Sabtu, 13 Desember 2008

Kesederhanaan Yang Mengharumkan

Langit Tasik, 18 Desember 2007 setahun yang lalu bergelayut kabung. Rupanya, putra terbaiknya, KH. Ilyas Ruhiyat dipanggil Sang Pemilik. Keharuman namanya tergambar dari tangisan cinta umat yang hari itu tumpah di Cipasung, Singaparna Tasikmalaya. Begitulah bila ulama ‘besar’ wafat, kerugian spiritual yang dialami umat adalah kerugian yang sesungguhnya. Allah swt. secara gradual akan ‘menghabisi’ ilmu dari kehidupan umat, tak lain dengan mewafatkan para ulama. (HR. Bukhari Muslim)

Dari berbagai referensi tentang tokoh harismatik yang pantas menjadi ‘referensi’ ini, penulis menangkap kata “kesan” paling mendominasi pewacanaan tentang dirinya. Ketika penulis pertanyakan ke kang Iip (Iip D. Yahya, penulis biografi “Ajengan Cipasung”, 2006), kenapa tokoh Cipasung ini yang diangkat untuk dibiografikan? singkat ia menjawab, “Karena pa Ilyas adalah yang paling saya kagumi”. Kang Iip —tentunya setelah membaca sepak terjang pak Kyai— mendapatkan ‘sesuatu’ yang terus menggoda daya imaginasinya untuk segera menulis biografi kyai santun ini. Dan, sesuatu itu tak lain adalah ‘kesan’ demi ‘kesan’.

Tasik yang beruntung
Beruntunglah warga Tasik karena dalam sejarahnya, tokoh-tokoh ulama besar lahir dari ‘rahim’nya. Sebut saja Syeh Abdul Muhyi, KH. Zainal Mustafa, KH. Khaer Afandi, Mama Kudang, KH. Ruhiat Cipasung, KH. Wahab dan KH. Syihab Muhsin dari Sukahideng, dan tentunya berpuluh ratus ulama lain yang ilmunya nyata-nyata telah mengawal Tasik menjadi ‘gudang’ santri dan ‘pabrik’ ulama. Keharuman nama dan kecintaan umat pada mereka, tentulah karena kepribadian mereka yang walaupun berbeda dan berwarna, tapi positif dan menggambarkan Islam lewat persepsi masing-masing.

KH. Ilyas Ruhiat, adalah salah satu ‘aset’ termahal Tasik yang bila kita mengaji ilmu keteladanan darinya, kita akan menemukan bahwa keteladanannya itu muncul dari aspek multi dimensional. Berbagai kesan pastinya didapatkan siapapun yang sering atau jarang, lama atau sebentar, dekat atau jauh, bergaul dengannya dan mencicipi pesona pribadinya yang ‘apa adanya’ itu. Penulis sendiri, walaupun hanya sebentar menjadi muridnya, berobsesi untuk menuliskan kesan pribadi terhadap beliau walaupun itu tertuang dalam satu paragfaph saja. Dan, satu saja yang ingin penulis angkat, adalah nilai kesederhanaan yang lekat dengan dirinya.

Keharuman di balik kesederhanaan
Al- Bushairy, penulis qasidah burdah itu, pernah mengungkap kesannya terhadap Nabi Muhammad saw. “Gunung-gunung merayunya agar dapat berubah emas untuk keperluan hidup Sang Nabi, sayang… ia menolaknya”. KH. Ilyas Ruhiat, adalah satu dari sekian sosok yang hanya mengambil seperlunya saja dari kelebihan yang sebetulnya bisa ia raih dengan ‘haq’. Tokoh yang menasional (mantan anggota MPR RI, DPA, MUI pusat, Rais ‘Aam PBNU) ini, bila dilihat ‘posisi tawar’nya sebagai ‘orang besar’, sebetulnya bisa saja meraup apapun sekehendak hatinya, namun ia tak mau dan ia tak seperti itu. Kesan yang terekam dari pengalaman para tetamu yang datang siang malam dan ‘nyaris’ tanpa kesulitan dan hambatan (baca ajengan Cipasung, Iip D. Yahya hal. 126-131) menggamblangkan bahwa sosok, pribadi, gaya bicara, penampilan, suasana dalam rumah, kendaraan, makanan dan lain-lainnya betul-betul sederhana, tak memaksakan diri dan tak dibuat-buat.

Penulis sendiri, walaupun terhitung jari, alhamdu Lillah berkesempatan langsung mempelajari keteladanan dari nilai kesederhanaan beliau di rumahnya. Kesenangan bathin yang terhidang dalam beberapa puluh menit pertemuan itu betul-betul menggambarkan pemahaman beliau tentang Islam yang dipraktekkannya langsung di depan tetamu. Bagi beliau, semua orang sama saja, siapapun yang datang dan butuh sesuatu (ilmu, informasi dan lainnya) harus dipuaskan dan jangan diputus harapan, kecuali bila kondisi fisiknya tak memungkinkan menerima tamu. Dan pada saat itu, tamulah yang harus mengerti.

Inspirasi bagi calon ulama
Kekuatan pribadi KH. Ilyas Ruhiat adalah buah dari bakat intrinsik dirinya, di samping juga dari pelatihan dan pembiasaan yang lama, dan inilah yang harus diteladani oleh siapapun yang bercita-cita agung jadi ulama. Santun, sederhana, ramah, menyejukkan, memuaskan, memecah berbagai masalah, adalah sifat Nabi Muhammad saw. yang ditiru pak Kyai. Tentunya, giliran kita yang harus meneladaninya, di sela-sela zaman yang selalu saja merayu kita untuk membelakangi dan menjauhi akhlak dan karakter mulya yang telah dipraktekkan pak Kyai tadi.

Semoga, KH. Ilyas Ruhiat-KH. Ilyas Ruhiat lain muncul dan dalam jumlah yang lebih banyak lagi, di Tasik khususnya tempat Pak Kyai tinggal, juga di negeri ini tempat pak Kyai berkhidmat.

Wallaahu min waraa al- qashd

*Oleh: Asep M Tamam
Ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) IAIC Cipasung. Dosen Bahasa Arab STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO