Rabu, 17 Desember 2008

MENGAIS REZEKI MENCARI KARUNIA ILAHI


Oleh: Asep M Tamam*

Dan tidak ada suatu dabbah (binatang melata) pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).

(QS. Hud [11]: 6)

Cerita seputar ‘ritual’ mudik dan balik kini telah usai. Suasana pun telah kembali pada posisi sebelum kedatangan Ramadan. Semua karyawan, pegawai dan pekerja sudah berada di depan meja, mesin dan di tempat masing-masing. Semuanya sudah kembali dengan kesibukan seperti sedia kala, semua sudah kembali lagi bekerja.

Bekerja adalah aktivitas yang membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya. Ketika tumbuh-tumbuhan dan hewan peliharaan cukup diam di tempat, lalu Allah kirim rezekinya dari jalan yang dikehendaki- Nya, maka manusia disuruh untuk mencari sendiri karunia- Nya.

Surat Hud ayat ke-enam di atas menjadi dalil bahwa rezeki manusia, bahkan semua makhluk yang bergerak di muka bumi ini menjadi tanggung jawab Allah. Namun kata dabbah (melata atau merangkak) dalam ayat ini dimaksud bahwa untuk mendapatkan rezeki- Nya, manusia harus bergerak dan tidak tinggal diam. Ia harus bergerak, terus bergerak dan tidak menanti orang lain bergerak untuk mencari rezeki bagi dirinya.

Rahasia rezeki Allah

Pada awalnya, rezeki diartikan sebagai pemberian untuk waktu tertentu, demikian menurut pakar bahasa Arab, Ibnu Faris dalam lisan al- ‘arabnya. Arti asal dari kata rezeki ini lalu berkembang sehingga rezeki diartikan antara lain sebagai pangan, pemenuhan kebutuhan, gaji, hujan dan lain-lain. Rezeki, bagi sebagian ulama terbatas pada pemberian yang bersifat halal, sehingga yang haram tidaklah disebut rezeki. Tetapi pendapat ini ditentang oleh mayoritas ulama. Mereka memberi alasan bahwa alquran berkali-kali menyebut kata rizqan hasanan atau rezeki yang baik. Pemahaman kata ‘rezeki yang baik’ ini —demikian Prof. Quraish Shihab dalam al- Misbahnya— menuntut adanya pemahaman tentang adanya ‘rezeki yang tidak baik’, artinya rezeki yang haram. Berdasar alasan tersebut maka dapat dirumuskan bahwa rezeki adalah segala pemberian yang dapat dimanfaatkan, baik material maupun spiritual.

Allah swt. sebagai ar- Razzaq menjamin rizki dengan menghamparkan bumi dan langit degan segala isinya. Dia menciptakan semua wujud dan melengkapinya dengan segala yang mereka butuhkan. Tentunya, jarak antara rezeki dengan manusia lebih jauh dari jarak antara rezeki dengan binatang apalagi tumbuhan. Itu karena Allah memberikan selera yang tinggi pada manusia, sedangkan hewan, dari hari ke hari dan dari waktu ke waktu hanya cukup diberi makanan yang sama, itu-itu juga. Oleh karenanya, manusia dianugerahi sarana yang lebih sempurna; akal, ilmu, pikiran dan sebagainya.

Jarak antara rezeki bayi dengan rezeki orang dewasa pun berbeda. Bayi menunggu makanan dan menanti untuk disuapi, sementara orang dewasa tidak demikian, Allah swt. telah menyiapkan sarana dan manusia diperintahkan mengolahnya, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al- Mulk [67]: 15).

Mulyanya pekerja giat

Nabi Muhammad saw. bersabda, “burung-burung keluar, mereka lapar di waktu pagi dan kembali sore dalam keadaan kenyang.” Apa yang disampaikan nabi memang benar adanya. Namun yang harus diingat, burung-burung itu tidak berdiam di sarangnya, tetapi ia keluar dan berburu rezeki. Demikian juga seharusnya manusia. Bila nabi menyuruh umatnya untuk bekerja, maka beliau mencela orang-orang yang malas. Dalam sabdanya disebutkan, “jelek sekali orang yang mukaffi (mencukupkan nafkah dari hasil kerja orang lain) dan farigh (puas dalam kondisi menganggur).”

Dalam buku al- islam wal- iqtishad (perspektif Islam tentang ekonomi), syaikh al- shirbashi mengungkapkan betapa cintanya Allah kepada orang-orang yang sibuk bekerja, betapa banyak ayat-ayat yang menganjurkan untuk bekerja dan memuji mereka yang giat bekerja. Satu saja ayat yang diangkat adalah ayat “Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amal (pekerjaan)nya dengan baik.” (QS. Al- Kahfi [18]: 30).

Suatu hari nabi melihat seorang dari golongan Anshar yang tangannya keras dan kasar. Ketika ditanya kenapa tangannya sampai kasar begitu, orang itu menjawab, “ Tangan ini saya pakai bekerja membelah kayu. Dengan tangan ini saya menafkahi isteri dan anak-anak saya” Rupanya bekas kapak yang tiap hari menemaninya itu membuat nabi terharu dan menangis. Nabi bersabda, “Ini adalah tangan yang tidak mungkin disentuhkan dengan api neraka.”

Cerita lainnya adalah apa yang terjadi pada khalifah Umar bin Khattab, suatu hari ia sangat terpesona menyaksikan penampilan seorang pemuda yang perlente, rapih dan segar. Ketika diberitahukan padanya bahwa pemuda tadi adalah penganggur yang hanya mengandalkan harta pusaka peninggalan orang tuanya, Umar lantas kecewa dan mengganti sikap terpesonanya dengan mencela siapapun yang hidup seperti duud al- ‘alaq (lintah) dan memanfaatkan keringat orang lain seperti pemuda tadi.

Dalam buku sirat al- shahabah, Dr. Mustafa Murad membari tahu kita bahwa para sahabat nabi tidak semuanya dan tidak setiap waktu menyertai nabi di mana pun dan kapan pun nabi berada. Tapi yang menakjubkan adalah mereka mengkonvergensikan antara menuntut ilmu, bekerja dan berjihad. Umar bin Khattab misalnya, dia adalah pedagang yang giat berdagang di kampung Bani Umayah bin Zaid, dataran tinggi Madinah. Untuk menyambung pertemuannya dengan nabi, dia bersama sahabatnya dari golongan Anshar bertanawub (bergilir) mengunjungi nabi untuk mencari informasi ayat yang turun dan hadits yang disabdakan nabi. Sehari Umar berkunjung kepada nabi dan esok hari sahabatnya itu yang berkunjung, dan demikian seterusnya. Sepulang dari kunjungan, keduanya langsung mengabarkan apa yang baru saja didengarnya dari nabi. Kedua sahabat itu tak mungkin berbohong atau menyembunyikan apa yang didengarnya itu.

Mengubah paradigma

Jaman ini adalah jaman yang ditandai ketatnya persaingan. Di satu sisi, kita menyaksikan umat Islam hanyut dalam sikap malas yang berkepanjangan, di sisi yang lain kita juga menyaksikan ketidak jujuran meruyak di setiap sudut di berbagai tempat. Malas adalah penyakit kronis yang harus sabar diobati, sementara ketidak jujuran adalah sikap mental yang tak boleh surut diperangi.

Kedua sikap negatif ini diperparah oleh sikap umat yang tak malu untuk menengadahkan tangan memohon kebaikan dari orang lain. Terkadang kita miris dengan kabar bahwa di berbagai instansi dan perusahaan, proposal permohonan sumbangan menumpuk dan tak tertangani. Di pinggir jalan raya, kita juga masih melihat begitu banyaknya permintaan sumbangan dengan berbagai-bagai cara. Hal ini, walaupun masih debatable, mengesankan kondisi umat Islam secara keseluruhan.

Maka dengan semangat kerja yang berujung pada semangat memberi, umat Islam harus segera menyusun paradigma baru bahwa untuk menggapai ‘izzah, umat harus produktif. Para nabi Allah senantiasa bertahan dalam paradigma hidup “Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberiku makan.” (adz- Dzaariyaat [51]: 57)

Wallaahu min waraa al- qashd

*Dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya

.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO