Rabu, 17 Desember 2008

MEMPERBARUI KEIMANAN DENGAN MUHASABAH

Oleh: Asep M Tamam*

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”

(QS. Al- baqarah [2]: 284)

Muhasabah, ya, kata muhasabah sudah tak asing lagi di telinga warga muslim Indonesia, utamanya ketika KH. Abdullah Gymnastiar ‘bertengger’ di puncak popularitasnya. Kala itu, di setiap akhir ceramahnya, semua penghadir diajaknya untuk menghitung perbuatan yang telah berlalu yang dilakukan oleh semua anggota badan. Semua penghadir pun kemudian larut dalam tangisan. Kata muhasabah berasal dari bahasa Arab, haasaba yuhaasibu muhaasabatan wa hisaaban yang berarti menghitung atau mengalkulasi. Muhasabah dianjurkan agar kita rajin menghitung diri, membandingkan kebaikan dan kesalahan yang dilakukan anggota tubuh, terutama titik-titik sumber datangnya dosa.

Muhasabah, dianjurkan terutama di saat-saat penting dan dalam suasana taubat. Ayat ke 284 dari surat al- Baqarah ini, ketika turun mengundang protes dari kalangan sahabat. Bagaimana mungkin mereka mampu untuk selalu ada dalam suasana spiritual yang tak terputus? Padahal —sebagaimana kita— mereka pun sering lalai dan butuh suasana relaks. Mereka tak berdaya bila apa yang ada dalam hati dan pikiran mereka harus diperhitungkan oleh Allah di hari perhitungan nanti. Protes mereka didengar, dan ayat lain hadir menjawab keresahan, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al- baqarah [2]: 286).

Ada kisah yang pastinya membuat kita ciut dan terundang untuk merenung. Konon, Abdullah bin Umar setiap kali membaca ayat ini selalu saja menangis. Ketika ditanya kenapa, ia selalu menjawab, “perhitungan yang akan terjadi di hari itu (kiamat) lebih dahsyat dari yang mampu kita bayangkan!”

Bahana muhasabah memasyarakat di kalangan sahabat di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Para ulama kita sering mendendangkan kata-kata yang dilantunkan khalifah yang terkenal adil ini, “hitunglah (muhasabah) diri sebelum kau dihisab nanti, timbanglah amalmu sebelum kau ditimbang di gelanggang mizan, dan berhiaslah dengan amal saleh demi kesenanganmu di hari ‘pameran terbesar’ (kiamat) nanti.”

Umar bin Khattab, dari dialah kita tahu bagaimana gambaran sebenarnya dari muhasabah. Kata-katanya diresapi dan dipraktekannya sendiri. Anas bin Malik pernah menyertai Umar dalam sebuah perjalanan dinasnya sebagai khalifah. Ketika lewat di rumah tak bertuan, Umar masuk sendirian sementara Anas di luar. Apa yang dikatakan Umar dari dalam rumah didengar jelas oleh Anas. Umar berkata pada dirinya sendiri, “Hai Umar, apa yang akan kau pilih, taqwa kepada Allah dan berlaku adil sebagai pemimpin atau kau akan memilih azab Allah karena ketidakadilanmu?”

Kata-kata Umar lainnya pun cukup melegenda dan sering didengungkan para ulama ketika berada dalam ritual muhasabah, atau ketika berhadapan dengan dosa dan kemaksiatan yang akan dilakukannya, “jawaban apa yang akan kau sampaikan nanti ketika Tuhan meminta pertanggungjawaban dari perbuatan yang kamu lakukan?”

Kenapa bermuhasabah?

Al- insan atau manusia, walaupun dari segi fisik jasmani mempunyai bentuk terindah (QS. At-Tiin [95]: 5), tetapi secara psikis digambarkan dalam alquran selalu dalam konotasi negatif. Manusia adalah makhluk yang zhalim dan bodoh (QS. Al-Ahzab [34]: 72), ia adalah makhluk yang tergesa-gesa (QS. Al- Isra [17]: 11), ia pun makhluk yang selalu berkeluh kesah dan salah langkah ketika dicoba dengan kebaikan dan keburukan (QS. Al- Ma’arij [70]: 19), ia makhluk yang senantiasa dihantam masalah yang rumit (QS. Al- Balad [90]: 4), ia juga makhluk yang berkecenderungan merugi (QS. Al-’Ashr [102]: 2).

Melihat kondisi awal manusia yang seperti itu, maka Allah menghadirkan agama untuk menempa manusia dalam berbagai pelatihan, penggemblengan dan pembiasaan. Dari sinilah manusia diantar menuju bentuk dan predikat baru sebagai muttaqin (orang yang bertaqwa), mu’minin (beriman), muslimin (menyerahkan diri), mukhlishin (ikhlas), mutaakkilin (tawakal), shabirin dan syakirin (sabar dan syukur), muhsinin (ahli kebaikan) dan lain-lain.

Dari posisi yang mulia di atas, manusia lalu tergoda untuk terjerumus dalam berbagai godaan kemaksiatan. Predikat terbaik pun berubah menuju posisi paling terhina asfala saafiliin (QS. At- Tiin [95]: 6).

Mari bermuhasabah

Muhasabah, adalah ritual umat Islam dalam memperbaiki dan memperbarui diri, sehingga otak, lidah, mata, telinga tangan, kaki, hati daan seluruh badan kembali pada posisi paling sempurna, posisi yang terbaik sehingga langkah ke depan lebih terarah.

Dengan muhasabah, kita akan mengenali mana anggota tubuh kita yang paling sering diumbar masuk dalam dunia dosa dan pelanggaran. Di antara kita mungkin ada yang langsung menemukan, lidahlah anggota badan yang paling dibiarkan bebas mengumpat, mengejek, mencibir, menghasut, menyumpahi, membicarakan aib teman dan saudara, berkata jorok dan kasar, memfitnah, membuka rahasia, mengumbar janji sana-sini, memarahi teman, adik-kakak, anak bahkan isteri sendiri. Lidah jugalah anggota badan yang sering kita jauhkan dari memuji dan menghargai, dari baca alquran, dzikir dan wirid, dari berdakwah mengajak orang beramal baik, mendamaikan teman dan saudara dan lain-lain.

Ada juga di antara kita yang langsung menunjuk hati sebagai anggota badannya yang paling dibiarkan liar. Kita sering membiarkan hati terjepit pengap dalam siksaan rasa iri, dengki, ambisi dan angan kosong. Darinya pula lahir benci, kesumat, niat jelek, dendam, selalu ingin dipuji tinggi hati dan sombong. Pertemanan yang akrab dengan itu semua membuat hati kita terlantar dan terbiar, jauh dari sifat rendah hati, cinta sesama dan selalu terpanggil dalam segala kebaikan.

Atau mungkin mata dan telinga yang paling dominan kita korbankan untuk bebas sebebas-bebasnya. Mata kita betah untuk mengintip, mengintai, membaca dan memandang aurat, aib orang, tontonan-tontonan kotor, buku-buku dan bacaan-bacaan porno. Telinga kita pun terlanjur diakrabkan dengan omongan-omongan dosa, musik-musik nista, ocehan-ocehan kotor dan bukan alquran, lagu-lagu Islami juga nasehat-nasehat para dai, mubaligh dan para ulama.

Di antara kita, ada juga mungkin yang dominasi dosa dan kesalahannya terpusat di tangan dan kakinya. Tangannya terbiasa dilajurkan untuk mencuri dan mengutil, memukul dan menampar, mencubit dan mencakar, menengadah dan meminta, bukan memberi dan menyantuni, mengelus dan membelai anak, istri, dan orang yang sewajibnya dikasihi. Sementara kaki, seringnya kita biarkan untuk mengantar hasrat negatif ke tempat-tempat terlarang, menendang dan menghardik orang dan lain-lain.

Mengenali lidah, hati, mata, telinga, tangan, kaki dan segenap panca indera yang dihasilkan dari ritual muhasabah akan megantarkan kita pada pemahaman sebenar-benarnya akan makna hidup dan kehidupan. Dengan memahami makna kehidupan, kita akan beranjak untuk menghargai diri, keluarga, sesama dan juga lingkungan sekitar. Bila hal ini berhasil kita coba dan ulangi, maka berarti kita akan lebih siap menjelang hari-hari ke depan dengan senyum optimis.

Wallaahu mi waraa al- qashd

*Dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO