik yang dibuka di awal musim kampanye, lalu semakin menggelontor ketika MK mendefinisikan kemenangan caleg mengacu kepada perolehan suara terbanyak, membuat seluruh caleg berkompetisi secara ‘habis-habisan’. Siapapun anggota masyarakat, dari kelas teri hingga kelas kakap lalu menjadi pengamat yang intens mengomentari tingkah dan kelakuan para caleg.

Kerancuan itu bermula dari sini. Tak ada satu kekuatan pun yang bisa menekan dan menghentikan jutaan, puluhan, ratusan juta hingga miliaran rupiah uang haram, sekali lagi uang haram yang mengalir deras dan hinggap di berbagai kantong saku, utamanya rakyat miskin di kota sampai masyarakat terpencil. Sampai di sini, tak ada satupun kekuatan yang memberikan pencerahan dan pencerdasan, utamanya dari perspektif agama bahwa kelakuan memperebutkan jabatan dengan mengeluarkan amunisi materi besar-besaran itu ‘tak elok’ di mata agama.

Sekarang ini syndrom stress ringan dan berat hingga gejala kegilaan menghinggapi para caleg dan tim suksesnya yang kalah dan tak ada satu kekuatan pun yang bergerak untuk mengantisipasi dari awal agar hal-hal demikian tidak terjadi. Ketika hal itupun akhirnya terjadi, lagi lagi blaming the fictim, menyalahkan pihak luar menjadi bagian penting yang berpotensi menambah keruh suasana.

MENANTI KERJA KERAS ULAMA
Mu’adz bin Jabal, tokoh sahabat nabi yang masyhur akan ketinggian kharismanya pernah menyatakan, “Ulama adalah hamba-hamba Allah yang terpilih. Tingkah, ucap, dan langkah mereka adalah panduan dan referensi bagi umat. Segala permasalahan umat, dari yang ringan hingga yang berat selalu terselesaikan dengan campur tangan dan keterlibatan mereka. Betapa cintanya segenap ciptaan Allah, di darat juga di laut kepada mereka…”

Berwarnanya masyarakat Islam selalu identik dengan kehadiran para ulama. Lintasan zaman pun lalu melahirkan jutaan ulama shalih, berilmu tinggi dan bukan hanya sebagai pengasuh umat dalam hal keilmuan dan keagamaan saja, tapi bahkan hingga melampaui wacana sosial hingga politik. Dalam hal ini, ribuan buku terbit dalam rangka ‘membenamkan’ berbagai dimensi positif mereka di hati umat.

Zaman modern sekarang ini, warna para ulama pun semikan beragam. Tantangan hidup mereka yang didedikasikan di jalan dakwah pun semakin hebat. Kini, rambahan kaki mereka hingga memasuki wacana perebutan jabatan dan kekuasaan. Maka tak ayal, posisi umat pun berubah. Tak seperti dulu di mana posisi ulama ada di wilayah uncriticable atau sakral, zaman modern ini praduga umat kepada mereka seiring sejalan dengan gerakan sosial politik yang mereka tempuh.

Posisi ini dikhawatirkan semakin merosot ketika keberadaan mereka di ‘panggung kotor’ politik tak memberikan signal positif. Alih-alih ingin mengasuh arah politik dan mengarahkannya ke jalan yang lebih bermartabat, posisi para ulama yang ‘polos’lah yang justru dimanfaatkan ‘oknum-oknum’ tertentu dan lalu menjadikan misi ulama di kancah politik semakin bias. Alih-alih ingin menyucikan dunia politik dari berbagai unsur syubhatnya intrik-intrik dan haramnya suap politik, kaum ulamalah yang justru “dikhawatirkan” menjadi bagian darinya. Bila kekhawatiran itu lalu terjadi, maka unsur kekuatan apalagikah yang bisa bergerak untuk membersihkan dunia politik?

Teriakan-teriakan dari luar panggung agar ulama kembali ke umatnya, khusyu’ melayani mereka dan melangkah menjauhi ‘wilayah abu-abu’ politik nyaris tak didengar. Seiring datangnya musim politik, umat nyaris tak bisa memisahkan mana ulama dan mana yang bukan ulama ketika eskalasi suhu politik meningkat. Dari titik inilah lalu gerakan pemurnian nilai-nilai ideal dalam berpolitik terhambat dimunculkan.

Rabu (15/4) kemarin, Majlis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten Tasik menggelar musdanya dan sukses mengantarkan KH. Ii Abdul Bashit, ulama muda kharismatik sebagai pucuk pimpinannya. Ulama pengasuh PP. Sukahideng yang sangat dihormati dan dibanggakan santri-santrinya ini —penulis tahu hal ini dari obrolan ringan dengan para santri PP. Sukahideng yang kuliah di IAIC, tempat khidmat penulis— tentunya akan menjadi harapan baru di di kabupaten Tasik bukan hanya dalam membebaskan area Tasik dari faham dan aliran sesat, tapi juga dalam rangka mengembalikan pamor para ulama ke posisi terlayak ketika mereka terpaksa harus ancrub ke dalam kolam politik atau sudah kaduhung terpilih dan melenggang ke gedung dewan.

Harapan umat begitu kuatnya agar dunia keulamaan di tanah air, khususnya di Tasikmalaya, bisa bersih dari segala unsur kepentingan politik. Harapan lebih kuat lagi adalah bila mana para ulama ada di wilayah imparsial (netral) ketika musim politik tiba. Bila demikian halnya, maka ulama ada di pihak yang bisa memberi jalan tengah, pencerahan dan pencerdasan politik. Jebakan demi jebakan yang terpasang untuk mengeluarkan para ulama dari dunianya dan masuk ke wilayah pragmatisme, seringnya membuat umat ambigu.

Tulisan ini merupakan resume subjektif dari bincang-bincang ringan penulis dengan teman-teman mahasiswa dan rakyat di dataran paling bawah yang berada di luar pagar politik. Diharapkan, tulisan ini memberi sumbangsih pemikiran dan wacana yang bisa didiskusikan dalam rangka optimalisasi peran ulama dalam pencerahan politik umat.
Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah peminat masalah politik, keagamaan dan keulamaan. Tinggal di Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO