Minggu, 11 Januari 2009

Menyibak Pesona di Tiap Sisi Ramadhan


Oleh: Asep M Tamam*

Subhaanallah! Kalimat itulah yang meluncur dari mulut kita —penulis khususnya— spontan bila melihat, mendengar atau membaca apapun yang menakjubkan. Kalimat itu juga yang terlontar setiap dibacakan surat al- Baqarah ayat 183. Ayat ini begitu familiar, bahkan sangat familiar karena tiap tahun selalu dibaca mulai jauh-jauh hari sebelum Ramadhan tiba, menjelang tiba, di awal bulan bahkan hingga bulan mulia ini bersua hari terakhirnya. Tapi yang lebih menakjubkan, ayat ini selalu ‘ngangenin’, keagungannya sering menyingkap lembar demi lembar perjalanan yang telah dilalui, semenjak pertama kali diperkenalkan shaum oleh orang tua kita. Kemuliaan ayat ini, walau beribu-ribu kali diulang takan mungkin membuat kita —na’udzu billah— sampai bosan.

Ayat ke 183 dari surat al- Baqarah yang selalu dilantunkan para ulama dan pendakwah ini, kekuatannya telah menggerakkan semua manusia beriman penghuni planet bumi untuk serempak bangun dini hari untuk sahur, serempak berbuka puasa bila azan maghrib mengumandang, serempak untuk mengisi setiap relung Ramadhan dengan khusyu’, dan serempak untuk memanjakan diri menikmati aneka hidangan spiritual dalam kesyahduan ibadah.

Tentunya, disyari’atkan shaum melalui ayat ini adalah pesona utama dan terutama dari hadiah Ramadhan yang Allah berikan kepada kita. Tanpa diturunkannya ayat ini, pastilah kita kehilangan beribu momentum kenikmatan bathiniyah yang efek kepuasannya tak mungkin tertandingi.

Pesona lapar

Sebulan saja, dalam setahun kita diuji oleh Allah untuk merubah pola hidup, mengganti jadwal makan, jam tidur, jam istirahat dan tentunya jam ibadah. Dalam sebulan itu umat harus tunduk pada ketentuan yang telah digariskan, yaitu kewajiban menahan lapar, haus dan syahwat, padahal ketiganya merupakan modal naluriah yang dititipkan Allah bukan hanya pada manusia, tapi juga makhluk yang lain seperti binatang.

Berat memang, dalam setengah hari kita harus mengosongkan perut yang biasanya kita pasok dengan ‘sampah’ yang nikmatnya hanya sampai di lidah. Tapi itulah caranya agama mendidik kita untuk memahami makna keseimbangan. Allah swt. berfirman, “Makanlah, minumlah, tapi janganlah berlebihan!” (QS. Al- A’raf [7]: 31 ), Nabi pun lantas bersabda, “Sungguh, termasuk kategori berlabihan bila kamu memakan apa saja yang ketika kamu mau, kamu memakannya.”

Para mufassir (ulama ahli tafsir), ketika menafsirkan ayat, Sebagaimana shiyam (puasa) ini diwajibkan kepada umat-umat sebelum kamu”, menjelaskan bahwa untuk menjaga keseimbangan jasmani dan rohani, juga untuk lebih memfokuskan diri pada satu misi, orang-orang Yunani kuno, Mesir kuno, Nasrani, Yahudi, Majusi, bahkan para penganut Hindu dan Budha terbiasa melakukan ritual pengosongan perut.

Kekuatan rasa lapar, ternyata —subhanallah!— telah membangunkan umat Islam sejagat untuk berada dalam satu kondisi dan satu rasa. Keseragaman ini telah menghadirkan empati, altruisme (itsar dalam bahasa Arab) dan jiwa solidaritas yang kuat antara orang hitam dan putih, orang kaya dan miskin juga para pemimpin dan rakyatnya. Kesatuan rasa inilah yang seharusnya bisa melahirkan ‘izzah’, yaitu keunggulan Islam dalam segala bidang. Namun sayangya, kebanyakan umat ini tidak atau belum mampu untuk mengarahkan kekuatan dari hikmah (falsafah tasyri’) shaum ke arah sana. Mereka hanya baru mampu untuk memahami shaum sebagai ibadah mahdhah (hubungan dengan Allah) saja. Padahal, bila kita mampu memahami dan memahamkan shaum ini lebih jauh lagi, kita akan menyaksikan indahnya pesona ke-Maha Adilan Allah yang tercipta lewat kewajiban shaum.

Pesona kekhususan bulan

Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Shaum itu miliku, aku akan membalas pahala shaum sekehendakku.” (HR. al- Bukhari). Dengan firmannya ini, Allah mengkhususkan Ramadhan sebagai bulan yang teristimewa. Sepuluh hari pertamanya, Allah mengguyur umat Islam dengan hujan rahmat, sepuluh hari yang kedua, Allah membanjiri umat dengan lautan maghfirah dan sepuluh hari ketiga Allah haramkan jasad umat dari sentuhan bara neraka.

Bila Allah mengkhususkan mesjid sebagai hak milik- Nya di antara miliaran rumah tempat tinggal (Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al- Jinn [72] : 18), dan bila Mesjid al- Haram Allah Khususkan sebagai rumah- Nya (baitullah atau rumah Allah), maka Allah pun mengkhususkan Ramadhan sebagai bulan- Nya dan shaum sebagai ibadah khusus bagi- Nya.

Kekhususan bulan ini takan bisa dibandingkan dengan bulan yang lainnya, walaupun harus di’keroyok’ oleh sebelas bulan. Kekhususannya membuat Ramadhan bergelar “bulan seribu gelar”. Nilai pahala ‘gede-gedean’ dan segala fasilitas kebaikan yang disibak dalam hadits-hadits Nabi menjadi hujjah bahwa di bulan ini umat Islam jangan pernah sampai lengah. Di bulan inilah kitab termulia (al- Quran al- karim), turun kepada makhluk termulia (khair al- bariyah), pada malam paling mulia (lailat al- qadr) untuk dipedomani umat termulia (khair ummah). Kitab inilah yang menunjukkan jalan lurus yang menyelamatkan manusia dari bencana duniawi dan derita ukhrawi.

Kekhususan lainnya adalah: turunnya satu malam dalam setahun. Ia adalah lailat al- qadr. Malam ini, karena kemuliaannya menjadi pusat kerinduan umat dalam menggapai puncak kenikmatan ‘menghamba’. Setetes kebaikan yang dilakukan dalam rentang waktu sedetik saja akan lebih bermakna dari “seribu bulan”. Allah maha berkehendak untuk menyentuhkan kebaikan lailat al- qadr ini bagi siapapun yang ikhlas dalam mengisi detik demi detik Ramadhan dengan terus memagutkan hatinya untuk berbisik, merayu, dan tak putus rindunya untuk ‘bermesraan’ dengan- Nya. Bagi mereka yang belum mampu mengoptimalkan sepuluh hari pertama dan sepuluh hari kedua, maka sepuluh hari ketiga adalah momen untuk bertanya dan berkata pada dirinya sendiri, “Ayo, kapan lagi kamu punya waktu, ini adalah hari-hari terindah yang belum tentu bisa kamu temukan di tahun depan. Ayo, buanglah malas, lawanlah, kalahkan ia, atau kalau tidak, kamu akan pulang ke- haribaan- Nya nanti sebagai pecundang!”

Pesona takwa

Taqwa itu terletak di sini,” demikian Nabi, dalam hadits riwayat Bukhari Muslim bersabda sambil menunjuk ke arah dada. Memang, kalau kita mengacu pada hari-hari yang lalu sebelum Ramadhan tiba, kita mendapatkan dada (hati) kita liar dan tak terawat. Ketakterawatan hati inilah yang kemudian menyeret segenap panca indera kita menjadi liar. Namun ada yang aneh ketika Ramadhan, dengan segala pesonanya hadir dan membawa kita dalam ‘penggembalaan’ hati. Di bulan yang teramat mulia ini kita harus berfikir dua bahkan sampai berkali-kali untuk membebaskan lidah kita berbicara semaunya, mata kita ‘jelalatan’ sekenanya, kaki kita melangkah sekehendaknya, dan fikiran kita menerawang semesumnya.

Ramadhan datang dengan membawa satu saja misi, yaitu agar umat Islam bertaqwa. Memang tak mudah untuk kita mengisi hari dengan takwa, yaitu mengerjakan setiap perintah dan menjauhi semua larangan. Maunya kita bahkan sebaliknya, bukankah Nabi bersabda, “Surganya Allah diliputi segala hal yang pahit dan memberatkan, sementara neraka- Nya dilingkpi segala hal yang menyenangkan dan menyelerakan.” (HR. al- Bukhari). Takwa adalah barang mahal yang tidak diperjual belikan, atau pusaka yang tidak bisa diwariskan. Ia hadir di benak siapapun yang cerdas emosional, cerdas sosial dan terutama cerdas spiritual, dan Ramadhan hadir untuk misi itu.

Ketakwaan seorang muslim akan mencapai klimaksnya manakala segenap aspek multidimensional Ramadhan bisa dijalankan secara paripurna. Aspek rohani adalah menu utama bulan ini, sementara aspek sosial adalah pelengkap utama. Zakat adalah aspek rohani karena ia adalah perintah ilahi, tapi manfaat sosialnya juga sangat besar karena membawa dampak keadilan dan kenyamanan hidup bermasyarakat.

Penutup

Pesona Ramadhan begitu luas, tidak sesempit apa yang bisa penulis tulis. Pesonanya bahkan seluas cakrawala pemikiran manusia berfikir. Setiap muslim yang berpuasa pasti mendapat pesona Ramadhan yang mungkin tidak dirasakan muslim yang lain. Begitu mahalnya pesona itu sehingga Allah menghadirkannya hanya sebulan saja dalam setahun. Oleh karena itu, karena Ramadhan masih menyisakan hari-harinya yang panjang, maka mari kita cari pesona-pesonanya yang lain, sebanyak yang bisa kita cari. Wallaahu min waraa al- qashd

*Dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC Cipasung, juga mengajar di STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO