Minggu, 31 Mei 2009

moderat; sikap keagamaan dan politik alumni darussalam

Oleh: Asep M Tamam*

Mungkin Darussalam, khususnya Akang (Pak Kiai, KH. Irfan Hilmi), belum sempat meneliti sikap keagamaan dan politik para alumninya setelah tiga, enam atau sepuluh tahun nyantri, lalu keluar menjadi alumni. Tahunya, mungkin sebatas kabar afiliasi beberapa alumni di beberapa partai, atau terdaftarnya mereka sebagai pengurus di beberapa ormas keagamaan lokal, regional ataupun nasional.

Tulisan ini, mungkin subjektif bila dikatakan refresentasi sikap keagamaan dan politik para alumni Darus —demikian kami menyingkat Darussalam— secara keseluruhan. Dan bila ternyata salah, maka tulisan ini berarti hanya sebatas ‘curhat’ pribadi penulis sendiri. Namun demikian, penulis mempunyai keyakinan —bila penelitian benar-benar dilakukan— bahwa thesis ini bisa dibuktikan kebenarannya.

Saya sendiri, adalah alumnus yang hanya tiga tahun menikmati kedalaman kasih sayang Darus dalam bingkai pendidikan. Sekarang, entah apa nama sekolah tempat kami dibina dulu, atau mungkin sudah hilang tergerus masa, tapi dulu, dua puluh tahun yang lalu, saya dan 40 orang teman sekelas mengukir sejarah diri dalam suka dukanya hidup menjadi murid MAPK angkatan kedua (1988-1991).

Pahit Artinya Manis
Sebelum jauh melangkah ke topik di atas, saya mohon diizinkan menulis pengalaman ‘super’ indah yang telah membawa kami pada posisi seperti sekarang ini. Kalau dihitung-hitung, tiga tahun digodok dalam belanga ilmu di Darus, rasa dukanya lebih dominan dibandingkan rasa sukanya, pengalaman pahit lebih banyak dirasa daripada pengalaman manisnya. Subjektivitas demikian wajar disampaikan oleh sesosok diri yang datang ke Darus dengan modal ilmu yang biasa-biasa saja, pas-pasan dibanding teman-teman yang lebih dulu mematangkan ilmu dan kepribadian mereka di MTs-MTs asal.

Pengalaman pahit dan rasa duka selama tiga tahun itu, bila dirinci takan bisa diulas hanya dalam 5000 characteres tulisan sebuah artikel. Singkatnya saja, bagaimana seorang santri bisa kerasan mengisi hari demi hari dengan efektivitas belajar 15 jam —dari jam empat dini hari hingga jam sembilam malam dengan asumsi, ada dua jam istirahat makan, mandi, qailulah dan canda— perhari. Demikian kuatnya arus kompetisi kala itu hingga jika tidak ikut ‘karapan’, pastilah satu demi satu tunas bangsa itu berguguran sebelum bunganya meranum buah.

Walaupun ‘surga’ Darus bisa dinikmati, itu hanya sesaat saja. Sejak lonceng sekolah di Sabtu siang berdenteng, kami beroleh ‘kemerdekaan’ hingga senja di hari Minggu tiba. Malam Senin menjelang dan kami kembali masuk ‘neraka’. Shalat Maghrib adalah tanda genderang perang mulai ditabuh. Siklus itu berlangsung hingga Sabtu siang hadir kembali di pangkuan. Dalam enam hari itu, sahabat kami adalah al- Quran, buku pelajaran dan kitab kuning. Seharian setiap harinya, mulut kami tak henti “menghitung jumlah huruf” al- Quran, buku dan kitab kuning itu. Jam satu siang, ketika anak-anak SMA pada umumnya sudah santai di depan TV sambil ongkang kaki dengan makanan ringan di tangan, kami justru harus mengenakan kembali seragam putih abu, melanjutkan misi, memforsir perangkat ilmu untuk lagi dan lagi membaca, menulis, menghafal, diskusi, mengonklusi dan menyantap aneka hidangan berbagai ilmu dari para guru.

Tanah Ciamis umumnya merah bata. Bila kering pecah dan bila hujan lengket. Kemarau atau pun musim hujan sama menyiksanya. Kemarau hanya menyisakan sedikit air hingga untuk mandi harus terlebih dahulu berkompetisi memperebutkan air ‘bajigur’ yang lecek. Jika tak mandi, kami takan bisa melawan panasnya hawa Ciamis dan tidur malam pun pastinya berteman mimpi buruk. Musim hujan pun tiba dan kami yang duduk di kelas tiga, telah terlatih dengan ledoknya tanah merah bata yang leueurnya minta ampun itu. Dulu, di tahun pertama, kami pergi ke mesjid dan harus berjibaku melawan leueurnya jalan menurun menuju mesjid. Seringnya kami tisorodot, tikosewad, tigorewal, tijumpalit dan tijurahroh. Saya sendiri, sumpah! dalam sehari pernah tiga kali ganti sarung.

Bila jam makan tiba, dada kami berdetak lebih kencang bagai genderang mau perang. Kami benar-benar khawatir dengan nasib piket penggotong nasi, terutama nasinya, akankah perjuangan keras piket penggotong nasi tiba di warung bu Dedeh dengan selamat? Apakah jalan licin itu mampu ditaklukkan? Bila tidak, kami haris kembali pulang ke kamar, sambil memukul-mukulkan sendok ke piring, berjama’ah bersama-sama.

Pak Kiai dan Sikap Moderat Kami
Di tengah suasana serba ‘mencekam’ itu, kebersamaan yang terajut antar teman sekelas dan sobat seasrama, ditambah suhu keilmuan Darussalam yang menakjubkan membuat suasana mencekam itu menjadi cair. Sampai hari ini, ketika ada acara di Darus yang sengaja saya ambangi, tradisi intelektualitas yang terbudayakan itu masih tertata apik dan menjadi alasan kuat kenapa orang tua kami dulu menyekolahkan dan memesantrenkan anak-anaknya di ranah nyiur melambai itu. Satu hal yang harus ditiru pesantren lainnya di wilayah Priatim, adalah budaya baca yang sudah terbenam kuat di kalangan santrinya. Berbagai harian surat kabar lokal maupun nasional bisa dibaca setiap harinya di MTs, MAN, IAID, perpustakaan Darussalam dan rumah keluarga pak kiai; santapan penutup di samping bacaan utama, buku pelajaran dan kitab kuning.

Di atas segalanya, sebenarnya ada faktor lain yang membuat kami bisa betah menggayung samudera ilmu Darussalam, ia adalah sosok pak kiai, juga civitas academica pesantren; guru-guru, pengurus pesantren, keluarga besar pak kiai dan lingkungan sekitar yang melebarkan pintunya untuk kami semua sebagai pendatang yang jauh dari keluarga. Sosok yang sering mengatakan dirinya ‘bapak’ dari semua santrinya dan tidak membedakan siapa dari siapa ini, adalah perekat bathin yang tak seperti leader yang sok mengatur, tapi sebagai manager yang mengayomi semua unsur dengan penuh tanggung jawab.

“Anak-anakku”, kata-kata itulah yang terekam kuat dan takan terlupakan dari pak kiai. Suara lirihnya yang sangat dijiwai itu selalu saja membuat kami ‘merinding’ dan sejenak melupakan orang tua kami, lalu bangga dengan sosok bapak penyabar, bijak dan ikhlas menjaga keseimbangan langkah kami kala itu. Kata-kata itu juga yang kami lantunkan di hadapan anak didik kami dan nyatanya, semua yang mendengarnya terdekap dalam kedalaman kasih sayang.

Sayang, kami hanya tiga tahun merasakan kehangatan pribadi khas pak kiai. Kepemimpinannya dalam mengatur arah Darus, di tengah usianya yang tak muda lagi, telah berhasil mengantarkan Darus menjadi pesantren modern, inklusif, dan multi prestasi. Layaknya madu, manisnya Darus telah tercicipi oleh berbagai kalangan, suku, organisasi dan lainnya. Kesatuan dari berbagai unsur perbedaan latar belakang siswa yang datang ke Darus, menjadi unsur terpenting dalam mengarahkan pilihan dan sikap para santrinya setelah kelak keluar dari Darus dan berkiprah di masyarakat. Bila dulu pak kiai mengarahkan santrinya kepada fanatisme buta dan kepentingan sektarian, maka sikap yang terbangun di setiap benak alumni pasti tak seindah apa yang terjadi hari ini. Ikhtilaf latar belakang santri yang sebagian NU, sebagian lainnya PERSIS, Muhammadiyah, PUI, thariqah dan lainnya berhasil diramu dalam bingkai ittifaq, lalu muncullah keanggunan ukhuwah; hal yang di zaman sekarang ini tak mudah untuk diamalkan di tengah-tengah masyarakat biasa.

Maka di manapun alumni Darussalam berada, ia —harusnya— memperlihatkan maturitas (kedewasaan) sikap ketika ‘terpaksa’ ada dalam kepentingan organisasi massa atau partai politik dan berhadapan dengan kepentingan berbeda dari berbagai arah. Fanatisme buta dan kepicikan berfikir yang dibawa dari kampung halaman —dan itu modal saya sendiri ketika datang ke Darus— nyaris terpangkas habis di tahun-tahun yang penuh kesan dan kepuasan bathin ini.

Dulu, di tiga tahun yang terenyam itu, saya mencoba menyelami kedalaman makna dari visi Darussalam mencetak muslim yang mederat, mu’min yang demokrat dan muhsin yang diplomat. Setelah tak berhasil memaknai tiga kata kunci (moderat, demokrat dan diplomat) itu, maka setelah keluar dan menyelaminya di permanent system, kehidupan nyata, maka jawaban sebenarnya terhidang begitu dekat.

Contoh kecil dari sikap moderat —satu saja dari tiga visi itu yang diangkat dalam makalah singkat ini— adalah apa yang saya alami sendiri (ma’af narsis). Ketika itu, Al- Muttaqin, yayasan elit di Tasikmalaya membutuhkan seorang ‘ustadz’ untuk mengisi pengajian mingguan orang tua murid. Pengajian ini adalah ajuan orang tua murid yang ingin ikut belajar mengaji seminggu sekali di komplek SMP SMA yang megah itu. Ustadz yang dibutuhkan tadi ternyata harus berkeriteria moderat. Saya, kebetulan punya koneksi dengan seorang guru di yayasan itu yang mengenali luar dalam kemoderatan sikap saya dalam perbedaan sekecil apapun di dalam wacana keagamaan bahkan juga politik. Lima tahun kebersamaan bersama ibu-ibu yang berlatarbelakang berbeda; NU, Muhammadiyah dan Persis itu telah mengajarkan saya bahwa visi Darus mencetak muslim moderat, titik kuncinya ada pada pengalaman nyata.

Last but not least, kita, pembaca khususnya, bisa mendulang kekayaan sikap moderat dari para alumni Darussalam di manapun mereka adanya. Fanatisme berlebih sepertinya tak koheren dengan alumni Darussalam. Jika pun dalam prakteknya masih ada yang bersikap demikian, maka ia harus kembali ke pangkuan Darussalam, dan mesantren lagi barang tiga, enam atau sepuluh tahun.
Hasbunallaah wa ni’mal wakiil

*Penulis adalah Alumni Darussalam 1988-1991, tinggal di Tasikmalaya. DPK UIN Bandung di IAIC Cipasung. Dosen LB STAI Tasikmalaya dan FKIP UNIGAL Ciamis. Pengelola blog asmat-arabiyyatuna.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO