Minggu, 21 Desember 2008

BERSAHABAT DENGAN AIR MATA

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan (al-Qur'an) ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)?

Ketika ayat ke 59-61 dari surat al- Najm ini turun, ahlu suffah –sekitar 300 lebih kaum fakir muhajirin yang tak punya rumah dan tinggal di pojokan mesjid Nabawi– menangis. Melihat ahlu suffah menangis, Nabi pun menangis dan, para sahabat yang menyaksikan tangisan Nabi kemudian tak kuasa menahan haru. Maka dapat dibayangkan seluruh penghuni mesjid saat itu larut dalam suasana yang menurut hadits Bukhari, tidak pernah hadir satu hari pun yang melebihi keharuan hari itu.

Ayat ini, dan puluhan ayat serupa menggambarkan satu dari berbagai dimensi kehidupan Nabi dengan para sahabat, yaitu menangis ketika membaca, mendengar atau diperdengarkan ayat-ayat al- Qur'an. Hati para sahabat –demikian menurut Dr. Mustafa Murad dalam sirat al- Sahabat-- begitu lembut, kulit mereka merinding dan mata mereka kuyup dengan air mata ketika lubuk nurani mereka bersentuhan dengan daya I'jaz (kemukjizatan) al- Qur'an.

Tulisan ini ditulis tidak untuk membuat kita cengeng dan lemah semangat, tapi justru untuk menggugah wawasan tentang hati kita yang cenderung mengeras seiring laju perkembangan jaman. Keras dan ketatnya persaingan hidup di jaman modern telah menguntungkan industri media massa untuk menyuguhkan berbagai acara hiburan. Maka acara televisi yang paling diminati dari waktu ke waktu dan menempati rating tertinggi adalah acara musik dan komedi.. Satu saja pertanyaan patut kita ajukan, pernahkah kita tersentuh dan menangis ketika menjelang shalat jumat atau pengajian mingguan ibu-ibu, dari load speaker mesjid kita diperdengarkan rekaman qiraah atau murattal al- Qur'an?

Seperti inilah menangis

Kepada Abdullah bin Mas'ud, Nabi pernah meminta dibacakan al-Qur'an, beliau ingin mendengarnya dari orang lain. Ketika bacaan ibnu Mas'ud sampai di ayat, " Maka bagaimanakah halnya apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)? " (QS an- Nisa [4] : 41), maka Nabi menyuruhnya menghentikan bacaan. Ibnu Mas'ud kemudian menyaksikan Nabi menangis sehingga janggut dan baju beliau basah.

Beberapa pakar tafsir mengomentari tangisan Nabi ini sebagai gambaran betapa mengerikannya hari kiamat nanti. Menurut Ibnu Hajar al- 'Asqalani, hadits ini juga membuktikan betapa mendalamnya cinta Nabi kepada umatnya. Maka al- Maraghi bertanya, seperti apakah cinta kita untuk mengimbangi cinta beliau kepada kita?

Jaman Nabi adalah jaman yang dihiasi derasnya hujan air mata. Di balik keperkasaan para sahabat di medan perang dan penaklukan berbagai negeri, juga kegagahan mereka dalam melawan kebatilan, mereka adalah hamba-hamba Allah yang menghiasi malam dengan cucuran air mata.

Bayangkan saja, seorang Umar bin Khattab yang dikenal keras dan tegas, adalah seorang yang tak terbiasa melewatkan baca al- Qur'annya tanpa derai air mata. Abdullah bin Syidad berkisah, aku mendengar senggukan Umar ketika membaca ayat, "aku mengadukan keusahan dan kesedihanku hanya kepada Allah." (QS Yusuf [12] : 86), padahal aku shalat di shaf paling belakang. Putranya, Abdullah, juga mendengar cenggukannya dari shaf ketiga. Dalam khutbah jumat, Umar membaca ayat, "maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya." (QS at-Takwir [81] : 14), maka dia menghentikan bacaannya karena menangis. Dalam kesempatan lain bahkan Umar sampai pingsan dan sakit selama dua puluh hari setelah membaca ayat," sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorangpun yang dapat menolaknya." (QS at- Thur [52] : 7-8).

Nah, kalau Umar saja yang keras dan tegas harus menangis, maka apalagi Abu Bakar. Sahabat yang santun ini adalah pemeran utama dalam hal menangis. Ketika Nabi sakit keras, Nabi memerintahkan sahabat untuk menunjuk Abu Bakar untuk menjadi imam. Siti Aisyah berkata," ya Rasul, Abu Bakar adalah orang sensitif, dia tidak akan mampu mengimami shalat karena selalu menangis." Nabi lalu mengulang perintahnya untuk menunjuk Abu Bakar mengimami shalat dan sahabat lain pun mengulangi protesnya. Nabi kemudian bersabda,"kalian ini seperti saudara-saudara Yusuf saja."

Kebersamaan para sahabat dengan Nabi saw, telah menghantarkan mereka untuk menyatu dengan al-Qur'an. Al- Qur'an sangat memuji hamba-hamba Allah yang menangis ketika berinteraksi dengannya. Coba kita renungkan ayat-ayat berikut ini," Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui." (QS al- Maidah [5] : 83) Lalu, mari juga kita tadabburi ayat berikut,"Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'.(QS al-Isra [17] : 109) atau juga ayat berikut, "Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis." (QS Maryam [19] : 58)

Dalam buku dumu' al- qurraa (air mata pembaca al- Quran), Muhammad Syauman al- Ramli mencatat kisah lebih dari lima puluh sahabat dan tabi'in yang berkesan mengalami nikmatnya tangisan ketika membaca al- Qur'an. Selain memberi batas pembeda antara tangisan yang ikhlas dan riya (tidak ikhlas dan ingin dipuji), buku ini juga memberi rangsangan bagi para pembacanya untuk mentadabburi setiap ayat al- Qur'an sehigga atas karunia- Nya, kitapun bisa mendapat kesempatan untuk meyakinkan diri bahwa membaca al- Qur'an itu nikmat dan mengesankan bila sampai menangis, walaupun kita tak tahu arti dan maksud kandungannya.

Kita dan dunia hiburan

Sekarang ini, tak mudah rasanya mencari momentum yang pas untuk mengembangkan potensi menangis kita seperti halnya potensi tertawa. Hal ini berbanding berbalik dengan kondisi jaman dahulu. Penulis setuju dengan ungkapan "dosa menghalangi air mata" karena pada saat iman kita terpuruk, atau ketika kita dalam kondisi lalai dan lemah semangat untuk beribadah, maka air mata itu menghilang sekering musim kemarau. Tapi ketika iman sedang subur di hati, tak sulit kita menghiasi taubat kita dengan air mata. Maka pantaslah di pipi sahabat Nabi yang sekaligus saudara sepupunya, Abdullah ibn Abbas, ada guratan kehitaman yang terlihat karena aliran air mata yang terus menerus mengalir di setiap ibadahnya.

Jaman modern seperti sekarang ini ditandai dengan tingginya kebutuhan yang mendasar akan terpenuhinya tuntutan fisik/ jasmani. Sementara kebutuhan jiwa/ rohani selalu terpenuhi dengan aneka hiburan, bukan kebutuhan pundamental yaitu agama dan suluruh aspek ritualnya. Maka jiwa manusia modern terkesan hambar, hampa tak berisi dan rapuh ketika harus berhadapan dengan kenyataan hidup yang kadangkala pahit.

Hampir setiap saat, kita bisa menghibur diri dengan memilih acara hiburan di berbagai stasiun televisi, entah itu acara musik, komedi, sinetron, reality show atau infotainmen. Bisa seharian kita dibius untuk tidak beranjak dari tempat duduk karena sayang kalau acara- acara itu terlewatkan. Sementara di luar rumah –apalagi di kota-kota besar– kita sudah ditunggu dengan berbagai acara-acara yang bisa manghilangkan stres dan suntuk. Maka patut kita mengajukan pertanyaan yang harus kita jawab sendiri, kapan kita punya waktu khusus untuk jiwa kita? Kapan kita bisa menikmati waktu dan mengisinya untuk mengundang hadirnya air mata??

Bagi laki- laki, menangis adalah hal yang tak populer. Malu rasanya menangis apalagi terlihat oleh orang lain. Tapi tidak demikian halnya dalam Islam. Nabi bersabda."ada dua mata yang tidak tersentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang semalaman berjaga di jalan Allah. (HR Turmudzi). Maka, bersahabat dengan air mata, apalagi pada saat beribadah, adalah hal yang perlu dilatih untuk dibiasakan, atau, apakah memungkinkan untuk diadakan 'kursus menangis'?

wallaahu A'lam

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO