SULITNYA MENJAGA KESEHATAN ROHANI
Oleh: Asep M Tamam*
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu." (QS. Ash- Shaffat [41]: 30)
Maha Suci Allah SWT, Ia telah menciptakan hidup dan kehidupan setiap makhluk lengkap dengan berbagai modal dan kebutuhannya. Dengan itu lalu setiap makhluk terjaga kelestariannya. Manusia adalah makhluk yang paling lengkap dalam segalanya sehingga cocoklah bila Allah mengamanatkan dunia dan segenap isinya untuk dikelola dan didayaguna.
Salah satu hal yang menjadi modal kelestarian kehidupan manusia adalah, ke-Maha Kuasaan Allah menjadikan segala sesuatu berpasangan dan bervariasi. Bisa dibayangkan, bila irama kehidupan manusia monoton dan instrumentnya sejenis, maka kehidupan pun pasti akan segera terhenti.
Seorang sahabat Nabi, Hanzhalah bin Abi Amir pernah mengeluh dan menangis di hadapan Abu Bakar shidiq. Ia menyatakan bahwa dirinya munafik; ketika bersama Nabi ia bisa khusyuk beribadah, sementara bila keluar dari halaqah Nabi, saat bercengkerama dengan isteri dan anak-anaknya, ia kembali lalai. Abu Bakar lalu membawanya ke haribaan Nabi. Dengan senyum penuh kebijakan, Nabi menyabdakan, “saa’atan saa’atan.” Maksud nabi, hidup haruslah barvariasi, di saat beribadah, Hanzhalah harus menjaga kekhusyuan, namun pada saat bekerja atau bercengkerama dengan keluarga, maka tanpa melupakan- Nya, Hanzhalah bisa menikmati saat-saat itu dengan menikmati kebahagiaan yang dihadirkan Allah di tengah keakraban kehidupan keluarga.
Makna dan gambaran Istiqamah
Istiqamah adalah bentuk kata jadian (infinitife noun) dari kata kerja istaqaama. Ia terambil dari kata qaama yang pada mulanya lurus/ tidak mencong. Secara terminologi, istiqamah berarti pelaksanaan sesuatu secara baik dan benar serta bersinambung. Kata istiqamah lalu dipahami dalam arti konsisten serta setia melaksanakan sesuatu sebaik mungkin. Demikian Prof. Dr. Quraish Shihab dalam tafsir al- Misbah ketika menafsirkan ayat 14
Dengan bahasa yang indah, HAMKA menggambarkan makna istiqamah dalam tafsir al- Azharnya,”Istiqamah adalah teguh pendirian dalam bertuhan kepada Allah dalam hati sanubari, dalam tindakan hidup, dalam kesyukuran menerima nikmat, dalam kesabaran menghadapi cobaan dan kesulitan. Kadang-kadang kita mendaki, sehingga keringat mengalir sampai di kaki. Kadang-kadang pegallah kaki di kala menurun, melalui jurang, lurah dan gurun, namun pendirian tidak berubah, ia akan terus menjaga pendiriannya bahwa Tuhan kami adalah Allah”
Seseorang yang istiqamah digambarkan laksana batu karang di tengah-tengah lautan yang tak bergeser sedikit pun walau dihantam gelombang yang bergulung-gulung. Perintah untuk beristiqamah bertebaran di beberapa ayat dalam al-quran. Di antaranya, “Katakanlah: Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya,” (QS. Fusshilat [41]: 6), “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar (istiqamah), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Hud [11]:112), “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu (istiqamah) dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka”. (QS. Al- Syura [42]: 15).
Diriwayatkan bahwa seorang sahabat yang bernama Sufyan bin Abdillah al- Tsaqafi meminta kepada Rasulullah SAW supaya mengajarkan intisari ajaran Islam dalam sebuah kalimat yang singkat, padat dan menyeluruh sehingga ia tak perlu mempertanyakan lagi kepada yang lainnya. Memenuhi permintaan sahabat tadi, Nabi bersabda, “Qul aamantu billaahi tsummastaqim (katakanlah, aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah!)”
Dalam buku Laa Tahzan, Dr. Aidh al- Qarni menjelaskan bahwa kesempurnaan iman harus disokong oleh istiqamah. Kebahagiaan bathin hanya akan terwujud manakala tabungan keimanan dalam hati seorang mukmin penuh. Namun kebahagiaan akan hampa, bahkan berubah kesengsaraan batin ketika perbendaharaan keimanan dalam hati defisit dan kosong. Maka istiqamah adalah ajaran akhlak Islami yang menghantarkan seorang mukmin selalu dalam suasana rohani yang penuh kebahagian.
Menjaga kesehatan rohani
Setiap kali kerinduan hati kita tersambung dengan kebesaran Allah, kenikmatan rohani yang terasa begitu kuat. Setiap kali tangan kita menyentuh Alquran, mata kita seksama membacanya, fikiran kita terpusat kepada apa yang dipegang dan dibaca, maka terasalah pada saat itu bahwa dunia dan segala isinya tak lagi berharga. Setiap kali raga kita berada di tempat-tempat mulia; mesjid dan semua tempat yang menjauhkan perhatian pada segala urusan duniawi dan jasmani, maka kita selalu saja merasa bahwa kita adalah makhluk yang paling berguna, bahkan juga paling beruntung.
Sebaliknya pada saat yang lain, kita sering terjebak pada suasana rohani yang paling menyiksa. Raga jasmani kita sering terjerembab di tempat-tempat yang menyimpan energi dosa, ketika itu nafsu kita terlajur pada kebahagiaan duniawi sesaat, tawa canda pun bergemuruh memenuhi setiap jengkal ruangan. Hangar bingar suara, pemandangan dan segalanya menjanjikan pemuasan bagi mata, telinga dan segenap panca indera. Pada saat itu, nurani kita menangis, sisi ruang rohani pun meronta dan meneriakkan kata-kata penyesalan. Maka benarlah firman- Nya, “Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apapun (kebahagiaan duniawi) yang mereka kumpulkan”.
Kedua sisi ini, baik dan buruk, selalu saja bergantian mengisi kehidupan kita yang sampai hari ini pun masih belum menemukan format terbaik yang bisa kita jaga dan pertahankan. Ketika kesadaran religiusitas kita memuncak, betapa sulit kita menjaganya, lantas sedemikian cepat posisinya berubah arah. Ketika kondisi kesadaran keimanan melemah, hampa dan mengering, betapa seringnya kita terlena, bahkan membiarkan suasana itu memanjang dan kita terjebak di dalamnya. Rutinitas ibadah yang dilakukan pun tak lagi bisa dihayati dan dinikmati, kekhusyuan hilang dan gerakan-gerakan shalat pun tak lagi menyertakan hati.
Maka sedikit catatan tentang istiqamah ini, pastinya akan menggugah penulis khususnya, pembaca umumnya untuk selalu menjaga langkah ‘lahir’ (jasmani) dan suasana ‘bathin’ (rohani), sehingga lahir dan bathin kita seirama dalam melangkahi hari-hari ke depan dengan lebih berbeda. Kesehatan jasmani adalah utama, tapi jauh lebih utama menjaga kesehatan rohani. Sedikit ilmu tentang istiqamah ini, juga diharapkan bisa merubah suasana, bahwa kita akan nyaman dan bahagia, manakala sisi rohani kita terkenyangkan, lalu kita bisa betah dan berlama-lama berada di dalamnya.
Wallaahu min waraa al- qashd
*Penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) IAIC Cipasung dan dosen Bahasa Arab STAI Tasikmalaya.
Posting Komentar