Minggu, 21 Desember 2008

KONSEP DAN AKSI ISLAM TENTANG SAINS

Oleh : Asep M Tamam*

Sains, secara umum didefinisikan sebagai pengetahuan sistematis mengenai sifat dasar atau prinsip-prinsip objek-objek Indrawi atau fisik, yang berasal dari observasi dan eksperimen, yang karena itu bersifat empiris, eksak (pasti) dan mudah untuk diukur.

Sains kaitannya sangat erat dengan teknologi, kalau sains merupakan pengetahuan yang objeknya alam Indrawi, paradigmanya posititivisik, dan ukurannya logis dan empiris, maka teknologi adalah ilmu yang berkaitan dengan kepandaian membuat sesuatu yang berhubungan dengan industri, seni, dan kepentingan kehidupan manusia lainnya, Teknologi adalah penggunaan sains dalam pemanfaatan alam untuk kesejahteraan dan kenyamanan hidup manusia dan untuk merubah dunia tradisional menjadi dunia modern dan industrial.

Dengan Sains dan teknologi, manusia modern mampu menyiasati, misalnya jauh menjadi pendek, panas menjadi dingin atau sebaliknya, kerja berat jadi ringan, kotor jadi bersih, asin atau pahit jadi tawar dll. Dengan sains dan teknologi dikenalah istilah globalisasi yang menciptakan "ketakterjarakan" ruang dan waktu yang ditandai dengan lalu lintas manusia, produk dan informasi dalam tingkat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dunia kini seolah-olah menjadi lebih mengecil dan batas-batas antar negara pun menjadi kabur, yang oleh sebab itu keterpengaruhan suatu negara oleh suatu negara lain pun sangat kuat.

Namun, sains dan teknologi juga melahirkan problem, sains dan teknologi menuntut biaya material, mental, kultural dan moral, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena karakter sains yang empiris dan objeknya yang harus bersifat fisik, mengakibatkan lahirnya pandangan dunia (Saintisme) yang materialistis, yang beranggapan bahwa yang riil adalah yang material, sains pun selanjutnya bersipat sekuler. Beberapa Saintis barat kemudian menjadi atheis dan konplik antara sains dan agama pun berlangsung sampai sekarang. Sains, karenanya bukan saja telah melahirkan krisis etika, tetapi bahkan juga krisis agama.

Dalam konteks Islam, saat ini bidang sains dan teknologi merupakan kelemahan yang paling menonjol di negara-negara dan masyarakat muslim. Dalam tahun 1976 misalnya, jika jumlah penulisan karya ilmiah di seluruh dunia terdapat 352.000 buah dan di Israel saja terdapat 6.100 buah, maka di negara-negara muslim hanya 3.300 buah saja. Dilihat dari jumlah saintis, berdasarkan laporan tahun 1989, jika ahli fisika di dunia ada 4.168 orang, maka fisikawan muslim hanya 46 orang. Jika kimiawan dunia berjumlah 5.375 orang, maka hanya 128 orang saja yang muslim. Padahal, kemajuan suatu kelompok egara sangat tergantung pada penguasaannya terhadap sains dan teknologi. Kelemahan kaum muslimin dalam sains itu, di Indonesia misalnya, diperlihatkan oleh penilaian yang dilakukan Organisasi Kerjasama Pembangunan dan Ekonomi (OECD) bahwa penguasaaan matematika sebagai dasar sains, dari siswa Indonesia usia 15 tahun-nya adalah yang ke 39 dari 41 negara yang diteliti. Faktor penyebab lemahnya dunia Islam dalam sains dan teknologi itu antara lain karena tidak adanya praktisi yang bekerja secara sungguh-sungguh dan mendapat dukungan penuh dari infrastruktur ekperimental dan kepustakaan serta kemampuan saling kritik secara terbuka.

KONSEPSI DAN AKSI ISLAM DALAM SAINS

Jika Sains, di dunia Barat modern hanya mendalami objek empiris Indrawi saja, maka dalam Islam lebih dari itu, yaitu mencakup non fisik juga. Karena itu sains dalam Islam lebih kaya dibandingkan Barat. Sejauh yang bisadibaca dari Al-Qur'an dan hadits Nabi, Secara umum antara Al-Qur'an – Hadits dengan sains sejalan atau sesuai. Hal ini bisa dibuktikan, apakah dipandang dari sudut epistimologi (Cara mendapatkan Ilmu pengetahuan yang benar), ontologi (Isyarat Al-Qur'an mengenai hakikat yang dikaji), atau aksiologi (teori nilai mengenai kegunaan ilmu pengetahuan).

Dari sudut epistimologi, sains dalam Islam bukan saja mengenal metode observasi dan eksperimen (tajribi), tetapi juga metode demonstratif (burhani) dan intuitif (irfani), Metode Observasi (tajribi) misalnya, bisa dilihat dalam (QS Al-Nahl [16] : 43), (QS AL-Alaq [96] : 1), (QS : Yunus [10] : 101), (QS : Al-Ghasyiyah [88] : 17 -20), (QS Al-Naml [27] : 69), atau (QS Al-rum [30] : 42). Tentu saja masih banyak ayat lain, mengingat dalam Al-Qur'an terdapat 750 ayat atau seperdelapan isi al-Quran yang mendorong kaum muslimin untuk menelaah alam sekitar. Metode ini berlaku untuk bidang fisika, kimia, sosial serta humaniora. Demikian juga untuk Al-Hadits, banyak sekali mengungkapkan pernyataan Nabi yang memerintahkan kaum muslimin untuk menguasai sains, juga mengungkap keutamaan ilmu dan ilmuwan. Sementara itu, metode demonstratif (burhani) yang berdasar ilmu logika yang dipakai filsafat, bisa dilihat dari (QS Ali Imran [3] : 189-190), juga kalimat-kalimat lain dalam ayat-ayat yang bertebaran dalam Al-Qur'an, seperti "Apakah mereka tidak merenungkan?", "apakah mereka tidak berakal?", "Apakah kalian tidak memikirkan?". Metode ini berguna untuk mengetahui dunia metafisika. Adapun metode intuitif (irfani) tampak pada wahyu pertama, (QS. Al-Alaq [96] : 1-5), juga diperjelas dengan (QS. Al-Kahfi [18] : 65). Metode ini adalah metode pencapaian ilmu di mana Allah sendiri yang mengajarkannya.

Dari sudut pandang ontologi, terbukti bahwa penemuan-penemuan sains yang terjadi belakangan, sangat sesuai dengan isyarat-isyarat Al-Qur'an. Di antaranya adalah teori bahwa alam tercipta lewat big bang (ledakan dahsyat), dan ini diisyaratkan dalam QS (Al-Anbiya [21] : 30) atau (QS Al-Dzariyat [51] : 47), kemudian tentang hukum alam (QS. Al-Qamar [54] : 49), (Fushshilat [41] : 11), (Al-Ahzab [33] : 63), (QS Al-Fath [48] : 23), tentang Evolusi (QS. Al-Qashash [28] : 68), (Fahir [35] : 16), tentang gravitasi (QS. Al-Baqarah[2] : 74), tentang perputaran bumi (QS Al-Naml [27] : 88), tentang berputarnya matahari (QS. Yasin [36] : 38), (QS Al-Anbiya [21] : 33) dan (QS Yasin [36] : 40), tentang relativitas waktu (QS Al-Sajdah [32] : 5) dan (QS. Al Ma'arij [70] : 4), juga tentang penemuan-penemuan lain yang tidak bisa diurai semuanya di artikel singkat ini.

Adapun dari sudut pandang aksiologi, Islam dengan jelas menegaskan bahwa penggunaan sains harus ditujukan untuk hal-hal yang dibenarkan Tuhan. Sains saja tidak cukup, tapi harus dibarengi dengan keimanan dan kemampuan menjaga nilai-nilai etis kemanusiaan. Tingginya reputasi seorang saintis yang beriman sangat kohesif dengan penghargaan dari Allah (QS Al-Mujadalah [58] : 11) atau (QS. Fathir [35] : 28). Keritera ideal seorang saintis di antaranya selalu mengingat Allah saat berdiri, duduk dan berbaring (QS Ali Imran [3] : 190-191). Dalam hadits-hadits Nabi, penghargaan kepada ilmu, pelajar, pengajar dan orang-orang yang menguasai sains (Ilmuan) bahkan bertebaran lebih banyak lagi.

Dari konsep-konsep Islam tentang sains ini, maka sejarah telah menyaksikan aktor-aktor legendaris muslim di bidang sains. Tradisi observasi dan eksperimen kaum muslimin pernah mengakibatkan dimonopolinya sains oleh umat Islam selama 350 tahun, dan sekitar 6 Abad sains berada dalam lingkungan kaum muslimin, khususnya yang berkebangsaan arab, Persia, Turki dan Afghan. Dalam bidang kimia, Islam telah melahirkan Jabir bin hayyan (w. 193 H/808 M), Muhammad Zakaria Al-Razi (w. 313 H/925 M) dan Izzuddin al- Jaldaki (w. 762 M/1360 M). Dalam bidang Fisika, Sejarah Islam mengenal Ibn Al- Haitam (w. 1040 M), Al-Biruni (w.1048 M) dan Kamaluddin Al-Farisi yang hidup pada abad 13 M. Dalam bidang Matematika, Islam mencatat Al-Khawarizmi (w. 236 H/850 M), Al-Battani dan Umar Khayyam (w. 526 H/1132 M). Dalam bidang kedokteran, Sejarah Islam mengenal antara lain Al-Razi (w 313H/925 M), Ibnu Sina ( w 428 H/1037 M) dan Ibn Rusydi (w 595 H / 1198 M). dalam bidang geografi, sejarah telah mencatatkan nama Al- Syarif Al-Idrisi (w. 562 H/1166 M).

PENUTUP

Sejak diharamkannya filsafat oleh Al-Ghazali pada Abad 12, dan Ibnu Taimiyah abad 14, juga menguatnya sufisme dan tarekat-tarekat yang mengakibatkan sufisme menjadi gerakan yang massif, dan tidak adanya praktisi-praktisi yang bekerja sungguh-sungguh dalam tradisi eksperimen dan Observasi, serta banyaknya ulama yang menggunakan senjata takfir (Pengkafiran) ketika berhadapan dengan sains rasional, maka sains dalam Islam meredup. Sains kemudian tumbuh subur dan menjadi hegemoni bangsa-bangsa Eropa (Barat). Sampai hari ini kita menyaksikan, umat Islam hanya menjadi penonton, juga penikmat/konsumen produk-produk sains negara-negara maju. Sebuah siklus (Sunnatullah) berlaku, dan pada saatnya nanti, entah kapan, siklus itu akan kembali lagi ke pangkuan Islam.

WALLAAHU A'ALAM

*Dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC Cipasung, juga mengajar di STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO