Rabu, 17 Desember 2008

MEMOTRET BUDAYA ILMIYAH MAHASISWA MALANG


Oleh: Asep M Tamam*

Beberapa waktu yang lalu, November 2009 tepatnya tanggal 23-25, penulis berkesempatan mengikuti seminar internasional tentang Bahasa Arab di Batu, Kabupaten Malang. Seminar yang diikuti peserta dari dua belas negara ini, telah memantapkan eksistensi Malang, bukan hanya sebagai kota pendidikan, tapi bahkan kiblat baru bagi mereka yang berburu ilmu ke- bahasa Araban di tanah air. Berbagai nuansa keilmuan tercium semerbak di kota yang tak besar-besar amat ini. Predikat Malang sebagai kota pendidikan, menurut penulis sah-sah saja tersemat setelah beberapa dekade sebelumnya Yogyakarta dipredikasi sebagai kota pelajar.

Capeknya perjalanan Tasik-Malang yang tertempuh dua puluh jam, sekilat seakan sirna setelah menyaksikan meter demi meter jalan raya yang dilewati bus melewati kampus demi kampus yang —bila dibandingkan dengan kampus-kampus di Priangan Timur— luar biasa megahnya.

Malang sendiri, kota yang tak besar-besar amat itu, dihuni setidaknya lebih dari empat puluh kampus. Empat Universitas negeri di antaranya: Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Politeknik Negeri Malang dan Universitas Islam Negeri Malang. Selain universitas-universitas di atas, banyak juga universitas swasta yang tak kalah menterengnya dibanding universitas negeri, yaitu Universitas Islam Malang, Universitas Gajayana, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Widyagama, Universitas Merdeka, Universitas Kanjuruhan, Universitas Wisnu Wardana, Universitas Tribuana Tunggadewi, Universitas Maching, Universitas Katolik Widya Karya, Universits Kristen Cipta Wacana dll. Selain universitas, Malang juga dipenuhi empat belas sekolah tinggi, empat institut, enam akademi, bahkan beberapa politeknik, balai pendidikan, pusat pengembangan berbagai kajian keilmuan hingga pusat seminari (Kristenisasi).

Daya pikat ‘kota apel’ yang berhawa sejuk —berbeda dengan umumnya kabupaten/kota di Jawa Timur yang panas— ini, mengusik penulis untuk mengintip berbagai aktivitas para mahasiswa di dalamnya. Sama seperti di ibukota Jakarta atau di padayeuh Bandung, mahasiswa di Malang juga berpacu dalam dinamika kehidupan aktivitas mahasiswa tanah air pada umumnya. Di berbagai kampus yang sengaja penulis ‘intip’ di sela-sela empat hari kunjungan di ‘markas’ kerajaan Singosari beberapa abad ke belakang itu, terlihat geliat yang menakjubkan tentang sebuah dunia idealisme, dunia mahasiswa.

Salah satu hal yang bisa menginformasikan kegiatan mereka adalah bentangan berbagai spanduk sosialisasi kegiatan yang terpampang di gerbang-gerbang kampus dan di jalan-jalan masuk ke fakultas demi fakultas yang ternyata, masing-masing berlomba meramaikan kampus yang berpuluh-puluh tahun sukses melestarikan budaya ilmiah kampus.

Puluhan, bahkan ratusan spanduk yang terpampang ini (sebagian ada yang kadaluarsa) mengabarkan betapa intensnya mereka menggelar berbagai kegiatan dari mulai seminar sehari (bertaraf lokal, regional sampai nasional), studium Generalle, diskusi rutin mingguan atau bulanan, kursus/pelatihan dll. Melihat semaraknya kampus dengan segala macam kegiatan mahasiswanya, penulis punya ‘kecurigaan’, jangan-jangan tokoh-tokoh nasional negeri ini ke depan akan ngabring dari kota Malang.

Dari Malang untuk Tasik

‘Budaya’, demikian kalimat yang paling pantas untuk menggambarkan kondisi mahasiswa Tasik khususnya, mahasiswa Priatim umumnya ketika harus diidentikkan dengan iklim ilmiah. Bila di kota-kota besar budaya ilmiah itu telah dicipta oleh para pendahulu yang sekarang telah menjadi tokoh intelektual, maka di Tasik sampai saat ini budaya itu belum juga terbangun. Iklim mahasiswa yang terbangun justeru lebih berat ke dunia subjektif, dunia politik. Nilai-nilai objektif keilmuan seperti diskiusi ilmiah dan lingkar studi atau forum kajian, komunitas baca dan penguatan budaya menulis ilmiah sampai saat ini, dan entah sampai kapan, tergerus oleh kuatnya budaya politik kampus (baca. mahasiswa).

Romantisme gerakan politik yang begitu kuatnya ini, terutama karena tidak/belum terbangunnya budaya intelektual itu sendiri, bukan karena kuatnya doktrinasi para senior ataupun kuatnya jejaring dengan organisasi serupa di level lebih atas, regional ataupun nasional. Berarti, masalahnya, siapa yang peduli dengan misi besar ‘penciptaan’ budaya ilmiah intelektualitas mahasiswa Tasik ke depan?

Jawaban pastinya ada pada diri mahasiswa Tasik sendiri. Momentumnya sudah jelas, bahwa dunia politik yang terbangun dan diprimadonakan saat ini tengah menghadirkan warna abu-abu dan tak secerah dulu. Masalah selanjutnya, dari arah manakah kampus yang berani ‘membeli’ tantangan ini? dari kampus UNSIL-kah? STAI , STIA, IAIC, IAILM atau STIKES-kah?

Sepenggal kisah tentang kesibukan mahasiswa Malang di atas, tentunya ditulis untuk mempropokasi mahasiswa Tasik agar mulai meniti jalan baru, jalan yang bisa lebih mencerahkan, memberi warna baru bagi dinamika kampus. Ke depan, kampus tidak lagi harus identik dengan ‘penyalur’ tokoh-tokoh politik lokal, tapi juga tokoh intelektual Tasik, setuju?

*Ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) IAIC Cipasung, dosen Bahasa Arab STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO