KALIGRAFI, KARYA BUDAYA YANG MAKIN MEMESONA
Oleh: Asep M Tamam*
Mengagumkan! Jauh sebelum nabi Muhammad dilahirkan, bangsa Arab hampir-hampir tidak mengenal tulisan, bahkan “anti huruf”. Meskipun dikenal dengan ‘bangsa penyair dan penghafal’, namun tulisan Arab yang ada waktu itu tidak termasuk tulisan adiluhung yang menyamai tulisan-tulisan besar dunia seperti hieroglip (Mesir), Devanagari (India), Kaminomoji (Jepang), Azteka (ndian), Fonogram (Assiria), Romawi, Cina, Babilonia dan lain-lain.
Kini, tulisan Arab adalah ‘raja’ dari berbagai tulisan dunia yang ada. Ia bisa dinikmati dengan mata lahir, menyelusup ke kedalaman relung-relung kesadaran batin dan kemudian menggugah berbagai rasa. Al- Quran, sebagai wahana yang bisa disentuh dari berbagai dimensi telah melahirkan bukan hanya pembaca-pembaca (qori) tingkat dunia yang suaranya bisa dinikmati dengan telinga, ia juga telah mengisi dimensi estetika Islam yang bisa dilihat dengan mata, yaitu kaligrafi yang dalam bahasa Arab disebut khat.
Legenda kaligrafi dunia, Yaqut al- Musta’shimi (w. 698 H/1298 M) menggambarkan kaligrafi sebagai “arsitektur rohani yang diekspresikan dengan medium jasmani” (handasah ruhaniyah, zhaharat bi alah jismaniyah). Siloka Yaqut al- Musta’shimi ini lalu dibahasa Inggriskan oleh M. Ugur Derman dalam jurnal art & islamic world (1987) menjadi “calligraphy is a spiritual geometry brought about with materials tools”. Definisi tentang kaligrafi pun untuk beberapa lama mengacu pada pendapat-pendapat ini.
Keindahan kaligrafi memang sulit diungkapkan dengan lisan. Ia adalah jelmaan dari keagungan al- Quran yang dipancarkan kepada huruf Arab, lalu dipadukan dengan kesungguhan seniman muslim untuk menghias mesjid, rumah, kertas, kaus bahkan cawan dan lain-lain. Keindahan kaligrafi ini diungkap al- Haidari dalam buku atsar al- Islam ‘ala al- khatt al- arabi dengan berujar, ”Kaligrafi adalah bagian paling mendasar dari seni Islam.” Oliver Leaman dalam Islamic Aesthetics dan al- Faruqi bahkan menyebut kaligrafi sebagai art of Islamic art (seninya seni Islam).
Kaligrafi di Indonesia
Kaligrafi adalah tuilsan ‘diam’ yang jika diamati akan seperti ‘bergerak-gerak’. Pesan yang dikandungnya terkadang melampaui pesan yang dilisankan. Ia hadir di
Huruf ini digunakan sebagai medium pengajaran dan penulisan kitab-kitab, terutama di pesantren-pesantren jaman dulu. Pada panji-panji yang dikibarkan saat terjadi perang terbuka antara kerajaan-kerajaan Islam dengan non-Islam di Nusantara, kaligrafi turut disertakan dan dikibarkan lewat lafaz Jalalah seperti laa ilaaha illallah, Muhammad rasulullah. Dengan demikian, ciri-ciri kenusantaraan kaligrafi Arab-Islam di Indonesia sejak semula telah diwarnai seni Islam yang bersifat ilahiyah.
Corak kaligrafi di
H.D. Sirojuddin AR, guru penulis yang juga penulis al- Quran dan puluhan buku tentang kaligrafi di Indonesia menyatakan bahwa ‘titimangsa’ kebangkitan kaligrafi di negeri ini dapat diukur dari tahun 1979 di mana apresiasi terhadap event-event kaligrafi tingkat nasional, apakah di ajang MTQ, pameran-pameran di hotel-hotel, gedung-gedung kesenian dan pemerintahan mulai dijubeli para penikmat seni. Pak Sirojuddin sendiri, adalah pelaku sekaligus panitia even-even tersebut.
Selanjutnya, kebangkitan minat dan demam kaligrafi menjangkiti setiap pori-pori negeri ini, terutama di kalangan anak-anak sekolah, para santri dan mahasiswa. Riuh sambutan juga bergemuruh di lingkungan remaja mesjid, karang taruna, dan pusat kegiatan remaja lainnya. Selanjutnya, hampir tiada hari-hari besar yang diperingati tanpa memasukkan unsur kegiatan lomba kaligrafi.
Momentum terindah membahananya kaligrafi di Indonesia adalah masuknya cabang ini pada MTQ nasional yang dimulai pada MTQ nasional ke XII di Banda Aceh tahun 1981, juga MTQ nasional ke XIII, 1983 di Padang. Pembinaan pun kemudian berkembang dari mulai tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota sampai hari ini. Yang menakjubkan kemudian adalah kehadiran kaum perempuan yang dimulai pada akhir dekade 80-an . Kalau pada festival Istiqlal 28 tahun yang lalu peserta sayembara kaligrafi dari kaum hawa ini hanya satu orang saja, maka jumlah peserta kaligrafi di tahun-tahun terakhir hampir menyamai jumlah peserta dari kaum Adam.
Pada era 90-an, ada fenomena yang sempat mengguncangkan dunia perkaligrafian di tanah air, yaitu perseteruan sengit antara para penulis kaligrafi murni dengan para pelukis kaligrafi yang diistilahkan saat itu dengan ‘kaum pemberontak’. Polemik berkepanjangan pun tak terelakan antara ‘punggawa’ kaligrafi murni yang dikomandani H.D.
Kaligrafi di Tasikmalaya
Sebagai orang Tasik, penulis harus berbangga diri karena di tanah yang penulis injak ini, ada maestro kaligrafi yang melegenda, dia adalah (alm.) H. Saefullah M. Aziz dari Salawu, kabupaten Tasikmalaya. Bangga juga karena secara pribadi, selama setahun penulis pernah mencicipi sajian materi kaligrafi yang beliau ajarkan tahun 1986-1987 lalu. Karya-karya masterpiece beliau telah tersebar dari pulau Jawa hingga Nangro Aceh Darussalam, dari
Melihat animo para pelajar dan para santri di Tasik —tentunya kabupaten dan
Sampai hari ini, pembinaan kaligrafi di beberapa wilayah seperti Salawu, Tamansari, Indihiang, Cicurug (Cibeureum), Cipasung dan Ciawi masih terus berlanjut meskipun tidak se’dahsyat’ pembinaan di kabupaten/kota di belahan lain propinsi Jawa Barat seperti Sukabumi, Cianjur, Depok, Bogor, Karawang dan Bekasi. Di kabupaten-kabupaten tersebut, pembinaan secara periodik intens dilakukan dengan menghadirkan instruktur-instruktur yang berkaliber juara nasional dan juara ASEAN. Ke depan, untuk lebih menaikkan pamor kaligrafi Tasik, kita membutuhkan sebuah lembaga atau badan yang menampung para kaligrfer lokal, kemudian mengakomodir berbagai harapan dan segala unek-unek mereka sehingga level kaligrafi di Tasik khususnya, Priangan Timur umumnya lebih menjanjikan.
Penutup
Kaligrafi, di setiap masanya, telah memberikan kesegaran mata (lahir dan batin) bagi penulisnya, juga pembacanya. Seorang ahli hikmat berujar, “kaligrafi adalah kecantikan rasa, duta akal, penasehat fikiran, senjata pengetahuan, penjinak hati yang keras dan kasar, pembicaraan indah dalam ‘diam’, dan ringkasnya, ia bagai ruh dalam tubuh”.
Usapan kaligrafi atau khat indah telah mengusap hati para penikmatnya sehingga dalam sejarahnya, ia telah sukses menjadi faktor penting dalam mempersaudarakan kaum muslim dalam satu rasa dan bahasa keindahan. Ia pun, telah berhasil memanifestasikan dirinya pada seluruh pemikiran seni dan kebudayaan Islam yang berujud karya-karya indah. Ia lahir dari sinergi yang kuat antara akal fikiran, mata dan tangan. Itulah karya agung dari kebudayaan Islam yang semakin hari semakin memesona.
* Pembina kaligrafi kabupaten/kota Tasikmalaya. Dari tahun 1985 sampai sekarang telah menulis di lebih dari 150 mesjid.
1 Comentário:
ukuran kesuksesan kaligrafi di Indonesia.
Posting Komentar