Minggu, 21 Desember 2008

KURSI DEWAN, PRESTASI ATAU PERANGKAP

Oleh: Asep M. Tamam*

Beberapa hari di penghujung bulan September yang bertepatan sama persis dengan bulan Ramadan lalu, Koran harian ini memuat daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif untuk wilayah priatim. Sebelum itu, di atas jalan raya dan pinggiran trotoar, spanduk-spanduk sosialisasi caleg dari tingkat lokal sampai nasional sudah lebih dulu terpasang. Poster-poster yang memuat nama dan wajah calon pun sudah bertebaran sampai di sudut-sudut gang desa dan dinding-dinding rumah warga.

Menjadi anggota dewan rupanya menjadi primadona di negeri ini. Status dan prestise mereka cukup diperhitungkan di tengah masyarakat. Dengan seragam perlente, pergaulan tingkat tinggi dengan pejabat, pengusaha dan ‘kaum borju’, duduk di shaf terdepan dari deretan panjang acara-acara resmi, juga panggilan “yang terhormat” yang selalu melekat membuat siapapun tergiur dan berani berkorban untuk meraihnya.

Namun pergaulan kelas tinggi ini membuat mereka pada akhirnya cenderung ‘centang ka luhur’. Pergaulan itu membentuk mereka menjadi sosok-sosok yang elitis, eksklusif, koruptif, kolutif dan oportunis. Padahal, jauh sebelum menjadi anggota dewan, mereka adalah sosok-sosok populis, inklusif, pro rakyat, sederhana dan manusiawi.

Turun gunung

Sekarang ini kita akan menjadi saksi, para caleg senior dan pendatang baru ‘turun gunung’. Mereka akan segera merubah diri dan membaur dengan rakyat. Mereka tak segan lagi menghampiri kaum papa dengan naik becak, ojek dan kendaraan umum lainnya. Mereka akan mudah dihubungi dan dengan senang hati melayani warga dan tetangga. Tak seperti biasanya, setiap pagi mereka akan rajin jalan pagi, menyapa warga dan menebar senyum penuh ramah. Begitu mengharukan, mereka akan mengeluarkan sejuta jurus pencitraan sebagai warga teladan yang baik hati, perhatian dan penuh kasih sayang.

Sebagai warga yang baik, mereka akan dengan sukarela membantu warga yang sehari- hari kekurangan. Segala yang bisa diberikan; uang, barang dan jasa pasti diberikan. Dan bagi mereka yang tak sempat datang sendiri, mereka punya agen-agen yang menamakan diri sebagai ‘tim sukses’. Lewat tim sukses inilah rizki ditebar. Berapapun tak masalah asal bisa dinikmati warga, terutama yang memang mendesak untuk bisa dimakan hari itu. Uang yang habis dimakan sehari dianggap bisa menghidupi keluarga seumur hidup. Begitu sederhananya pemahaman mereka yang memang dibiarkan buta dan bodoh. Trauma akibat selalu dibohongi pun hilang sesaat setelah ‘disuapi’ dan diberi kaos bergambar calon.

Dari acara bagi-bagi rizki ini, konon seorang caleg bisa menghabiskan puluhan juta, ratusan juta bahkan untuk caleg nasional bisa menghabiskan miliaran rupiah. Belum lagi di tingkat partai, pendaftaran caleg kerap dijual sesuai nomor urut. Di tingkat lokal, harga nomor urut berkisar lima, sepuluh, tiga puluh sampai seratus juta, tergantung partai yang diusung. Masing- masing partai berbeda dalam memasang tarif, dari mulai harga gratis sampai harga fantastis.

Fenomena seperti ini mengundang asumsi, bahwa untuk mengejar jabatan di dewan, harga tak pernah jadi masalah. Berapapun pasti dibeli apalagi bagi calon yang IQ-nya kurang tapi dana mendukung. Bagi mereka yang ambisinya kuat tapi tak cukup modal, maka berhutang, menjual atau menggadai barang adalah alternatif. Dan bagi mereka yang hasrat dan ambisinya berlebih, lalu habis-habisan mengeluarkan modal dan kemudian kalah, maka sempurnalah kerugiannya. Perjudian nasib dalam dunia politik ini sering melibatkan emosi rakyat sebagai penonton sekaligus ‘pengamat’.

Tim sukses atau tim gagal?

Tim sukses atau makelar politik merupakan unsur penting yang menentukan sukses tidaknya seorang calon. Maka tak jarang bila seorang tim sukses yang berhasil, dia menjadikan kerja menjadi tim sukses bukan lagi sebagai kerja sampingan, tapi sebagai profesi dan sumber mata pencaharian musiman.

Menjadi tim sukses memang membutuhkan mental baja, muka tebal dan ‘kulit badak’. Dengan mengandalkan potensi mobilisasi massa, kelihaian bicara dan kemampuan mempengaruhi publik dengan opini-opini yang didramatisir, dia sedang mengundi nasib. Ada dua hal yang kemudian harus dia hadapi, menang atau kalah. Bila menang, maka seacara materi dia untung. Kemenangan calon yang dia usung akan menjadikan modal baginya untuk kembali bekerja pada musim politik selanjutnya. Namun bila calon yang diusungnya kalah, maka habislah dia.

Salahnya, banyak caleg yang memanfaatkan jasa tim sukses ini tanpa seleksi dan tahu informasi tentang track record tim suksesnya. Fenomena yang sering terjadi adalah, banyak tim sukses yang lihai melakukan loby politik dan bahkan triknya dalam meloby caleg mengalahkan kelihaian politik caleg itu sendiri. Habis-habisan caleg mengeluarkan ‘amunisi’ materi padahal materi itu dimakan sendiri oleh tim sukses. Dan biasanya, track record tim sukses di mata masyarakat kurang baik atau bahkan jelek walaupun datang dengan latar belakang sebagai tokoh masyarakat. Kalaulah masyarakat enggan memilih caleg karena track record tim suksesnya jelek, maka tim sukses pada hakikatnya adalah ‘tim gagal’.

Prestasi atau perangkap?

Pengalaman empat tahun ke belakang, seharusnya menjadi cermin bagi rakyat untuk menilai dan mengkritisi para wakilnya. Pertanyaan yang harus dikedepankan adalah,”Selama empat tahun ini, apakah rakyat atau anggota dewan yang kesejahteraannya meningkat?” dan “selama empat tahun ini, apakah lembaga legislatif lebih dicintai atau lebih dibenci di mata rakyat?” selanjutnya,”Apakah integritas keilmuan, ketokohan, dan bahkan keulamaan anggota dewan mampu untuk memperbaiki citra lembaga dewan atau justru menambah ketercemarannya?”

Berita tentang tingkah laku anggota dewan di media massa, cetak ataupun elektronik selama ini memang selalu menghidangkan berita-berita yang mengundang murka rakyat. Tapi anehnya, peminat kursi dewan periode 2009-2014 justru meningkat. Rupanya sejarah tentang fatamorgana dunia politik akan abadi sepanjang usia zaman. Manis dilihat dari kejauhan tetapi rasa pahit di dalamnya tak terperikan. Maka sebentar lagi, kita akan menyaksikan, ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu caleg di seantero Indonesia akan berjamaah memasuki ‘perangkap’ politik.

Dan agar tulisan ini berimbang, penulis ingin juga menyisipkan sedikit keberatan tentang ketidak berimbangan berita yang disajikan dalam rangka menanam opini publik. Hampir sulit memang menemukan bacaan ataupun tontonan di media massa yang mengangkat prestasi yang telah ditorehkan para anggota dewan empat tahun ke belakang. Padahal terungkapnya ‘penghianatan’ oleh oknum-oknum anggota dewan, dari tingkat lokal sampai nasional, sama sekali tidak merefresentasikan mental seluruh anggota dewan sama seperti itu. Kita pun yakin, tidak sedikit dari anggota dewan yang masih berpegang teguh pada ketinggian akhlak dan tetap harum di mata rakyat. Mereka yang dari awal pencalonan sampai ketika terpilih, bahkan sampai empat tahun mengemban amanat tetap istiqamah di jalan- Nya yang lurus.

Maka pemilu yang akan dijelang tahun depan akan memunculkan jawaban dari misi dan niat yang diemban para caleg ini. Sebagai rakyat, tentuya kita berharap, para caleg meluruskan niat sejak awal sehingga mereka bisa mencetak prestasi sebanyak mungkin selama menjadi anggota dewan. Dan untuk itu, kita lagi-lagi berharap kebiasaan busuk meraih hati dan simpati rakyat dengan “membeli” seharusnya dihindari. Kalau membeli jabatan itu kemudian masih saja dilakukan, maka bersiap-siaplah untuk masuk “perangkap”.

*dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO