Minggu, 21 Desember 2008

EKSPRESI HUT RI DAN SERAGAM KORUPTOR

Oleh: asep M Tamam*

Kamis pagi tanggal 14 agustus kemarin, salah satu TV swasta menayangkan berita menarik dari KotaTegal. Warga di satu kelurahan mengadakan kegiatan lomba-lomba dalam rangka menyemarakkan HUT RI ke 63. Salah satunya adalah lomba mengekspresikan kebencian tehadap korupsi dan para koruptor. Ada anak kecil yang membaca naskah di tangan, ada mbak’-mbak’ yang teriak-teriak menyumpahi Artalyta, Urip Tri Gunawan, al- Amin Nasution, ada juga kakek-kakek yang tak ketinggalan ‘memuntahkan’ kegeramannya dengan berpidato.

Muaknya warga terhadap korupsi yang terus diekspresikan, mungkin belum seberapa dan belum ada apa-apanya dibanding mewabahnya korupsi yang terjadi. Dan akan tiba saatnya dimana rasa muak, benci dan geram ini terakumulasi dalam ekspresi yang saat ini belum terbayangkan. Salah satu ekspresi yang paling pop muncul hari ini adalah sosialisasi seragam koruptor oleh KPK.

Prestasi korupsi kita

Bila Bung Hatta, sekian puluh tahun yang lalu menyatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya, lalu Ayip Rosidi, dua tahun yang lalu menulis buku korupsi dan kebudayaan, maka itu berarti yang kita saksikan sekarang ini benar. Tidak hanya sebatas budaya, salah satu jurnal terkenal di Amerika, foreign Affairs menulis bahwa korupsi bahkan telah menjadi way of life atau jalan hidup di Indonesia.

Karena korupsi telah menjadi budaya dan bahkan way of life, maka tidak akan sulit kita mendengus aroma korupsi di setiap lini dan setiap sendi kehidupan. Teten Masduki, ‘komandan’ ICW menyebut, budaya korupsi ini telah meliliti dunia hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya dan moral negeri ini.

Semaraknya korupsi meramaikan setiap milimeter dari peta Indonesia, suatu saat akan menjadikan negeri ini bangkrut, bahkan menjadi negeri pengemis. Harapan yang digantungkan di pundak kejaksaan dan lembaga-lembaga terkait untuk memberantas korupsi ternyata ‘mentok’ karena justru korupsilah yang ‘memakan’ lembaga-lembaga tersebut.

Transparency international (TI) dalam penelitian tahun 1998-2003, menempatkan Indonesia pada posisi 10 besar negara terkorup di dunia. Demikian juga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dalam penelitiannya tahun 1997 menempatkan Indonesia pada posisi negara terkorup di Asia, dan pada tahun 2001 Indonesia di posisi ke dua setelah Vietnam. Bahkan menurut Corruption Perception Indeks (CPI) tahun 2006 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) November 2006, Indonesia berada pada peringkat ke 7 dari 163 negara, naik satu peringkat dari posisi 6 dari 159 negara pada tahun 2005. Vice President East Asia and Pacific Region of The World Bank telah memasukkan daftar hitam kepada 306 perusahaan di dunia karena adanya indikasi korupsi bantuan lembaga donor internasional dan 65 perusahaan di antaranya adalah perusahaan di Indonesia. Dalam kurun waktu 2000-2006 saja tercatat 100 kasus yang mengindikasikan terjadinya korupsi dari dana bantuan Bank Dunia.

Menyimak ‘prestasi’ yang telah tertoreh dan prestasi lain yang mungkin segera dirilis, maka kata korupsi akan terus berdengung sampai saat dimana kita bosan mendengarnya. Boomingnya pemberitaan kasus korupsi di tingkat pusat yang diberitakan di berbagai stasiun TV justru membuat kasus korupsi di daerah terbiarkan.

Di berbagai dinas dan intansi, perjalanan dinas fiktif masih terjadi, belum lagi perjalanan dinas yang jumlah hari perjalanannya dipanjangkan. Proyek-proyek acara dua hari pun ditulis empat hari. Proyek fiktif, kegiatan rutin yang diproyekkan, penggelembungan (mark-up) nilai pembelian barang dan/atau jasa, uang komisi, suap, sogok, imbalan dalam pemberian ijin agar urusan lancar masih menjadi acara dan menu wajib di berbagai instansi umum. Terungkapnya satu kasus seakan menyembunyikan seribu kasus yang lainnya. Semuanya seakan membenarkan pribahasa “esa hilang dua terbilang” dan “mati satu tumbuh seribu”. Bagaimana korupsi bisa hilang, sementara jumlah pemberantas korupsi tak sebanding dengan jumlah koruptor? Bagaimana mungkin seorang pemberantas kejahatan bisa mengalahkan seribu penjahat?

Ekspresi Agustusan

Hambar rasanya bila bulan agustus datang tanpa adanya ‘raramean’. Kenduri tahunan yang diramekan dari mulai tingkat RT sampai tingkat nasional ini selalu menghadirkan nuansa Agustus yang berbeda dari bulan lainnya. Kreasi-kreasi baru pun selalu muncul dari ide-ide gemilang dan sering dilatahi warga yang lain. Ekspresi 17-an yang dilakukan warga kelurahan di kota Tegal adalah salah satu ide cemerlang yang pantas dilatahi warga yang lain di pelosok tanah air.

Gebrakan-gebrakan untuk menekan hasrat korupsi para pejabat kita jangan pernah dibiarkan padam. Seperti penyakit, korupsi akan mempunyai antibody dan tahan terhadap antibiotic sehebat apapun andai gerakan pemberantasan korupsi ini berhenti di tengah jalan. Dan agustus adalah momentum terbaik untuk membangun nasionalisme warga masyarakat dalam rangka ‘menyumbang saham’ mengekspresikan gerakan anti korupsi.

Seragam koruptor

Entah sengaja atau tidak, usulan KPK untuk menyosialisasikan seragam koruptor terjadi di bulan Agustus ini. Tapi bagi kita, nasionalisme KPK terlihat at momment dan itu jelas ketika kita melihat antusiasme masyarakat dalam merespons issu seragam koruptor ini sedemikian tinggi.

Usulan KPK untuk membuat seragam khusus bagi para koruptor ini adalah satu dari berbagai ide untuk ‘menelanjangi’ para koruptor dan mempermalukan mereka di depan halayak umum. Sekarang saja, kita sudah membayangkan, andai al- Amin Nasution, Artalyta Suryani dan yang lainnya memakai seragam yang konon, kain yang akan dipilih nanti berwarna ‘ngejreng’ dan mencolok. Waw! kereeen.

Ide untuk menekan jumlah koruptor dan tindak pidana korupsi di Indonesia pastinya tidak akan berhenti pada seragam. Kalau KPK –lagi-lagi KPK— juga mengusulkan untuk me’rumah’kan para koruptor di Nusa Kambangan. Ide yang lain juga sudah mulai dipraktekkan di beberapa kampus di Jakarta. Universitas Paramadina dan UIN Ciputat Jakarta adalah beberapa contoh yang sudah merumuskan materi Pendidikan Anti Korupsi (PAK) sebagai satu dari materi Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Usulan lain yang sedang ‘digodok’ adalah nenghadirkan korupsi dalam sinetron-sinetron yang dibintangi bintang terkenal, senior maupun pendatang baru.

Peliknya kasus korupsi di Indonesia sering membuat kita pesimis. Namun pesimisme ini adalah hal negatif yang harus dilawan karena kita yakin akan siklus, di mana pada saatnya nanti pemberantasan korupsi tidak hanya berhenti pada ‘koma’, tapi betul-betul berhenti pada ‘titik’. Wallahu a’lam

*dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC Cipasung, juga mengajar di STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO