Minggu, 11 Januari 2009

Dahsyatnya Kekuatan Lapar dan Haus


0leh: Asep M Tamam*

Bila ditelisik sepintas saja, nuansa Ramadan yang paling kentara secara lahir adalah lapar dan haus. Dua sejoli ini, bagi mereka yang belum tersinari cahaya Ramadan sering terasa menyiksa. Siksaan lapar dan haus akan lebih terasa menyakitkan bagi mereka yang aktif bekerja seharian, di terik matahari siang yang membakar, di tengah ‘belantara’ kota besar semisal Jakarta.

Namun, ceritanya akan lain bagi mereka yang bahagia bersua lapar dan haus Ramadhan. Bagi mereka, manisnya lapar dan haus bukan hanya janji semata, tapi bukti konkrit, bathiniah maupun jasmaniah. Di mata mereka, kenikmatan lapar dan haus berlaku universal, bukan hanya ditemukan di tempat sejuk dengan pohon-pohonan lebat dan buah-buahan segar, tapi bahkan ketika mereka harus berada di tempat sepanas lautan padang pasir dan segersang benua kering Afrika.

Harus disadari, walaupun kita hidup di negeri yang belum maju, tapi tak pernah kita hawatir anak-anak kita kelaparan. Dulu, untuk mendapat suapan makan, seorang anak harus menunggu nasi matang sambil menangis meronta-ronta. Sekarang, untuk menyuapi seorang anak, seorang ibu harus merayu dan memaksanya dulu. Pada saat itu si anak menangis enggan makan karena memang, ia belum merasa lapar.

Asumsi kita, kenyang adalah simbol kemapanan dan kesejahteraan. Sebaliknya, lapar adalah gambaran kemiskinan dan serba-kekurangan. Ibadah shaum rupanya mematahkan asumsi itu. Islam mengajarkan keterpaduan antara fisik dan jiwa, rohani dan jasmani, spirit dan materi. Bahhkan kalau harus dikatakan, kebutuhan rohani dalam Islam menaklukkan kebutuhan jasmani. Hal demikian dalam al- Quran difirmankan, “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."(QS. Yunus [10]: 58)

Lapar sejati

Salah satu buku otoritatif tentang hadits Nabi yang dipelajari para santri di Indonesia adalah Riyadh al- shalihin. Dalam buku itu Imam an- Nawawi menggamblangkan bagaimana Nabi dan para sahabat telah adil membagi atensi dalam memenuhi hak-hak fisik dan jiwa. Tentang lapar misalnya, ada setidaknya 30 hadits yang membuat kita harus mengkaji ulang, lalu malu melihat kehidupan kita hari ini yang cenderung timpang dalam memperlakukan fisik di satu sisi, dan jiwa di sisi yang lain.

Al- Bukhari, Muslim, Turmudzi dan lainnya meriwayatkan pengalaman yang tiada duanya dalam sejarah umat manusia. Nabi dan para sahabat telah berhasil menjadi pelaku utama dalam menaklukkan syahiyah (selera) makan dan minum demi menjalankan misi da’wah Islamiyah.

Aisyah ra. menuturkan bahwa keluarga Nabi tak pernah kenyang dalam dua hari berturut-turut sepanjang hidupnya (HR. al- Bukhari dan Muslim). Bahkan pernah dalam tiga bulan dapur rumah Nabi tak terlihat ‘ngebul’, artinya dalam rentang masa tiga bulan itu keluarga Nabi tidak memasak makanan. Dalam hadits yang diriwayatkan al- Bukhari Muslim itu, Nabi dan keluarganya hanya menyantap aswadain (air dan kurma). Selama tiga bulan itu, para tetangga dari golongan Anshar sering datang mengirim makanan dan susu untuk keluarga Nabi.

Kisah lainnya yang sangat menyentuh hati diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam ahli hadits terbesar setelah al- Bukhari ini meriwayatkan bahwa pada suatu malam, Nabi merasakan lapar yang amat sangat hingga memaksa beliau keluar rumah. Di luar, beliau bertemu Abu Bakar dan Umar yang rupanya, keduanya pun dilanda rasa lapar yang menyiksa. Perjalanan malam mereka bertiga terhenti di rumah Abu Haitsam bin at- Taihan. Betapa bahagianya Abu Haitsam kedatangan tiga orang yang bersahabat dalam naungan keikhlasan cinta karena Allah swt. itu. Jamuan malam yang dihidangkan membuat ketiga guru kita ini kenyang dan puas. Namun yang terjadi selanjutnya adalah: nabi berkata kepada dua sahabat terkasihnya itu, “Yakinlah, kalian akan ditanya oleh Allah atas nikmat yang Dia berikan malam ini.”

Abu Hurairah adalah seorang sahabat yang mempunyai pengalaman unik dalam hal lapar. Lapar yang menyengat melandanya pada suatu malam. Ia lalu memasukkan beberapa batu untuk mengganjal perutnya. Karena masih lapar ia pun tersungkur dan pingsan di tempat antara mimbar nabi dan kamar Aisyah. Seseorang lalu datang dan menginjakkan kakinya di leher Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata, “Orang itu mengira aku gila, padahal aku normal. Aku tersungkur dan pingsan karena rasa lapar yang tak terperikan.” (HR. al- Bukhari).

Dahsyatnya lapar dan haus

Masih banyak sebetulnya riwayat yang mengisahkan pahitnya rasa lapar yang menyiksa jasad (fisik) orang orang saleh selain para sahabat nabi. Namun kesimpulan yang bisa diraih adalah, tak ada masalah bagi orang saleh, entah jaman dulu atau hari ini, bila lapar hanya bersifat fisik (jasmani) saja. Yang kemudian jadi masalah adalah bila lapar itu menyergap jiwa, mental dan spiritual mereka.

Laparnya para pejuang Islam di medan perang yang terjadi di bulan Ramadan tidak lantas membuat ruh (semangat) mereka kendor akibat lemahnya badan. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Syaikh Ahmad asy- Syirbashi, dalam buku yasaluunaka fi al- din wal- hayat, jilid enam, menulis judul hadatsa fii ramadhan (kejadian-kejadian penting di bulan Ramadhan) dengan panjang lebar. Dalam penjelasan dari halaman 427-493 itu, asy- Syirbashi menampilkan puluhan kisah yang cukup lengkap melewati berbagai zaman, dari mulai zaman nabi sampai dengan abad modern ini.

Yang terpenting dari berpuluh kisah kegemilangan para ‘pejuang Ramadan’ itu adalah kemenangan perang Badar. Kekalahan kafir Quraisy di tangan umat Islam adalah modal yang teramat mahal dalam menghadapi serumit apapun kondisi umat Islam di medan perang. Kemenangan Badar adalah bekal bagi perang-perang selanjutnya bahwa untuk meraih kemenangan, jumlah pasukan tidak jadi masalah. Kemenangan di perang-perang selanjutnya membuktikan bahwa ratusan pasukan umat Islam nyata-nyata telah mengalahkan ribuan pasukan kafirin dan ribuan pasukan muslimin mengalahkan puluhan ribu pasukan kafirin.

Peristiwa kunci yang lainnya adalah penaklukan mekah (futuh makah) yang terjadi tanggal 20 Ramadan tahun ke-delapan Hijriyah. Peristiwa maha penting itu membuka jalan persatuan negeri Hijaz dalam melebarkan sayap Islam ke luar wilayah. Dan nyatanya, sejak peristiwa itu Islam menjadi hegemoni setelah menjatuhkan dua kekaisaran adidaya; Persia dan Romawi. Philip K. Hitti dalam islam and politics menuturkan bahwa pada masa itu hanya satu hal yang bisa mengalahkan dua kerajaan penguasa dunia itu. Hal itu adalah “mimpi”.

Peristiwa lain yang mewarnai perjalanan Ramadan dan tercatat dengan tinta emas, secara singkat adalah: peristiwa penghancura berhalan ‘uzza di tangan Khalid bin Walid pada Ramadan tahun ke- delapan H. Di Ramadan tahun ke- sembilan, kemenangan juga diraih nabi dan para sahabat dalam perang Tabuk.

Penaklukan Spanyol (Fath Andalusia) terjadi pada Ramadan tahun 91 H. Penaklukan itu membuat Islam berkuasa di Spanyol selama delapan abad. Di spanyol juga, Perang Zallaqah di dekat Cordoba terjadi antara tentara Islam dengan kafirin Spanyol pada Ramadan tahun 479 H. Perang dahsyat yang dikomandani Yusuf bin Tasyfin itu dimenangkan pasukan muslimin.

Pada Ramadan tahun 658 H, kegemilangan perang ‘Ain Jalut’ dimenangkan umat Islam di Palestina. Pada pertempuran besar-besaran itu umat Islam, di bawah pimpinan sultan Muzhafar Saifuddin al- Ma’zi mengalahkan pasukan Tatar dari Mongolia yang sebelumnya telah mengalahkan pasukan umat Islam di berbagai Negara yang ditaklukkan pasukan Islam.

Bulan lapar

Kemenangan-kemenangan yang diraih umat Islam dalam pertempuran- pertempuran di bulan Ramadan ini menjadi dalil yang kuat bahwa Ramadan adalah bulan yang ditandai keunggulan dimensi rohani atas jasmani. Memang, hari ini pertempuran jasmani atau kontak fisik tak lagi terjadi. Namun itu bukan berarti kita harus lengah dalam membangun kekuatan rohani. Musuh dalam pertempuran kali ini, di jaman ini adalah perang melawan hasrat menggebu dan dorongan-dorongan duniawi yang arusnya sering menggenangi dan membanjiri wilayah rohani kita.

Bila direnungkan lebih seksama, musuh rohani kita di jaman ini ternyata lebih kuat dan lebih berbahaya dibanding serdadu bersenjata seperti yang terjadi pada peristiwa-peristiwa di atas. Ambisi merebut dan mempertahankan kekuasaan, hasrat membangun kekayaan materi dengan korupsi, perebutan kursi nomor urut caleg, hobi mengutak atik anggaran demi menyisihkan sebagiannya untuk kantong pribadi, kebiasaan mencari-cari alasan dari kesalahan yang diperbuat, kegemaran menipu dan mengobral janji palsu demi meraih dukungan massa dan lain-lainnya adalah musuh yang lebih kuat efek bahayanya dibanding musuh di medan laga.

Maka, apalagikah yang harganya semahal ‘lapar’ ibadah shaum? Adakah satu kekuatan yang mengalahkan kekuatan nilai-nilai rohani? Kalau jawabannya tidak ada, apalagi yang kita tunggu? Ayo, mari kita nikmati lapar Ramadan yang masih tersisa ini, untuk mengenyangkan dimensi rohani kita, sekenyang-kenyangnya. Wallaahu min waraa al- qashd.

*Dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC Cipasung, juga mengajar di STAI Tasikmalaya

1 Comentário:

Unknown mengatakan...

Subhanallah...

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO