Minggu, 21 Desember 2008

IHSAN, LEBIH DARI SEKEDAR ADIL


“Sesungguhnya Allah memerintahkan supaya berlaku adil dan berbuat Ihsan, pemberian kepada kaum kerabat, dan dia melarang perbuatan keji, kemunkaran dan penganiayaan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat selalu ingat”.

Surat an-Nahl ayat 90 ini, bagi kaum muslimin pastilah tidak asing lagi. Semenjak pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, (Khalifah ke 8 Dinasti Umayah, 717 – 720 M) sampai hari ini, rangkaian khutbah jum’at selalu ditutup dengan pembacaan ayat ini.

Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud menilai bahwa inilah ayat al-Qur’an yang paling sempurna kandungannya. Karena kesempurnaannya ini Al-‘Iz bin Abdussalam menamai ayat ini sebagai ‘al-syajarah’, pohon yang lengkap dengan akar, batang, daun, cabang, buah dan lain-lain.

Dalam ayat ini ada dua kata, Adil dan Ihsan yang mendapat perhatian khusus dari para ahli tafsir. Adil, selalu didefinisikan dengan ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’.(wadh’u syaiin fi mahallihi). Keadilan mengharuskan ketepatan menempatkan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Maka adil juga didefinisikan dengan ‘memberikan hak kepada siapapun yang berhak menerimanya. (i’tha’u kulli dzi haqqin haqqahu).

M. Quraish Shihab --dalam al-Misbahnya-- setelah mendalami kata adil dari ulama-ulama besar semisal al-Biqa’i, Thahir Ibnu ‘Asyur, al-Sya’rawi dan Thabathaba’i, memahamkan adil dengan kewajiban. Seorang yang adil adalah orang yang selalu menunaikan kewajiban. Sedangkan Ihsan difahamkan dengan Sunat. Seorang yang ihsan adalah orang yang --setelah menyempurnakan kewajiban-- melakukan hal-hal yang sunat.

Lantas, manakah yang lebih utama, adil atau ihsan? Jawabannya adalah : Ihsan merupakan puncak dari ibadah dan kebaikan. Gambaran konkritnya --demikian menurut M. Quraish Shihab-- : adil adalah anda memperlakukan orang lain sama seperti perlakuan anda terhadap diri anda, sedangkan ihsan adalah anda memperlakukan orang lain, lebih dari perlakuan anda terhadap diri anda. Dengan Ihsan, anda akan memberi lebih dari apa yang seharusnya anda beri, dan rela menerima hak lebih sedikit dari yang semestinya anda terima.

Gambaran adil dan Ihsan berlaku dalam segenap aspek kehidupan dan berlaku juga untuk segenap profesi. Bukan hanya suami yang harus adil, tapi istri juga, bukan hanya pemimpin yang harus adil, tapi rakyat juga, bukan hanya hakim yang harus adil, terhukum juga, karena adil adalah penopang keseimbangan kehidupan.

Adil dan ihsan dalam kepemimpinan

Islam mengajarkan bahwa setiap kita adalah pemimpin, meskipun pemimpin secara umum sering dimaknai sebagai kepala atau ketua pada berbagai konteks sosial. Sejarah Islam telah mencatat dengan tinta emas, pemimpin-pemimpin legendaris yang telah sukses memberikan contoh konkrit, bukan hanya adil, tapi juga Ihsan.

Pemimpin yang adil, bukan hanya dia yang telah menunaikan hak-hak rakyat, tapi juga mendapatkan hak-hak pribadinya. Tapi pemimpin yang Ihsan, dia berhasil menunaikan hak-hak rakyat, meskipun dia sendiri rela mengorbankan hak-hak pribadinya.

Lihatlah Abu Bakar ash-Shidiq, di akhir perjalanan hidupnya, ia memerintahkan agar tanah miliknya dijual dan seluruh hasilnya diserahkan ke kas negara. Sisa kekayaannya ia wasiatkan untuk diberikan kepada Khalifah penggantinya. Umar bin Khattab lalu menerimanya dengan tangisan, ia berkata :”Abu Bakar, engkau telah membuat tugas penggantimu menjadi sangat sulit.”.

Umar bin Khattab, khalifah kedua, di akhir hayatnya hanya meninggalkan sebuah rumah yang kemudian dijual oleh ahli warisnya untuk menutupi utang-utangnya selama masa pemerintahan. Bekas rumahnya ini kemudian dinamakan Dar Al-Qadha (rumah bayar utang).

Ustman bin Affan sebagai Khalifah ketiga, ketika kepemimpinan umat Islam dipercayakan kepadanya, ia adalah orang terkaya di Jazirah Arab, tetapi ia infakan seluruh hartanya demi umat Islam sehingga di akhir kepemimpinannya yang berjalan 12 tahun, hartanya habis dan hanya meninggalkan beberapa ekor kambing dan unta saja.

Ali bin Abi Thalib, imam al- masakin (pemimpin orang-orang miskin) dan Khalifah ke 4 ini, bahkan dalam 4 tahun lebih masa kekhalifahannya tidak pernah menambah perabot rumah tangganya. Di akhir perjalanan hidupnyapun ia tidak meinggalkan apa-apa.

Gaya kepemimpinan 4 khalifah ini bukan hanya menggambarkan kesederhanaan dan keadilan, tapi bahkan sudah sampai ke tingkat Ihsan. Posisi kekhalifahan, sebetulnya memungkinkan mereka menjadi orang-orang terkaya, tapi mereka tidak mengambil hak-haknya itu walaupun sah dan halal.

Lalu, mari kita menghadiri kehidupan pemimpin-pemimpin, pejabat-pejabat dan petinggi-petinggi negeri ini, kita bisa menangkap kesan, bahwa asumsi mereka tentang prestasi adalah ketika fasilitas hidup direngkuh dan diraih, walaupun hak-hak rakyat terampas atau tidak tersampaikan.

Hari ini, kita tidak mungkin menuntut pada pemimpin-pemimpin dan pejabat-pejabat kita untuk berlaku Ihsan, kita baru berharap bisa menikmati keadilan di mana hak-hak kita sebagai warga dan rakyat terpenuhi. Tapi nampaknya harapan itu pun masih harus sabar kita nantikan, karena semakin hari, hak-hak itu justru semakin berpihak kepada para pemimpin, pejabat dan petinggi. Ma sya Allah.

PENUTUP

Allah telah menjanjikan Cinta-Nya kepada siapapun yang berbuat Ihsan, yang hanya berfikir untuk memberi, walaupun tidak menerima, yang hanya berfikir tentang kewajiban, walaupun lupa akan hak, yang hanya berfikir tentang orang lain, walaupun dirinya sendiri terabaikan. (QS. Al-Baqarah : (2) : 195, Ali Imran (3) : 134 dan 148, dan Al-Maidah (5) : 13 dan 93)

Asep M. Tamam M. Ag., dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC Cipasung Tasikmalaya, juga mengajar di STAI Tasikmalaya.

1 Comentário:

Unknown mengatakan...

post bagus. terus berkarya.

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO