Minggu, 21 Desember 2008

SEKALI LAGI, UKHUWAH ISLAMIYAH TERKOYAK

Oleh : Asep M Tamam*

Dalam dua hari ini, berita utama di hampir semua stasiun televisi dan media masa diisi berita penyerangan anggota FPI terhadap aliansi Kebangsaan untuk kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB)

Lagi-lagi, wajah keberagamaan di Indonesia memburam, dan lagi-lagi sejarah harus berulang, umat Islam harus saling 'memakan' antar sesama, dan lagi-lagi pasti ada pihak yang 'tertawa' atas semua yang terjadi ini.

Nampaknya, sikap umat Islam dalam menyikapi 'perbedaan' adalah pemicu kontak fisik ini terjadi. FPI, BAT dan organisasi Islam garis keras lainnya harus berbeda dalam menafsirkan pesan-pesan agama dengan pihak pengusung pluralisme dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB).

Sebagai akademisi, penulis harus fair dalam menulis. Maka tulisan ini tidak akan condong ke salah satu pihak yang sama-sama mengklaim kebenaran ada di pihaknya. Namun karena dua pihak ini umat Islam, penulis mencoba membahasnya dengan perspektif Islam.

Perbedaan sebagai kemestian.

Dilihat dari aspek manapun, perbedaan (ikhtilaf) adalah sunnatullah yang mesti adanya. Karena pluralitas adalah realitas, maka secara fitrah manusia tercipta dalam dimensi yang serba beragam. "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu." (QS Hud [11] : 118). Bukan hanya sunnatullah, perbedaan bahkan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui," (QS al-Rum [30] : 22)

Benarkah perbedaan itu rahmat?

Hadis Nabi bahwa perbedaan itu rahmat begitu populer di tengah-tengah umat Islam. Meski dipertanyakan keshahihannya, Abdul Rahman al-Dimasyqi sampai terinspirasi untuk menulis buku rahmatul ummah fi ikhtilaf al-Aimmah. Mantan petinggi al-Azhar, Dr Ahmad al-Syirbashi menyatakan bahwa ikhtilaf bisa diterima, bahkan menjadi rahmat bila itu terjadi cukup dalam pendapat saja. Contoh yang sangat indah adalah ketika Abu Bakar berkata kepada Umar bin Khattab," maa turiidu illaa khilaafii (Umar, yang anda inginkan hanyalah berbeda denganku!). Namun ketika mau menghadap Sang Kuasa, Abu Bakar berwasiat kepada para sahabat yang lain untuk memilih Umar sebagai penggantinya.

Dalam buku I'laam al-Muwaqqi'iin, Ibnu Qayyim mencatat bahwa perbedaan pendapat yang terjadi antara Umar bin Khatab dengan Abdullah bin Mas'ud terjadi pada lebih dari 100 masalah. Tapi ketika Umar melihat Ibnu Mas'ud, ia berkata kepada para sahabatnya," lihatlah, tidak ada yang lebih mengerti hukum Islam selain dia". Dan ketika Ibnu Mas'ud yang melihat Umar dia yang berkata,"lihat, dialah orang yang paling aku hormati selama ini"

Contoh yang lain adalah ketika Harun al-Rayid –pemimpin terpopuler dari daulah Bani Abasiyah— hendak membawa umat Islam untuk mengikuti fiqh Imam Malik, tapi sang Imam berkata,"wahai Amirul muminin, perbedaan pendapat di kalangan ulama itu merupakan rahmat dari Allah untuk umat Islam, masing-masing mengikuti mana yang shahih menurutnya, masing-masing dalam bimbingan Allah dan mengharap ridha-Nya". Maka seoarang ulama yang hadir, Yahya bin Said mengungkapkan rasa kagumnya, "tak henti-henti orang mengeluarkan fatwa yang berbeda, tapi ini tidak mencela yang itu".

Para ulama sangat mewanti-wanti agar umat tidak terjebak dalam ikhtilaf, mereka sangat menekankan bahwa ikhtilaf sebisa mungkin dihindari (rujuk QS Ali Imran [3] :105). Rasulullah bersabda: "kamu sekalian jangan berselisih, sebab perselisihan menimbulkan keretakan dalam hati kalian" (HR. Bukhari). Maka berpegang pada haits ini, seorang ulama besar, Ibnu Hazm mencerca ikhtilaf dan menurutnya ikhtilaf adalah bencana (azab) bagi umat.

Memilih bahasa cinta

Islam adalah rahmat bagi alam raya. Bukan hanya Islam, agama apapun dan di manapun diyakini oleh para pemeluknya membawa misi kerahmatan dan kedamaian semesta. Pesan-pesan kerahmatan dalam Islam tersebar baik dalam al-Quran meupun hadits. Kata rahmah, rahman rahim dan derivasinya tersebar dalam lebih dari 100 ayat, demikian M Quraish Shihab dalam buku menyingkap tabir ilahi (2000).

Di Indonesia, Islam hadir dalam frame yang beragam. Ada Islam tradisionalis, moderenis, formalis, substantifistis, puritanis, revivalis, liberalis, pundamentalis dan lain-lain. Semuanya telah berperan secara positif dalam memperkenalkan Islam menurut perspektif masing-masing. Tidaklah penting mengulas benturan-benturan kecil yang pernah terjadi antara keragaman ini karena sifatnya pun tidak signifikan. Yang penting justru menghadirkan kenangan indah para tokoh umat Islam di Indonesia, ketika mereka yang berbeda itu bersama-sama dalam satu tempat.

Buya HAMKA (Begawan Muhammadiyah) dan KH. Wahid Hasyim (begawan NU) adalah dua sahabat yang sering bersama-sama dalam berbagai kesempatan. Keluhuran ilmu dan ketinggian moral kedua tokoh ini patut ditiru, ketika Buya HAMKA mengimami shalat Subuh, beliau qunut demi menghormti sahabatnya, KH. Wahid Hasyim. Sebaliknya, ketika KH. Wahid Hasyim yang menjadi imam, beliau tidak qunut demi menghormati Buya HAMKA.

Kisah teladan dua tokoh dari dua organisasi terbesar negeri ini mengingatkan kita pada kisah para sahabat, tabi'in, dan ulama-ulama shaleh setelah mereka. Mereka ada yang membaca basmalah di awal surat dan ada yang tidak membacanya, ada yang mengeraskan bacaan basmalah dan ada yang menghaluskannya, ada yang biasa qunut di shalat subuh dan ada yang meninggalkannya, ada yang berwudhu karena keluar darah dari hidung, muntah, diambil darah dan ada yang tidak melakukannya, ada yang berpendapat batal wudhu karena bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan ada yang berpendapat tidak batal, ada yang berwudhu karena makan daging unta dan daging-daging yang dimasak dengan menggunakan api secara langsung (dibakar) dan ada yang tidak melakukannya, dan lain-lain. Maka, bagi mereka, perbedaan menjadi jalan yang sangat lebar untuk memilih 'bahasa cinta' sebagai pilihan terbaik.

Dari fanatisme sampai anarkisme

Kalau dilacak lebih mendalam, kekerasan atau benturan fisik dalam 'tragedi monas' terjadi kerena dosis fanatisme yang berlebihan. "setiap kelompok akan meras bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (QS 23 :53). Demikian al-Quran mengungkapkan realitas hidup, bahwa semua orang dibekali sipat fanatik terhadap diri, keluarga, keturunan (bani, marga), golongan, daerah asal, agama, mazhab, partai politik, idola, bahkan terhadap pendapat dan pola fikirnya.

Fanatisme, demikian menurut Dr. muammad Suyud al-Wakil dalam buku lamhah min tarikh al-Da'wah (2000), pada dasarnya tercela, kecuali fanatik terhadap kebenaran. Kebenaran pun ternyata relatif, karena setiap kelompok –karena fanatismenya—mengklaim kebenaran ada di pihaknya. Fanatisme yang tercela pernah terjadi pada satu peperangan antara umat Islam dengan orang-orang kafir. Ada seorang muhajirin mendorong salah seorang dari kaum anshar, orang Anshar kemudian berteriak, "wahai orang-orang Anshar!" orang muhajirin pun berteriak, "wahai orang-orang muhajirin!" Lalu rasulullah berkata, "ada apa dengan panggilan jahiliyah itu? Mereka menjawab: "wahai Rasulullah, salah seorang dari muhajirin mendorong salah seorang dari Anshar", kemudian Rasulullah bersabda: "tinggalkan panggilan jahiliyah tersebut, karena itu berbau busuk".

Dalam sejarah Islam, fanatisme dalam porsi berlebih (ta'ashshub a'ma) telah menyebabkan berbagai peperangan antara internal umat Islam. Dengan tinta hitam, sejarah pun telah mencatatkan ribuan nyawa harus melayang akibat peperangan ini. Memang apa yang terjadi di monas siang itu tidak menyebabkan hilangnya satu nyawa pun. tapi terlukanya hati akibat tragedi ini takan hilang dalam 'satu-dua' hari.

Ukhuwah islamiyah tak sekedar slogan

Persaudaraan sesama umat Islam, rupanya berat terwujud ketika hati umat Islam dipenuhi rasa saling memusuhi. Sulit juga untuk melacak siapa otak di balik kasus yang telah mengoyak-ngoyak ruh (semangat) persaudaraan yang selama ini terus digalakan. Musuh hakiki yang berbentuk kebodohan, kemiskinan, kesewenang-wenangan dan budaya-budaya 'kafir' sepertinya untuk beberapa saat harus dilupakan.

Memang, hal terbaik yang harus kita lakukan saat ini adalah introspeksi diri, juga berfikir bahwa di manapun dan kapanpun kita harus jadi solusi. Kita harus lantang berteriak, " biarlah kita berbeda, tapi ukhuwah harus kita jaga!"

Penutup

Jalaluddin Rumi bersyair :

"meskipun ada bermacam-macam cara, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa banyak jalan menuju ka'bah?... oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya, maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya. Namun apabila yang anda petimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya pasti terarah hanya pada satu tujuan... wallaahu a'lam.

Asep M Tamam M. Ag. Dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC Cipasung, juga mengajar di STAI Tasikmalaya.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO