KURSI DEWAN, PRESTASI ATAU PERANGKAP
Oleh: Asep M. Tamam*
Beberapa hari di penghujung bulan September yang bertepatan sama persis dengan bulan Ramadan lalu, Koran harian ini memuat daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif untuk wilayah priatim. Sebelum itu, di atas jalan raya dan pinggiran trotoar, spanduk-spanduk sosialisasi caleg dari tingkat lokal sampai nasional sudah lebih dulu terpasang. Poster-poster yang memuat nama dan wajah calon pun sudah bertebaran sampai di sudut-sudut gang desa dan dinding-dinding rumah warga.
Menjadi anggota dewan rupanya menjadi primadona di negeri ini. Status dan prestise mereka cukup diperhitungkan di tengah masyarakat. Dengan seragam perlente, pergaulan tingkat tinggi dengan pejabat, pengusaha dan ‘kaum borju’, duduk di shaf terdepan dari deretan panjang acara-acara resmi, juga panggilan “yang terhormat” yang selalu melekat membuat siapapun tergiur dan berani berkorban untuk meraihnya.
Namun pergaulan kelas tinggi ini membuat mereka pada akhirnya cenderung ‘centang ka luhur’. Pergaulan itu membentuk mereka menjadi sosok-sosok yang elitis, eksklusif, koruptif, kolutif dan oportunis. Padahal, jauh sebelum menjadi anggota dewan, mereka adalah sosok-sosok populis, inklusif, pro rakyat, sederhana dan manusiawi.
Turun gunung
Sekarang ini kita akan menjadi saksi, para caleg senior dan pendatang baru ‘turun gunung’. Mereka akan segera merubah diri dan membaur dengan rakyat. Mereka tak segan lagi menghampiri kaum papa dengan naik becak, ojek dan kendaraan umum lainnya. Mereka akan mudah dihubungi dan dengan senang hati melayani warga dan tetangga. Tak seperti biasanya, setiap pagi mereka akan rajin jalan pagi, menyapa warga dan menebar senyum penuh ramah. Begitu mengharukan, mereka akan mengeluarkan sejuta jurus pencitraan sebagai warga teladan yang baik hati, perhatian dan penuh kasih sayang.
Sebagai warga yang baik, mereka akan dengan sukarela membantu warga yang sehari- hari kekurangan. Segala yang bisa diberikan; uang, barang dan jasa pasti diberikan. Dan bagi mereka yang tak sempat datang sendiri, mereka punya agen-agen yang menamakan diri sebagai ‘tim sukses’. Lewat tim sukses inilah rizki ditebar. Berapapun tak masalah asal bisa dinikmati warga, terutama yang memang mendesak untuk bisa dimakan hari itu. Uang yang habis dimakan sehari dianggap bisa menghidupi keluarga seumur hidup. Begitu sederhananya pemahaman mereka yang memang dibiarkan buta dan bodoh. Trauma akibat selalu dibohongi pun hilang sesaat setelah ‘disuapi’ dan diberi kaos bergambar calon.
Dari acara bagi-bagi rizki ini, konon seorang caleg bisa menghabiskan puluhan juta, ratusan juta bahkan untuk caleg nasional bisa menghabiskan miliaran rupiah. Belum lagi di tingkat partai, pendaftaran caleg kerap dijual sesuai nomor urut. Di tingkat lokal, harga nomor urut berkisar
Fenomena seperti ini mengundang asumsi, bahwa untuk mengejar jabatan di dewan, harga tak pernah jadi masalah. Berapapun pasti dibeli apalagi bagi calon yang IQ-nya kurang tapi dana mendukung. Bagi mereka yang ambisinya kuat tapi tak cukup modal, maka berhutang, menjual atau menggadai barang adalah alternatif. Dan bagi mereka yang hasrat dan ambisinya berlebih, lalu habis-habisan mengeluarkan modal dan kemudian kalah, maka sempurnalah kerugiannya. Perjudian nasib dalam dunia politik ini sering melibatkan emosi rakyat sebagai penonton sekaligus ‘pengamat’.
Tim sukses atau tim gagal?
Tim sukses atau makelar politik merupakan unsur penting yang menentukan sukses tidaknya seorang calon. Maka tak jarang bila seorang tim sukses yang berhasil, dia menjadikan kerja menjadi tim sukses bukan lagi sebagai kerja sampingan, tapi sebagai profesi dan sumber mata pencaharian musiman.
Menjadi tim sukses memang membutuhkan mental baja, muka tebal dan ‘kulit badak’. Dengan mengandalkan potensi mobilisasi
Salahnya, banyak caleg yang memanfaatkan jasa tim sukses ini tanpa seleksi dan tahu informasi tentang track record tim suksesnya. Fenomena yang sering terjadi adalah, banyak tim sukses yang lihai melakukan loby politik dan bahkan triknya dalam meloby caleg mengalahkan kelihaian politik caleg itu sendiri. Habis-habisan caleg mengeluarkan ‘amunisi’ materi padahal materi itu dimakan sendiri oleh tim sukses. Dan biasanya, track record tim sukses di mata masyarakat kurang baik atau bahkan jelek walaupun datang dengan latar belakang sebagai tokoh masyarakat. Kalaulah masyarakat enggan memilih caleg karena track record tim suksesnya jelek, maka tim sukses pada hakikatnya adalah ‘tim gagal’.
Prestasi atau perangkap?
Pengalaman empat tahun ke belakang, seharusnya menjadi cermin bagi rakyat untuk menilai dan mengkritisi para wakilnya. Pertanyaan yang harus dikedepankan adalah,”Selama empat tahun ini, apakah rakyat atau anggota dewan yang kesejahteraannya meningkat?” dan “selama empat tahun ini, apakah lembaga legislatif lebih dicintai atau lebih dibenci di mata rakyat?” selanjutnya,”Apakah integritas keilmuan, ketokohan, dan bahkan keulamaan anggota dewan mampu untuk memperbaiki citra lembaga dewan atau justru menambah ketercemarannya?”
Berita tentang tingkah laku anggota dewan di media
Dan agar tulisan ini berimbang, penulis ingin juga menyisipkan sedikit keberatan tentang ketidak berimbangan berita yang disajikan dalam rangka menanam opini publik. Hampir sulit memang menemukan bacaan ataupun tontonan di media
Maka pemilu yang akan dijelang tahun depan akan memunculkan jawaban dari misi dan niat yang diemban para caleg ini. Sebagai rakyat, tentuya kita berharap, para caleg meluruskan niat sejak awal sehingga mereka bisa mencetak prestasi sebanyak mungkin selama menjadi anggota dewan. Dan untuk itu, kita lagi-lagi berharap kebiasaan busuk meraih hati dan simpati rakyat dengan “membeli” seharusnya dihindari. Kalau membeli jabatan itu kemudian masih saja dilakukan, maka bersiap-siaplah untuk masuk “perangkap”.
*dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya
Posting Komentar