Minggu, 11 Januari 2009

Rasul Berkata: Tuhan, Umatku Telah Meninggalkan al- Quran

RASUL BERKATA, “TUHAN, KAUMKU TELAH MENELANTARKAN AL- QURAN”

Refleksi memperingat nuzul al- Quran

Oleh: Asep M Tamam*

Tanggal lima Ramadhan lalu, ya tanggal lima, penulis melewati bilangan jalan L. Tobing, tepatnya di kawasan Sambong Jaya. Di sana ada sesuatu yang menarik dan lalu memaksa tangan ini untuk segera menulis apa yang baru saja dilihat. Rugi rasanya bila melewatkan begitu saja pemandangan yang sebenarnya bisa dihitung aneh tapi juga bisa dibilang biasa-biasa saja.

Dari dalam angkot 015 jurusan Cikurubuk-Pamipiran yang merangkak pelan, mata penulis jatuh ke sebuah becak di pinggir jalan. Di dalam becak itu tampak jelas ada pak tua pengayuh becak yang terlihat asik membaca benda kecil. Penulis yakin seratus persen, benda kecil itu adalah al-Quran. Sambil menunggu penumpang setianya, mulut keriput pak tua tampak komat kamit, sementara tangannya memegang erat benda kecil kesayangannya itu.

Pemandangan yang mengharukan ini membuat penulis iri dan juga malu. Betapa tidak, pak tua itu sempat-sempatnya memanfaatkan waktu kerja dengan membaca benda yang jarang sekali orang lain memegangnya di tempat umum seperti itu, yaitu al- Quran berukuran 8 cm X 10 cm. Sementara penulis sendiri, jangankan waktu kerja, waktu luang pun seringnya sengaja diperlakukan sia-sia tanpa menghasilkan arti apa-apa.

Judul di atas

Sebetulnya, judul di atas adalah terjemahan dari al- Quran, surat al- Furqan [25] ayat 30. Ayat di atas jelas-jelas menohok kita yang jangankan membaca, bersua al-Quran pun jarang-jarang. Kalau tidak karena Ramadhan, mata kita, lidah dan tangan kita bahkan nyaris tak digaulkan dengan buku mulia yang setiap hurufnya mengandung nilai I’jaz (kemukjizatan) ini. Ayat di atas pastinya membuat kita malu, lalu membuat kita memarahi diri dan berkata, “Ayat itu turun menegur kamu!.”

Dalam tafsir al- Maraghi, atau tafsir al-Quran al- ‘Azhim karya Ibnu Katsir dan juga shafwat al- tafasir karya al-Shabuni diterangkan bahwa ayat ini berkenaan dengan perlakuan musyrikin Quraisy terhadap al-Quran ketika ayat-ayatnya berangsur turun. Betapa keras hati mereka sehingga kemuliaan ayat demi ayat al- Quran tak mereka hiraukan dan lantas memilih untuk mandengar bunyi-bunyian lainnya yang tak karuan, syair-syair dan nyanyian yang tak bermakna. Namun menurut al- Shabuni, penekanan ayat ini adalah terletak pada keseriusan pengaduan Rasulullah kepada Tuhannya karena kaumnya itu tak menghiraukan al- Quran.

Ramadhan di pesantren

Bila kita menengok kegiatan Ramadhan di pesantren-pesantren, entah di manapun, kita akan menyaksikan atau mendengar banyak hal yang tidak seperti biasanya. Persaingan positif dalam menginteraksikan diri dengan al-Quran dari para santri adalah nuansa terindah penghias Ramadhan tiap tahunnya. Panorama seperti ini akan terus diabadikan para santri dari generasi ke generasi, sepanjang usia pesantren itu bertahan melawan arus jaman.

Penulis akan selalu ingat, dua puluh tahun yang lalu (1989-1991), di pesantren Darussalam Ciamis penulis menikmati tiga kali momen Ramadhan dengan kesan yang teramat dalam. Dari mulai terbukanya mata di waktu sahur sampai tertutupnya kegiatan di malam hari, suara al-Quran bergemuruh sambung menyambung. ‘Raeng’nya suara merdu dengan berbagai lagu sampai hari ini masih terbayang. Takan terlupa pemandanganan indah tatkala di siang Ciamis yang cukup terik, teman-teman duduk di tepian jendela dan mengarahkan bacaan al- Qurannya ke luar jendela. Pemandangan yang lebih menakjubkan hadir ketika waktu shalat tiba. Setelah berjamaah dan wirid selesai, para santri spontan terdorong untuk berkompetisi menghiasi megahnya mesjid dengan suara temerdu yang pernah ada; suara al- Quran. Pemandangan itu begitu mempesona sehingga sering penulis larut dalam keinginan mengulang kembali kejayaan masa itu, di mana al- Quran kokoh bertahta di singgasana hati.

Generasi al- Quran terbaik

Tak ayal lagi, generasi terbaik al- Quran adalah genersi para sahabat bersama maha guru mereka, Rasulullah. Dua puluh tahun lebih para sahabat setia mengikuti ayat demi ayat yang memang turun secara berangsur. Kebahagiaan mereka tumpah manakala satu ayat turun setelah beberapa lama dinanti. Ayat tentang surga membuat wajah mereka berseri. Diriwayatkan bahwa para sahabat begitu gandrung mengisi waktu dengan membicarakan keadaan surga dan para penghuninya. Namun manakala ayat yang turun bercerita tentang siksa neraka, mata mereka meleleh, hati mereka ciut, dan bibir mereka bergerak memohonkan perlindungan dari Sang Khalik.

Kerinduan mereka akan turunnya al-Quran adalah puncak segala kerinduan. Sesaat setelah satu ayat turun, mereka segera menyambutnya, berlomba menghafalnya, bergegas memberitahukan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Pengaruh kandungan al-Quran pun langsung menukik ke pusat kesadaran mereka. Satu saja contoh, ketika turun ayat, “Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan (al-Quran) ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm[53] :59-61). Maka Rasul dan para sahabat menangis sejadi-jadinya. Tangisan mereka lalu terdengar dari radius yang cukup jauh. Ibu-ibu yang menyaksikan peristiwa itu berkata, “tak pernah satu hari pun lewat pada kehidupan kami, hari yang lebih dahsyat daripada hari ini.”

Satu lagi contoh, ketika turun ayat,”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At- Tahrim [66] ayat 6), seorang pemuda lalu jatuh tersungkur, pingsan dan setelah ditalqin oleh Rasulullah, ia meninggal dunia.

Pengaruh al-Quran telah membuat hati mereka sebening air dan selembut salju, tekad mereka seteguh batu karang, mata dan bibir mereka basah seperti mata air. Sungguh, suatu generasi Qurani yang sulit kita temukan pada jaman dan generasi hari ini.

Momentum nuzul al- Quran

Sedih rasanya, kita melihat diri kita yang selalu lebih tertarik pada acara hiburan di TV daripada menghadiri ‘jamuan’ al-Quran. Sedih juga menyaksikan dunia remaja kita yang semakin cenderung permissif, mereka lebih menggandrungi dunia musik dan aneka budaya negatif lainnya ketimbang berkumpul di mesjid mendiskusikan persoalan-persoalan agama. Sedih juga mengikuti berita para pemimpin, petinggi dan pejabat negeri ini yang semakin hari semakin memperlihatkan warna buramnya.

Lewat momentum Nuzul al –Quran tahun ini, poin terpenting yang harus kita genggam adalah bagaimana melestarikan warisan termahal dari Rasulullah ini, agar tak lekang dimakan jaman, tak pupus dihantam perubahan masa. Warisan al-Quran adalah warisan yang bisa membuat umat tetap dalam kondisi terbaik, seperti yang terjadi pada generasi sahabat Rasulullah, lima belas abad yang lalu. Warisan itulah yang harus kita tanam, kita pupuk untuk anak, keluarga dan keturunan kita ke depan, sehingga al- Quran tetap lekat di tangan, lekat di bibir, menyinari langkah hati dan pijakan kaki, di manapun dan kapan pun kita berada.

Untuk pak tua pengayuh becak, penulis menghaturkan banyak terima kasih atas inspirasinya, semoga tetap menjadi inspirasi kami, untuk tetap mengakrabi al-Quran untuk dibaca, dipelajari, ditadabburi, lalu diamalkan. Dengan tulus kami berdoa, semoga al- Quran menemani pak tua sampai di akhir hirupan nafas terakhir, bahkan sampai di alam baqa. Wallaah min waraa al- qashd.


*Dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC, juga mengajar di STAI Tasikmalaya

1 Comentário:

Unknown mengatakan...

Maninggalkan Al Qur'an beserta praktek2nya

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO