HARI PAHLAWAN, AMROZI DAN SYEH PUJI
Oleh: Asep M Tamam*
Warna hari pahlawan 10 November tahun ini, tampaknya tak secerah hari pahlawan tahun-tahun yang lalu. Booming berita eksekusi Amrozi Cs dan berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto atau Syeh Puji dengan Lutviana Ulfah di media
Dalam kondisi sosial ekonomi yang masih ‘sakit’, dalam kondisi rakyat yang sering dimanjakan ‘buaian gombal’ para politikus dan dalam kondisi anak-anak remaja kita kehilangan arah dan kekurangan sosok idola yang memandu jalan, semestinya gebyar hari pahlawan dijadikan momentum untuk membaca dan mengkaji ulang sejarah para pahlawan bumi pertiwi beserta nilai-nilai yang mereka pegang erat dalam membidani lahir dan lestarinya kemerdekaan RI.
Kerinduan akan kehadiran para pahlawan jaman dulu yang sejarahnya kita kaji hari ini, sedikit banyak akan membuat para tokoh —dan termasuk kita sebagai warga— terjaga dan kembali meluruskan arah. Beban berat yang ditanggung para pahlawan dulu, seharusnya menjadi inspirasi bahwa ternyata kepuasan dan kebahagiaan, bagi mereka adalah pertaruhan yang harus mereka bayar dengan jiwa, raga dan keluarga.
Di hari pahlawan tahun ini, setidaknya ada dua kasus yang muncul ke permukaan, yang bagi umumnya orang bertentangan dengan nilai kepahlawanan, sementara bagi sebagian kecil, dalam dua kasus ini ada dan terselip unsur kepahlawan.
Akhirnya, Amrozi cs ada akhirnya
Tepat jam 03.00, minggu dini hari tanggal 9 November kemarin, hp penulis ‘bergetar’. Ternyata ada sms masuk dari seorang ulama muda, sahabat dekat yang sepengetahuan penulis ia dekat dengan mazhab Islam garis keras. Isi sms itu demikian, “Innaa Lillaahi…selamat jalan idolaku masa kini. Engkau adalah mujahid, engkau syahid, engkau tauladan bagi mujahid-mujahid muda. Semoga arwahmu diterima di sisi Allah.” Sempat penulis kaget dan lalu paham bahwa bagi mereka, Amrozi cs demikian adanya. Jam 05.30 paginya ada lagi sms masuk dan kali ini dari seorang aktifis muda enerjik yang penulis kenal ia sering ‘kongkow-kongkow’ di lingkungan pemikiran Islam liberal. Berbeda dengan sms pertama, sms kedua berisi demikian, “semoga dengan kematian Amrozi cs, umat membuka diri, bahwa untuk alasan apapun, Islam tidak menghendaki tindakan ‘kekerasan’ dalam menyampaikan kehendak.”
Dua sms ini, bagi penulis cukup mewakili dua pemikiran Islam di Indonesia khususnya, dan di dunia Islam pada umumnya. Sulitnya mencari moderasi untuk dua pendapat yang berseberangan dalam ‘wilayah’ tauhid ini sama persis dengan kesulitan memoderasi antara berbagai ikhtilaf yang terjadi dalam bidang fiqih. Namun, bagi penulis, perbedaan pandangan —tentang term jihad pada kasus Amrozi cs misalnya— bila ‘dilahap’ dengan hati terbuka dan mental dewasa akan menghasilkan keindahan sikap toleransi yang dalam sejarah Islam tak terhingga contohnya. Sayangnya, benih-benih fanatisme yang ‘disuapkan’ kepada umat dalam rangka doktrinasi pembenaran faham telah menumbuh suburkan kondisi yang tidak kondusif bagi umat.
Di jaman yang kental dengan nuansa kepentingan ini, sulit kita menemukan imparsialitas atau sikap netral dari seorang tokoh, entah agama atau politik yang memberi pencerahan terhadap umat. Bila di Mesir ada tokoh DR. Abdul Halim Mahmud yang menulis fiqh ukhuwah fil Islam (fiqih persaudaraan dalam Islam), atau di Amerika ada tokoh semisal Thaha Jabir Fayyadh al- ‘alwani yang menulis Adab al- Ikhtilaf fil Islam (etika berbeda pendapat dalam Islam) dan sebelumnya, di berbagai abad dan generasi ratusan tokoh dan ratusan karyanya menekankan pentingnya menyeru umat untuk menghormati perbedaan dan menganggapnya sebagai sunnatullah, maka di negeri ini, betapa kita pun merindukan tokoh yang terbebas dari solipsitas (merasa benar sendiri dan menganggap salah terhadap pendapat yang berbeda) ketika menghadapi satu persoalan sensitif yang berwujud “perbedaan”.
Syeh Puji bersensasi
Selain Amrozi Cs, ada cerita lain dari ‘pesohor’ baru di tanah air, yaitu Syeh pujiyono Cahyo Widianto atau dikenal Syeh Puji. Benar kata pepatah Arab, bul zamzam fa tu’raf. Pepatah itu bermakna, “buatlah sensasi dan kamu pasti terkenal”. Dan memang, sebagaimana sensasi yang dulu dilakoni Inul, Dewi Persik, Julia Perez dan lain-lain, sensasi Syeh Puji pun ternyata bermasalah. Uniknya, kasus syeh Puji ini masuk infotainment. Berarti Syeh Puji sudah dianggap artis walaupun cerita yang dilakoninya kurang bagus; ia diserang dari berbagai arah oleh berbagai pihak.
Selama beberapa hari ke belakang menyimak berbagai pemberitaan tentang Syeh Puji ini, penulis punya ‘unek-unek’ yang mungkin berseberangan dengan dominasi opini publik. Penulis menangkap kesan, bahwa hukum di negeri ini sedang berada dalam dilema dan mendesak untuk dikaji ulang. Konon, keputusan Syeh Puji untuk menikahi Ulfah, gadis belia berusia 12 tahun ini melanggar tiga undang-undang sekaligus; UU perlindungan anak, UU perkawinan dan UU ketenaga kerjaan.
Masalahnya, penulis menangkap kecurigaan bahwa ada unsur kepentingan untuk mengarahkan opini publik bahwa apa yang dilakukan Syeh Puji ini ‘terkutuk’ dalam versi hukum sosial. Sebagaimana kasus Aa Gym beberapa tahun ke belakang, yang sampai hari ini resistensi umat, terutama ibu-ibu akan kehadirannya masih tinggi, maka kasus Syeh Puji pun berpotensi ‘membunuh’ karir pribadinya. Bila dimunculkan pertanyaan, haramkah apa yang dilakukan Syeh Puji? Lalu pertanyaan lain, bila apa yang dilakukan Syeh Puji ini masih syubhat, debatable, tidak halal dan haram pun tidak, maka kenapa berpuluh-ratus ‘kelakuan’ anak-anak bangsa yang menyimpang dari norma agama dan hukum sosial dibiarkan dan dianggap tren?
Senin, 27 Oktober lalu, TVOne merilis data bahwa setiap tahunnya, 2 juta remaja kita membunuh anak-anak mereka dengan cara aborsi. Nah, kasus seks bebas dan aborsi yang nyata-nyata haram inilah yang semestinya menjadi bahan renungan semua pihak; pemerintah lewat Depag, Diknas, Menpora, Menkumham dan lainnya untuk mewacanakan betapa pentingnya masalah ini ditanggulangi, bukan malah dibiarkan menjadi hal lumrah dan dianggap tren, lalu menjadi budaya.
Momentum Hari Pahlawan
Senin pagi, 10 November kemarin, TRANS 7 menayangkan liputan di mana seorang reporter membawa foto empat pahlawan nasional berukuran besar dan sambil berkeliling ia bertanya kepada anak kecil, remaja sampai orang dewasa. Sungguh menyedihkan, sebagian besar orang yang ditanya tak kenal dengan nama dari wajah-wajah pahlawan besar yang telah melahirkan dan membesarkan RI. Terbenamnya gebyar hari pahlawan oleh —setidaknya— dua isu ‘hot’ di atas menjadi bahan renungan, apakah perhatian kita, pihak yang terkait khususnya, terhadap jasa para pahlawan sedemikian tak berarti apa-apa? Bila sekarang ada ‘isu’ penanaman opini bahwa Amrozi cs adalah pahlawan di mata sebagian kalangan, apakah hal ini perlu diwacanakan ataukah harus segera ditutup dan dibiarkan hilang ditelan jaman? Apakah upaya kalangan untuk menjerat Syeh Puji menjadi ’pesakitan’ karena sensasinya menikahi ‘anak kecil’ mencerminkan jiwa kepahlawanan ataukah ada agenda ‘terselubung’ yang harus diwaspadai?
Hari pahlawan,
Wallaahu min waraa al- qashd
*Dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya
Posting Komentar