Minggu, 31 Mei 2009

Dunia Pendidikan, Dunia Hati Nurani

Oleh: Asep M. Tamam*

Ujian Nasional (UN) yang telah berlalu beberapa minggu ke belakang, ternyata masih menyisakan permasalahan. Katakanlah, bila pun segalanya telah terlupakan, tapi apakah kita rela kerancuan demi kerancuan yang terbiarkan itu terjadi lagi di tahun-tahun mendatang?

Bila kerancuan dunia pendidikan yang terjadi dalam UN itu lolos dari tanggung jawab berbagai pihak termasuk kita semua, dikhawatirkan ke depan akan menjadi sebuah budaya yang melembaga. Budaya korupsi misalnya, pada awalnya hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, namun karena dibiarkan dan dianggap lumrah, maka begitu kuat daya tularnya dan kemudian menjangkiti berbagai tempat, berbagai lembaga dan intansi, lalu mewabah dan menjelmalah sebuah budaya korupsi yang massif.

Di salah satu lembaga pendidikan elit di kota Tasikmalaya, ada penguatan paradigma yang terbangun apik dan menjadi sebuah pilihan pahit dari para pengelolanya. Setiap masa pelaksanaan UN berlangsung, semua pihak; kepala sekolah, para guru dan murid-muridnya ‘memasang kuda-kuda’ dan memagari diri untuk tidak terjebak pragmatisme menghalalkan segala cara untuk menunjang kelulusan siswa-siswanya yang diuji. Asumsinya, lebih baik mendapatkan nilai kecil dan murni tapi memuaskan batin daripada lulus dengan nilai tinggi tapi menyakiti dan menghianati hati nurani.

Deskripsi di atas, tak lebih merupakan gambaran dari dua opsi mikro yang selalu menghinggapi para pengelola lembaga pendidikan kita, entah itu pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Dilema demi dilema tak pernah berhenti menghampiri dan ketika itu harus terjadi, betapa beratnya bagi mereka untuk bermakmum pada hati nurani.

PENDIDIKAN DAN KEMENANGAN HATI NURANI
Tulisan ini, adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya (kebahagiaan hakiki para pejuang ilmu) yang mengurai survive dan bahagianya para pejuang ilmu; para guru, dosen, ulama, terutama guru swasta, guru bantu, guru honorer di negeri ini, walaupun mereka harus melewati hari-hari panjang perjuangannya itu dengan pendapatan minim dan irasional.

Kehidupan sederhana yang ditemani bertahtanya hati nurani dalam tingkah laku dan pilihan-pilihan hidup lainnya, sejatinya menjadi bagian inherent dari semua pengelola dan pelaku dunia pendidikan kita, swasta ataupun negeri. Keterpujian ataupun ketercelaan nama mengintai mereka kala godaan demi godaan datang dari berbagai penjuru. Berbahagialah mereka yang hanya memilih jalur kejujuran dan istiqamah dengan dunia ilmu. Kemanfaatan lahir batin akan bisa dinikmati semua pihak terutama para siswa terdidik. Sebaliknya kerugian massal, lahir dan batin, mengintai mereka ketika untuk meraih nama baik, mereka memilih untuk mengorbankan norma-norma yang disepakati.

Jujur dan tidaknya para pengelola dan pelaku dunia pendidikan kita, akan kuat berimbas pada perilaku para siswanya. Pemberitaan tentang demoralitas siswa-siswa didik di tanah air, tidak serta merta menjadi buah dari serangan boombastis teknologi informasi yang tidak terpagari nilai-nilai agama dan budaya, tapi juga karena nilai keteladanan dan kejujuran para ‘abdi ilmu’ (guru) yang semakin tergusur oleh tuntutan dunia pendidikan yang masih berbasis nilai ujian dan kelulusan. Moral para guru, dosen dan para stake holder dunia pendidikan lalu dipertanyakan.

Harapan akan terwujudnya pendidikan yang tidak melulu mengandalkan dan menitikberatkan sisi kognisi siswa semakin menggema di mana-mana. Sisi afeksi dan psikomotor yang terabaikan selama ini semakin meronta untuk diberikan porsinya yang memadai. Dimensi intelektualitas siswa memang paling penting, tapi bukan berarti dimensi emosional dan spiritual harus terpinggirkan dan kemudian terhempas ke pojokan. Maka dalam hal ini, meruyaknya pelatihan-pelatihan demi kelulusan sertifikasi dan menjual acara seminar demi sertifikat lalu dipertaruhkan.

Nyaman rasanya, bila suatu saat kita menyaksikan dunia pendidikan di negeri ini tidak lagi direcoki oleh kepentingan politik yang sisi negatifnya lalu berimbas pada perilaku para pelaku pendidikan. UN yang sejatinya menjadi ujian para siswa lalu berkembang menjadi ujian bagi guru pengampu, kepala sekolah, kepala KCD, kadisdik hingga kepala daerah (bupati dan walikota). Ke depan, ketika suasana dunia politik semakin nyaman, ketika penyakit-penyakit yang diidapnya sembuh, maka dunia pendidikan kita yang sedang menggeliat, dengan kocoran anggaran yang semakin mengarah kepada kemajuan, maka yang muncul dan menjelma adalah prestasi siswa yang menanjak dan porsi moralitas mereka yang meningkat.

Aib yang tak henti menghempas dunia pendidikan kita, sudah saatnya dibenahi dengan —salah satunya— kembali pada norma-norma yang bersumber pada kedalaman hati nurani yang tak pernah bisa dibohongi. Ketika anak-anak didik kita lulus seratus persen dan hati nurani kita mengakui bahwa hal demikian dihasilkan dari kerja keras ‘bermain’ curang, betapa nelangsanya hati terdalam dan tersembunyi itu. Tapi ketika kerja keras telah dilakukan, doa telah dipanjatkan, mental para siswa sudah dikuatkan dan kejujuran siap diperjuangkan, maka apalagi yang lebih indah daripada taqwa dan tawakal?

Kebahagiaan hakiki para pejuang ilmu, berarti ada dan bertengger pada kemenangan hati nurani. Tertanamnya nilai kejujuran dalam benak para siswa yang dipraktekkan para guru, kepala sekolah dan stake holder dunia pendidikan di depan para siswa, adalah satu di antara beribu jalan untuk menghasilkan anak-anak didik kita yang berakhlak mulia. Dengan demikian, demoralitas para pelajar yang berjangkit, mewabah dan menjadi endemi di negara tercinta ini, lambat laun akan menemui titik akhirnya.
Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIC Cipasung Tasikmalaya, dosen LB pada STAI Tasikmalaya dan FKIP UNIGAL Ciamis, pengelola blog asmat-arabiyyatuna.blogspot

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO