Rabu, 17 Desember 2008

KALIGRAFI, KARYA BUDAYA YANG MAKIN MEMESONA


Oleh: Asep M Tamam*

Mengagumkan! Jauh sebelum nabi Muhammad dilahirkan, bangsa Arab hampir-hampir tidak mengenal tulisan, bahkan “anti huruf”. Meskipun dikenal dengan ‘bangsa penyair dan penghafal’, namun tulisan Arab yang ada waktu itu tidak termasuk tulisan adiluhung yang menyamai tulisan-tulisan besar dunia seperti hieroglip (Mesir), Devanagari (India), Kaminomoji (Jepang), Azteka (ndian), Fonogram (Assiria), Romawi, Cina, Babilonia dan lain-lain.

Kini, tulisan Arab adalah ‘raja’ dari berbagai tulisan dunia yang ada. Ia bisa dinikmati dengan mata lahir, menyelusup ke kedalaman relung-relung kesadaran batin dan kemudian menggugah berbagai rasa. Al- Quran, sebagai wahana yang bisa disentuh dari berbagai dimensi telah melahirkan bukan hanya pembaca-pembaca (qori) tingkat dunia yang suaranya bisa dinikmati dengan telinga, ia juga telah mengisi dimensi estetika Islam yang bisa dilihat dengan mata, yaitu kaligrafi yang dalam bahasa Arab disebut khat.

Legenda kaligrafi dunia, Yaqut al- Musta’shimi (w. 698 H/1298 M) menggambarkan kaligrafi sebagai “arsitektur rohani yang diekspresikan dengan medium jasmani” (handasah ruhaniyah, zhaharat bi alah jismaniyah). Siloka Yaqut al- Musta’shimi ini lalu dibahasa Inggriskan oleh M. Ugur Derman dalam jurnal art & islamic world (1987) menjadi “calligraphy is a spiritual geometry brought about with materials tools”. Definisi tentang kaligrafi pun untuk beberapa lama mengacu pada pendapat-pendapat ini.

Keindahan kaligrafi memang sulit diungkapkan dengan lisan. Ia adalah jelmaan dari keagungan al- Quran yang dipancarkan kepada huruf Arab, lalu dipadukan dengan kesungguhan seniman muslim untuk menghias mesjid, rumah, kertas, kaus bahkan cawan dan lain-lain. Keindahan kaligrafi ini diungkap al- Haidari dalam buku atsar al- Islam ‘ala al- khatt al- arabi dengan berujar, ”Kaligrafi adalah bagian paling mendasar dari seni Islam.Oliver Leaman dalam Islamic Aesthetics dan al- Faruqi bahkan menyebut kaligrafi sebagai art of Islamic art (seninya seni Islam).

Kaligrafi di Indonesia

Kaligrafi adalah tuilsan ‘diam’ yang jika diamati akan seperti ‘bergerak-gerak’. Pesan yang dikandungnya terkadang melampaui pesan yang dilisankan. Ia hadir di Indonesia seusia dengan kehadiran Islam di ranah pertiwi ini. Pada awalnya, aksara Arab ini tidak hanya digunakan untuk kepentingan naskah berbahasa Arab atau al- Quran saja, tapi juga untuk bahasa Melayu atau Indonesia yang di jaman dulu disebut Pegon, huruf Jawi atau huruf Melayu.

Huruf ini digunakan sebagai medium pengajaran dan penulisan kitab-kitab, terutama di pesantren-pesantren jaman dulu. Pada panji-panji yang dikibarkan saat terjadi perang terbuka antara kerajaan-kerajaan Islam dengan non-Islam di Nusantara, kaligrafi turut disertakan dan dikibarkan lewat lafaz Jalalah seperti laa ilaaha illallah, Muhammad rasulullah. Dengan demikian, ciri-ciri kenusantaraan kaligrafi Arab-Islam di Indonesia sejak semula telah diwarnai seni Islam yang bersifat ilahiyah.

Corak kaligrafi di Indonesia sampai pertengahan abad dua puluh masih sangat sederhana. Hal itu disebabkan oleh belum adanya buku-buku pelajaran yang memuat kaedah menulis kaligrafi secara terencana. Di Timur Tengah sendiri, buku-buku semacam itu baru terbit pada awal abad XX. Di Indonesia, buku pelajaran kaligrafi pertama kali adalah karangan Abdul Razzaq Muhili pada tahun 1961 yang berjudul “Tulisan Indah”, disusul oleh buku “Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab” yang ditulis oleh Drs. Abdul Karim Husein pada tahun 1971.

H.D. Sirojuddin AR, guru penulis yang juga penulis al- Quran dan puluhan buku tentang kaligrafi di Indonesia menyatakan bahwa ‘titimangsa’ kebangkitan kaligrafi di negeri ini dapat diukur dari tahun 1979 di mana apresiasi terhadap event-event kaligrafi tingkat nasional, apakah di ajang MTQ, pameran-pameran di hotel-hotel, gedung-gedung kesenian dan pemerintahan mulai dijubeli para penikmat seni. Pak Sirojuddin sendiri, adalah pelaku sekaligus panitia even-even tersebut.

Selanjutnya, kebangkitan minat dan demam kaligrafi menjangkiti setiap pori-pori negeri ini, terutama di kalangan anak-anak sekolah, para santri dan mahasiswa. Riuh sambutan juga bergemuruh di lingkungan remaja mesjid, karang taruna, dan pusat kegiatan remaja lainnya. Selanjutnya, hampir tiada hari-hari besar yang diperingati tanpa memasukkan unsur kegiatan lomba kaligrafi.

Momentum terindah membahananya kaligrafi di Indonesia adalah masuknya cabang ini pada MTQ nasional yang dimulai pada MTQ nasional ke XII di Banda Aceh tahun 1981, juga MTQ nasional ke XIII, 1983 di Padang. Pembinaan pun kemudian berkembang dari mulai tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota sampai hari ini. Yang menakjubkan kemudian adalah kehadiran kaum perempuan yang dimulai pada akhir dekade 80-an . Kalau pada festival Istiqlal 28 tahun yang lalu peserta sayembara kaligrafi dari kaum hawa ini hanya satu orang saja, maka jumlah peserta kaligrafi di tahun-tahun terakhir hampir menyamai jumlah peserta dari kaum Adam.

Pada era 90-an, ada fenomena yang sempat mengguncangkan dunia perkaligrafian di tanah air, yaitu perseteruan sengit antara para penulis kaligrafi murni dengan para pelukis kaligrafi yang diistilahkan saat itu dengan ‘kaum pemberontak’. Polemik berkepanjangan pun tak terelakan antara ‘punggawa’ kaligrafi murni yang dikomandani H.D. Sirojuddin AR dengan pelukis-pelukis kaligrafi semisal Amri Yahya, Syaeful Adnan, A.D. Firous, Amang Rahman dan lain-lain. Kalaulah kaligrafi murni berangkat dari kaedah-kaedah kaligrafi baku yang sangat ketat, maka pelukis kaligrafi berangkat dari mereka yang berlatar belakang pelukis professional yang ingin sama-sama mengangkat seni Islam terindah ini dengan mazhab yang mereka bawa sendiri. Polemik itu akhirnya berlalu dan menemukan jalan penengah di mana pada akhirnya penulis kaligrafi murni jadi terdorong untuk mengangkat kaligrafi murni pada ranah lukisan di satu sisi, dan di sisi yang lain, para pelukis juga mendalami rumus-rumus kaligrafi murni seperti naskhi, tsulutsi, diwani, farisi, diwani jali, raichani, riq’i dan koufi.

Kaligrafi di Tasikmalaya

Sebagai orang Tasik, penulis harus berbangga diri karena di tanah yang penulis injak ini, ada maestro kaligrafi yang melegenda, dia adalah (alm.) H. Saefullah M. Aziz dari Salawu, kabupaten Tasikmalaya. Bangga juga karena secara pribadi, selama setahun penulis pernah mencicipi sajian materi kaligrafi yang beliau ajarkan tahun 1986-1987 lalu. Karya-karya masterpiece beliau telah tersebar dari pulau Jawa hingga Nangro Aceh Darussalam, dari Kalimantan sampai Irak bahkan puteranya, Iqbal, melanjutkan “da’wah qalamiyah” (dakwah pena) ayahnya ini sampai ke negara Bosnia. Iqbal, jebolan desain interior Bandung ini, secara diam-diam telah menjelajah jengkal demi jengkal peta Indonesia dengan karya-karya fenomenalnya. Sungguh, ini merupakan prestasi yang seharusnya diapresiasi oleh pemerintah dan warga Tasik.

Melihat animo para pelajar dan para santri di Tasik —tentunya kabupaten dan kota— untuk menggeluti dunia kaligrafi, penulis optimis bahwa dalam beberapa tahun ke depan, kaligrafer-kaligrafer (khattat) kita mampu berbuat lebih banyak. Ketika pada tahun 2004 lalu penulis dipercaya sebagai dewan hakim bidang kaligrafi (MKQ atau Musabaqah Khattil Quran) di ajang MTQ tingkat kabupaten dan kota Tasik, peserta yang ikut hanya kurang dari 15 orang. Tapi di tahun berikutnya, jumlah peserta putera dan puteri melonjak menjadi lebih dari 90 orang. Tahun-tahun berikutnya pun jumlah peserta berkisar pada jumlah tersebut.

Sampai hari ini, pembinaan kaligrafi di beberapa wilayah seperti Salawu, Tamansari, Indihiang, Cicurug (Cibeureum), Cipasung dan Ciawi masih terus berlanjut meskipun tidak se’dahsyat’ pembinaan di kabupaten/kota di belahan lain propinsi Jawa Barat seperti Sukabumi, Cianjur, Depok, Bogor, Karawang dan Bekasi. Di kabupaten-kabupaten tersebut, pembinaan secara periodik intens dilakukan dengan menghadirkan instruktur-instruktur yang berkaliber juara nasional dan juara ASEAN. Ke depan, untuk lebih menaikkan pamor kaligrafi Tasik, kita membutuhkan sebuah lembaga atau badan yang menampung para kaligrfer lokal, kemudian mengakomodir berbagai harapan dan segala unek-unek mereka sehingga level kaligrafi di Tasik khususnya, Priangan Timur umumnya lebih menjanjikan.

Penutup

Kaligrafi, di setiap masanya, telah memberikan kesegaran mata (lahir dan batin) bagi penulisnya, juga pembacanya. Seorang ahli hikmat berujar, “kaligrafi adalah kecantikan rasa, duta akal, penasehat fikiran, senjata pengetahuan, penjinak hati yang keras dan kasar, pembicaraan indah dalam ‘diam’, dan ringkasnya, ia bagai ruh dalam tubuh”.

Usapan kaligrafi atau khat indah telah mengusap hati para penikmatnya sehingga dalam sejarahnya, ia telah sukses menjadi faktor penting dalam mempersaudarakan kaum muslim dalam satu rasa dan bahasa keindahan. Ia pun, telah berhasil memanifestasikan dirinya pada seluruh pemikiran seni dan kebudayaan Islam yang berujud karya-karya indah. Ia lahir dari sinergi yang kuat antara akal fikiran, mata dan tangan. Itulah karya agung dari kebudayaan Islam yang semakin hari semakin memesona.

* Pembina kaligrafi kabupaten/kota Tasikmalaya. Dari tahun 1985 sampai sekarang telah menulis di lebih dari 150 mesjid.

1 Comentário:

Nasrulloh mengatakan...

ukuran kesuksesan kaligrafi di Indonesia.

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO