Minggu, 21 Desember 2008

MEMBANGUN INTELEKTUALITAS MAHASISWA TASIK

Oleh : Asep M Tamam*

Salah satu ukuran yang sering digunakan masyarakat dunia untuk menentukan kebesaran peradaban sebuah negara adalah eksisnya Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi di negara tersebut. Universitas Harvard di Amerika, Universitas Oxford dan Cambridge di Inggris. Universitas Kyoto dan Waseda di Jepang, Universitas Sourborne di Prancis, Universitas Munich di Jerman dan Universitas Al- Azhar di Mesir adalah contoh universitas yang telah memantapkan kebesaran negara-negara tersebut dan mengundang kecemburuan negara-negara lain di dunia.

Standar kehebatan Perguruan Tinggi (PT) di dunia maju adalah bagaimana peran PT tersebut dalam menghasilkan produk penelitian, produk sains, wacana intelektual dan banyaknya pakar-pakar di bidang yang berbeda. PT-PT seperti tersebut di atas, sampai hari ini tetap menjadi ‘impian’ injakan kaki calon mahasiswa di antero dunia termasuk Indonesia karena alasan-alasan tersebut .

Dalam konteks ke-Indonesiaan, PT-PT di Indonesia harus diakui telah berperan aktif dalam mewarnai kehidupan sosial politik negeri ini. Dunia kampus dengan segala pernak-perniknya selalu menjadi patron perubahan arah sejarah. Maka sejarah jugalah yang mengawal eksistensi kampus sebagai institusi tempat lahirnya tokoh-tokoh lokal, regional, nasional sampai tingkat global.

Konteks ke-Tasikan

Di Tasikmalaya, jumlah kampus memang masih terbilang jari. Namun dalam dekade terakhir berbagai kampus dengan berbagai disiplin ilmu hadir bak jamur di musim hujan. Di wilayah kota saja, dalam jarak beberapa ratus meter kita bisa menemukan kampus demi kampus bertebaran.

Banyaknya kampus adalah hal yang menggembirakan karena berarti antusiasme masyarakat terhadap pentingnya pendidikan semakin meningkat. Naiknya angka sarjana juga menunjukkan statistika jumlah warga terdidik meningkat.

Memang ada asumsi bahwa kampus, di samping sebagai institusi transformasi ilmu dan sains, ia juga sebagai sarana bisnis potensial untuk meraih keuntungan materi. Bagi penulis, asumsi itu sah saja bila dominasi persepsi menunjukkan gejala demikian. Namun sebagai keluarga kampus, penulis menganggap asumsi ini sebagai tantangan bagi stick holder kampus untuk berbenah mengimbangi kuantitas dengan kualitas. Lembaga kampus juga harus membuktikan bahwa kampus adalah tempat mahasiswa untuk mengeksplorasi skil, potensi, dan minat bidang yang diapresiasi.

Mencermati dunia politik, sosial dan keagamaan di Tasikmalaya dalam dua dekade ke belakang, kiprah mahasiswa dan alumni Perguruan Tinggi di Tasik cukup signifikan dalam memainkan perannya di tingkat lokal. Hal ini menjadi ‘dalil’ bahwa kampus betul-betul telah bekerja dan memberi bukti. Kita bisa mendata, bahwa mereka yang hari ini duduk di kursi eksekutif, legislatif, ICMI, KNPI, dan lembaga-lembaga sosial keagamaan lainnya di Tasik adalah mantan aktivis Perguruan Tinggi di Tasik. Demikian juga di setiap ajang penerimaan CPNS, peserta yang lulus seleksi didominasi alumni Perguruan tinggi yang ada di Tasik.

Keberhasilan kampus di Tasik dalam mencetak tokoh-tokoh lokal dan regional bahkan nasional adalah hal yang harus disyukuri. Namun demikian, ada pertanyaan yang sampai hari ini belum terjawab, kenapa kampus-kampus di Tasik ‘hanya’ menghasilkan tokoh-tokoh yang berkarakter politik? Kenapa kiprah yang dimunculkan tidak melampaui wacana-wacana intelektual?

Kuatnya arus politik

Dinamika dunia kemahasiswaan di Tasik sampai hari ini cukup menggembirakan. Setidaknya, aktvitas internal setiap kampus tak pernah sepi. Setiap divisi dari elemen BEM bergerak mensukseskan program masing-masing. Aktivitas eksternal pun tak dilewatkan. Seperti halnya jaringan bisnis, jaringan kemahasiswaan juga tak pernah berhenti bergerak untuk merumuskan sumbangan pemikiran dalam menyikapi isu-isu yang berkembang, entah politik ataupun sosial, agama dan kemasyarakatan, baik lokal maupun nasional bahkan global.

Di Tasik sendiri, organisasi mahasiswa yang eksis memainkan peran kemahasiswaannya adalah HMI, PMII, KAMMI, BEM-BEM PT dan lain-lain. Semua organ kemahasiswaan ini dari tahun ke tahun selalu menjaga eksistensinya karena, selain dikawal oleh para seniornya, juga budaya yang dibangun memungkinkan eksistensi tersebut berkelanjutan tanpa batas waktu.

Memang, jumlah mahasiswa yang aktif di satu PT biasanya tidak lebih dari dua puluh persen saja dari jumlah mahasiswa yang ada. Dari jumlah aktivis itu, kemudian muncul satu-dua sosok yang biasanya bertahan dan melaju ke level di atasnya. Namun satu hal yang harus dimunculkan ke permukaan, aktivitas gerakan yang dari tahun ke tahun dibangun oleh mehasiswa Tasik terkesan politic sentries. Artinya, meskipun sentuhan-sentuhan intelektual diwacanakan selama masa berorganisasi, tetap saja tidak bisa mencairkan nuansa politik yang begitu kentalnya.

Inilah saatnya

Kalaulah universitas-universitas di dunia Barat dan Timur Tengah telah mengangkat harkat dan martabat negara-negara yang menjadi “markas demarkasinya” dengan misi intelektualitas, maka PT-PT di Tasik juga bisa menaikkan perannya dengan menambah muatan-muatan intelektulitas dalam aktivitas mahasiswanya. Ini bukan berarti harus menggeser dan mendesak peran dunia politik kampus yang telah sekian lama dibangun, tapi bangunan politik kampus yang sudah kokoh ini diberikan ornamen yang berwarna-warni, yang dalam hal ini adalah aspek intelektualitas.

Hidup dan maraknya dunia intelektualitas kampus akan memantapkan kesan bahwa kampus memang hadir bukan hanya sebagai institusi bisnis yang hanya mencari keuntungan materi semata, juga bukan ‘pabrik’ yang menghasilkan aktivis-aktivis jalanan yang dimanfaatkan unsur-unsur di luar kampus yang punya ‘hajat’ memanfaatkan mahasiswa demi sebuah kepentingan.

Pertengahan bulan Agustus ini adalah masa awal perkuliahan dimulai. Setiap kampus akan berbenah untuk menyongsong suasana dan semangat baru. Maka semangat intelektualitas adalah sebuah tawaran yang bisa dijadikan alternatif untuk menciptakan gairah dan geliat kampus yang ‘berwacana’. Maka lewat tulisan ini, penulis ingin menyumbang pemikiran ke arah semangat baru dunia kampus di Tasik dengan penguatan-penguatan hal-hal berikut:

Penguatan syahwat membaca

Salah satu kelemahan yang mendasar dari mahasiswa PT-PT di daerah, bila dibandingkan dengan mahasiswa di kota besar adalah motivasi kuliah dan semangat dalam mengakses wacana-wacana yang berkembang. Syahwat membaca mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di kampus Tasik nampaknya masih lemah. Setiap kali singgah di toko-toko buku di Tasik, penulis sering mengamati para pengunjung yang datang dan ternyata, kebanyakan pengunjung adalah orang tua dan anak-anak sekolah SMP atau SMU. Dan ketika penulis masuk di perpustakaan-perpustakaan kampus-kampus di Tasik, maka nampaknya pemanfaatan sarana perpustakaan oleh para mahasiswa masih jauh dari optimal.

Di sisi lain, ada alasan klasik ketika penulis mengajukan masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia kepustakaan kepada para mahasiswa. Alasan itu adalah masalah ketaktersediaan buku-buku yang dicari yang berkenaan dengan proses perkuliahan mereka di perpustakaan kampus. Maka dengan demikian, ada dua masalah yang harus sama-sama kita carikan solusinya. Pertama, usaha berbagai pihak untuk terus menggenjot syahwat membaca dari mahasiswa kita sehingga menjadikan buku sebagai ‘sahabat terdekat’ dan membaca sebagai ‘konsep hidup’. Dan kedua, adalah usaha dari lembaga kampus untuk mengikuti, mengawal dan menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia pustaka di negeri ini.

Seperti diketahui, meskipun harga buku akhir-akhir ini terus melambung, namun derasnya buku-buku baru yang diterbitkan justru tidak pernah surut. Ini adalah hal yang mau tidak mau harus direspon pihak kampus untuk menyediakan anggaran khusus demi menghadirkan buku-buku baru dan up to date di perpustakaannya. Maka hal yang kemudian ke depan harus dibina, yaitu sinergitas lembaga kampus dengan para mahasiswa untuk mewacanakan, membentuk dan mengembangkan “komunitas baca” di kampus-kampus yang ada di Tasik.

Penguatan lingkar studi

Selain memperkuat budaya baca, ada kegiatan mahasiswa yang sepertinya sulit ditemukan di ‘belantara’ kampus Tasik. Ia adalah forum ilmiah atau lingkar studi. Penulis tidak menafikan hadirnya forum-forum kajian yang ada di Tasik, khususnya yang digelar mingguan, dwimingguan dan bulanan oleh organisasi ekstra kampus. Yang penulis maksud adalah forum kajian atau lingkar studi yang digagas, dilaksanakan dan dibudayakan mahasiswa kampus di lingkungan kampus.

Rindu rasanya menyaksikan maraknya kampus dengan lingkaran-lingkaran diskusi yang membahas wacana-wacana keilmuan dan bukan wacana organisasi (politik). Kampus-kampus besar sekaliber UI, UGM, ITB, UIN Jakarta dan UIN Jogja adalah contoh yang mungkin terlalu jauh untuk dijadikan bahan perbandingan. Namun sekedar untuk dijadikan contoh, kampus-kampus tersebut adalah kampus-kampus yang menjadi prototype kampus yang menghadirkan nuansa berbeda, yaitu maraknya organisasi politik mahasiswa di satu sisi, dan maraknya kajian diskusi wacana keilmuan di sisi yang lain. Berarti di kampus-kampus tersebut ada mahasiswa-mahasiswa aktivis organisasi dan mahasiswa-mahasiswa aktivis kajian, meskipun tidak sedikit di antara mereka yang aktif di dua dunia tersebut secara bersamaan.

Tokoh-tokoh nasional yang tampil di pentas wacana, entah politik atau sosial keagamaan biasanya dilahirkan dari ‘rahim’ forum-forum kajian di samping organisasi-organisasi politik kampus. Inilah mungkin yang harus terus diwacanakan di kampus-kampus kita untuk menciptakan “iklim ilmiah” di lingkungan mahasiswa Tasik, khususnya dalam menghadapi masa perkuliahan baru yang genderangnya akan segera ditabuh beberapa saat lagi. BEM-BEM yang ada di Tasik akan terus mengalami kemajuan bila orientasi kepolitikan kampus diperkuat dengan misi keilmuan di luar Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Maka satu hal yang harus dilakukan adalah, sinergitas dari civitas akademika kampus dari mulai para pemegang kebijakan, dewan dosen dan semua mahasiswa yang menjadi eksekutornya.

Penguatan budaya menulis

Dua bidang penguatan di atas, bila bisa disukseskan oleh civitas akademika kampus-kampus di Tasik, akan mengantarkan para mahasiswa pada budaya ‘produktif’ menulis. Budaya positif ini, hari ini masih menjadi barang langka yang mendesak untuk dihadirkan.

Kita tidak menafikan peran mahasiswa Tasik dalam menyumbangkan arah kebijakan dari kinerja eksekutif dan legislatif Tasik. Koran-koran lokal sering memuat aksi dan aktivitas mereka dalam memainkankan perannya sebagai agent of chance, agent of development dan agent of modernization. Namun aktivitas-aktivitas tersebut rupanya masih terbatas pada aksi verbal yang beberapa saat setelah itu mungkin hilang dan terlupakan, belum menyentuh pada produksi wacana yang bisa diulang dan dikaji ulang, yaitu dalam bentuk tulisan

Beberapa kampus Agama Islam di Tasik, dalam satu tahun ke belakang ternyata telah mulai bergerak untuk mengahadirkan buletin/majalah kampus. Meskipun belum banyak mahasiswa yang men’donasi’kan tulisannya, namun kehadiran buletin-buletin ini harus diapresiasi sebagai usaha untuk mempropokasi bakat-bakat menulis mahasiswa yang sampai hari ini masih terpendam.

Ke depan, bila budaya tulis menulis ini sudah dalam posisi stabil, maka harus ditindaklanjuti dengan dibangunnya jalinan kerjasama antara aktivis penulis kampus dengan Koran-koran lokal, seperti yang telah terwujud selama ini, yaitu hadirnya kolom khusus pelajar SMU di harian PRIANGAN ini.

Penutup

Nyaman rasanya, bila kita menyaksikan para mahsiswa kita di kota/kabupaten Tasik, dengan anggaran yang ‘sederhana’ mampu untuk menghadirkan nuansa ilmiah kampus. BEM dengan kekuatannya yang ada, diyakini akan mampu untuk mengeksplorasi segenap potensinya dan menghadirkan nuansa positif yang beda dari biasanya, andai ketua BEM dan segenap divisi yang ada di bawahnya mau untuk “khusyu” dan konsentrasi mengurus organisasi intra ini, walau harus ‘diganggu’ oleh kegiatan lain di luar kegiatan BEM.

Akhirnya, kampus dengan segala elemen yang ada di dalamnya, bahkan dengan kekuatan yang lain harus bersinergi untuk menyongsong masa perkuliahan baru 2008/2009 ini, sehingga wajah kampus di Tasik lebih terlihat ‘sumringah’. Maka ke depan kita akan lebih optimis, warga dan masyarakat Tasik akan lebih memilih kuliah di Tasik dan warga dari luar Tasik memilih alternatif kuliah di Tasik. Hal seperti ini, tidak mustahil terwujud, andai bangunan dari dimensi intelektualitas mahasiswa Tasik kokoh dan menjulang. Wallahu a’lam

*Dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC Cipasung, juga mengajar di STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO