PILKADA DAMAI DALAM ANCAMAN UANG
Oleh: Asep M Tamam*
Masyarakat kabupaten Ciamis, kabupaten Garut dan
‘Waragad’ dari pesta lima tahunan ini, entah yang dikeluarkan pemerintah daerah, para calon, atau bahkan dari ‘kocek’ rakyat sendiri tentunya tidaklah dianggap mahal bila janji-janji yang terucap, visi misi yang disosialisasikan dan harapan-harapan yang disampaikan benar-benar terealisasikan dan dinikmati kaum mayoritas, yaitu rakyat. Tapi bila janji-janji itu hanya pemanis bibir dan visi misi itu hanya ‘umpan’ belaka, maka inilah yang selama ini dianggap sebagai kegagalan demokrasi, mahal di modal, tapi keuntungannya justru mengarah kepada kaum minoritas, yaitu para pemimpin yang terpilih.
Belajar dari Sumsel dan Malut
Menyimak apa yang telah terjadi, pilkada di berbagai daerah di tanah air selalu saja diwarnai riak, dari gelombang sampai badai masalah. Di antara pilkada yang telah berlangsung, Sumatera Selatan bisa dijadikan contoh positif bagi para politikus kita bila mereka ingin hati nurani menjadi pengawal demokrasi hingga ia bisa tegak berdiri di bumi pertiwi. Kesempatan Syahrial Usman dan Helmi Yahya untuk membakar dan menghancurkan Sumsel sebetulnya ada di ujung lidah mereka, tapi kerugian materi dari modal kampanye dan hilangnya kesempatan berkuasa karena kalah dari pasengan Alex-Edi tertutup oleh jiwa besar dan suara hati nurani mereka yang meronta-ronta ingin diikuti, maka kepentingan rakyat di Sumsel pun bisa terselamatkan.
Sementara Maluku Utara adalah contoh negatif dari pembelajaran politik di negara kita. Demi kepentingan jangka pendek, rakyat diadu domba dan jalannya kehidupan sosial pun menjadi stagnan. Yang lebih parah lagi, terpecahnya masyarakat karena ulah sang pecundang yang keukeuh peuteukeuh memperjuangkan haknya untuk berkuasa dengan mengandalkan fisik para pendukungnya, lalu menanam dan menyiram benih-benih kebencian pada hati ‘anak-anak’ warga Malut adalah harga termahal dari resiko politik di Malut. Kontak fisik yang mengorbankan nyawa anak bangsa memang merupakan resiko dalam berpolitik, sejarahpun telah mencatat, ribuan nyawa rakyat tak berdosa selalu saja melayang dalam setiap perebutan kursi kepemimpinan di berbagai belahan bumi manapun. Tapi, terlalu mahal rasa dendam dan kebencian di antara anak bangsa ini bila itu terjadi karena piciknya nurani dan sesaknya dada akibat kekalahan politik di negeri yang sedang at momment menggiring demokrasi ke track idealnya ini.
Sebenarnya, sah saja bila para pengamat menemukan perbagai akar permasalahan dari pertikaian Malut ini menurut versi mereka. Kita pun harus menghargai berbagai dimensi pemikiran politik dari berbagai kalangan, terutama para pengamat politik berkenaan dengan apapun yang menimpa dunia politik. Sah juga bila kedua belah pihak yang bertikai di Malut memperjuangkan klaim kebenaran ada di pihak mereka. Namun menurut penulis, ada hal yang sering dilupakan orang berkaitan dengan berbagai konflik di seputar dunia politik.
Sistem politik yang dibangun, khususnya di negara kita, dari awal memang sudah salah jalan. Ongkos politik yang menggambarkan hasrat berkuasa dalam berbagai ajang di berbagai jenjang terlalu besar dan tak seimbang dengan kebutuhan riil masyarakat. Jor-jorannya para ‘pejuang’ pilkada, entah dari calonnya sendiri atau berbagai pihak yang punya kepentingan dengan calon, sangat rentan untuk mengundang pelanggaran pilkada. Ketika semua calon berlomba meraih simpati dengan menghambur-hamburkan uang, maka pelanggaran demi pelanggaran pun tak sulit ditemukan. Memang tidak selamanya politik identik dengan uang, tapi fenomena yang dihadirkan dalam berbagai ajang politik di negara kita demikian adanya.
Bila agama mengutuk para pembeli jabatan dan nabi SAW menegaskan untuk tidak memberikan jabatan kepada orang yang menginginkan dan memintanya, maka ongkos pilkada yang dikeluarkan para calon kepala daerah dalam berkampanye selalu saja mencolok mata. Maka amatlah wajar bila seorang calon kepala daerah kalah, ia akan mencari kesalahan pemenang dengan sangat mudah. Hal demikian karena dirinya sendiri pun terlibat dalam kesalahan serupa seperti yang dilakukan rivalnya. Kalaulah itu yang berlaku, maka ‘kiamat’ politik dari berbagai daerah, entah kabupaten/kota, propinsi atau bahkan pemilu nasional akan sangat mengancam kita, sekarang ataupun di masa mendatang.
Ke depan, harus ada peraturan nyata dan keinginan bersama untuk meminimalisir berbagai dampak negatif dari acara-acara politik. Salah satunya bagaimana menanamkan kesadaran moral, sosial dan agama kepada para calon pemimpin yang akan dipilih, terutama rakyat pemilih bahwa apa yang sudah dan sedang terjadi ini salah dan membuka ruang bagi terciptanya iklim yang tidak kondusif. Penyadaran akan bahaya penghamburan uang dalam kampanye para calon akan sangat berguna bagi terciptanya kecerdasan politik di bumi persada
Pilkada damai
Pemilihan bupati Ciamis dan Garut, juga pilwalkot kota Banjar yang digelar serentak tanggal 26 Oktober beberapa hari ke depan, tentunya ditunggu warga di tiga daerah tingkat dua tersebut dengan harap-harap cemas. Tapi kesepakatan damai yang telah dilakukan, mengguratkan harapan bahwa siapapun yang terpilih nanti, dialah yang lebih diminati. Rakyat, sebagai pemilih pastinya bermimpi, pilkada di bulan ini berlangsung meriah, aman, lancar dan terkendali. Walaupun gejolak kekecewaan para pecundang itu nantinya ada, tentunya bisa diselesaikan dengan seksama, bijaksana dan mengacu pada kepentingan semua warga.
Akhir kata, selamat berpesta wahai warga Ciamis, Garut dan Banjar. Semoga pesta yang segera digelar menorehkan kisah manis tentang pilkada damai. Semoga pilkada daerah lain di belahan bumi pertiwi ini iri dengan kedamaian urang sunda dan kedewasaan mereka dalam berpolitik. Sekali lagi, selamat berpilkada damai!
*Peminat masalah sosial-politik dan keagamaan, tinggal di Tasikmalaya
Posting Komentar