Minggu, 31 Mei 2009

Dari Elegi Gedung Dewan, Pilpres hingga Kontroversi Facebook

Oleh: Asep M. Tamam*

“Dua menit!”, kalimat itu sepertinya telah menjadi idiom yang tergumam dari bapak-bapak yang baru keluar dari mulut mesjid, tanda obrolan sabulangbentor ba’da bubaran wirid subuh dimulai. Tradisi itu telah mewarnai sejarah mesjid kami sebelum bapak-bapak itu pulang ke rumah masing-masing. Di undakan mesjid, obrolan berat urusan negara, kelakuan para inohong, rencana kegiatan RT hingga melonjaknya harga cabe merah keriting diulas.

Obrolan dua menit yang terkadang memanjang menjadi setengah jam itu, kadang sampai menghabiskan dua hingga lima topik. Arah obrolan berpindah sesuai celetukan sekena dan semaunya dari peserta ‘rumpi’ pagi itu. Obrolan ringan yang kadang juga berat itu, bagi penulis adalah gambaran kecil dari rangkaian suara rakyat akan berbagai harapan mereka, yaitu terwujudnya kehidupan ideal dalam tatanan ekonomi, sosial hingga politik.

Pagi itu, topik yang sedang hangat dalam wacana masyarakat Tasik adalah masalah perbaikan interior gedung dewan yang menghabiskan lebih dari satu miliar Rupiah dibahas. Dengan geramnya bapak-bapak mengutuk rencana yang sudah berjalan itu hingga bila walikota dan anggota dewan hadir dan mendengar, pastilah kuping mereka panas dan mereka akan marah. Bapak-bapak itu tak tahu bahwa dari sudut pandang hukum, tak ada yang salah dengan proyek yang telah tercium bau di hidung rakyat Tasik itu. “Tapi bayangkan”, kata seorang bapak, “rakyat baru saja terbuai dengan janji demi janji untuk kesejahteraan dan perbaikan hidup mereka, janji yang terucap dari para caleg belum juga hilang dari ingatan mereka, bibir para caleg belum juga mengering, eh, legislatif dan walikota malah hom pim pah mendahulukan kepentingan mereka dan melupakan rakyatnya, manajemen pemerintahan macam apa ini?” bapak tadi, saking bernafsunya menaikkan nada suaranya.

Untuk membelokkan arah pembicaraan, seorang bapak yang rutinitas hariannya menonton berita di televisi mengangkat isu yang lain. Isu yang paling hangat dalam wacana sosial politik hari-hari terakhir ini, juga sebulan ke depan adalah isu pilpres. “Lagi-lagi untuk kenduri politik besar-besaran itu, rakyat dipaksa untuk memilih dan lagi-lagi hak mereka untuk memilih berubah menjadi kewajiban untuk memilih”, katanya. Bapak-bapak tadi lalu bergantian memaparkan ‘presentasi’ dari thesis mereka setelah mencerna berbagai masukan informasi dari berbagai pemberitaan televisi. Semua membawa hasil “kuliah pemadatan” semalam.

Politik, selain menghadirkan wacana serius karena berhubungan dengan ilmu dan seni pengelolaan negara, ternyata ia juga menghadirkan wacana sensitif karena bila seorang calon presiden diunggulkan di hadapan seseorang yang berbeda pilihan, masalah justru akan meruncing dan kemudian menjurus kepada pertengkaran. Politik, selain menjanjikan wacana serius dan sensitif tadi, ternyata juga menjanjikan wacana yang lucu dan menggelitik. Bagaimana tidak, dari mulai pejabat tinggi hingga ketua RT, dari mulai ekonom kelas berat hingga tukang jualan bakso, dari mulai pekerja berat hingga kaum pengangguran, dari mulai pejabat higga penjahat, dari mulai seniman, agamawan, pelaku pendidikan hingga pengamen jalanan, semuanya berhak jadi pengamat politik. Anehnya, tukang becak dan kuli angkut di pasar Cikurubuk menganggap dirinyalah yang paling tahu urusan politik. Dengan penuh keyakinan, seorang pemulung di terminal Indihiang memprediksi SBY-lah calon pemenang pilpres mendatang. Lain di terminal, lain pula di pangkalan ojek, seorang pengojek yang punya kemampuan menggirig opini massa, mengarahkan opini tentang kemenangan JK Juli mendatang. Di sudut lainnya, di pesawahan dan di pinggiran pantai, para petani dan nelayan yakin MSP-lah calon juaranya.

Obrolan bapak-bapak tadi, biasanya dibubarkan oleh ibu-ibu yang sekedar nongol memperlihatkan batang hidungnya di depan suaminya, atau juga bisa jadi dibubarkan oleh teriakan seorang ibu yang menyuruh suaminya segera pulang untuk membantu pekerjaan rumahnya atau sekedar meringankan tugas memperiapkan anak-anaknya yang segera akan pergi sekolah. Namun untuk menutupi pembicaraan, biasanya tersisa satu topik penutup. Kali ini, judulnya cukup berat, yaitu ketika penulis ditanya, apa itu facebook (FB)? Apa urusannya sehingga ulama Jawa Madura mengharamkannya?

Penulis menjawab bahwa benar bahtsul masail XI Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri se-Jawa Timur memutuskan bahwa FB haram. Tentu banyak alasan yang mengarahkan pendapat para ulama yang berkumpul di Pesantren putri Hidayatul Mubtadiat Kediri itu berujung di kesimpulan facebook haram. Seperti fatwa-fatwa haram terdahulu; haram rokok, haram pornografi dan pornoaksi, fatwa haram FB ini juga menuai pro kontra. Wajar saja, anggota facebook saat ini marah, mereka merasa seperti anak-anak yang baru saja punya mainan baru nan amat menyenangkan, –hinggga untuk masuk jalur FB siap menghabiskan waktu berjam-jam– lalu ada pihak lain yang siap merebut dan mengambil kembali mainan itu.

Haram tidaknya FB, hemat penulis, tergantung sejauhmana FB memberi dampak madaharat kepada penggunanya sehingga hak dirinya, hak usaha dan waktu kerja produktifnya, hingga hak Allah (agama) terabaikan. Bila FB haram, maka akan sangat banyak variable lain selain FB yang harus difatwa haram. Memang, ada benang merah antara bermain FB dengan penelantaran waktu ataupun hal-hal yang mengarah kepada perselingkuhan dan perzinahan, tapi itu kasuistis, sementara nilai positif FB tak kalah dari nilai negatifnya. Nilai positif itu misalnya, adalah keanggotaan KH. Hasyim Muzadi (ketua umum PBNU) dan Prof. Dien Syamsudin (ketua umum PP Muhammadiyah) di FB. Tentu, keberadaan keduanya bukan legitimasi halalnya FB, tapi sosialisasi program kerja PBNU dan PP Muhammadiyah setidaknya terwakili dan terbantu dengan kehadiran FB ini.

Yang penting untuk dilakukan, adalah sertifikasi atau akreditasi WARNET! Penulis punya cukup pengalaman ketika harus kehabisan tempat di warnet karena penuh oleh anak-anak sekolah. Di satu sisi, anak anak kita (pelajar SMP dan SMU) di zaman sekarang ini sudah melek teknologi, tidak ketinggalan informasi dan tidak jadul. Tapi, lagi-lagi hemat penulis, nilai negatif keberadaan mereka memenuhi ruangan warnet memunculkan pertanyaan, apa yang mereka perbuat di kamar warnet yang nyelegon itu? Situs apa yang mereka hunting? Apakah berjam-jam keberadaan mereka di kamar itu setelah berbagai kewajiban mereka sebagai anak-anak sekolah dan kewajiban mereka sebagai orang-orang beragama telah terpenuhi?

Bapak-bapak yang khusyuk mendengar “ceramah” penulis pun bubar. Salah seorang di antara mereka nyeletuk, “teu ngarti ah…”

*Penulis adalah peminat masalah sosial keagamaan, tinggal di Tasikmalaya, pengelola asmat-arabiyyatuna.blogspot

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO