Minggu, 21 Desember 2008

WAJAH ULAMA KITA


Ulama, dari masa ke masa, memiliki kedudukan istimewa dalam kehidupan umat. Bukan hanya sebagai sandaran dalam Ilmu Agama, juga tidak hanya rujukan langkah, ucapan dan tingkah laku, tapi ulama bahkan menjadi penopang keseimbangan kehidupan sosial dan spiritual (social and spiritual equilibrum).

Namun akhir-akhir ini,, di beberapa tempat dari kota sampai desa, dari kampung sampai pelosok, bahkan hampir di setiap pori-pori negeri tercinta ini, berkembang riak-riak opini yang mengarah ke desakralisasi ulama. Hingar-bingar dunia politik yang menggoda, hiruk-pikuk dunia bisnis yang merayu, kemegahan singgasana ‘Istana’ dengan berbagai fasilitasnya, telah melalaikan mereka dari misi utamanya sebagai pewaris ilmu dan akhlak para Nabi. Tapi yang paling dominan dari semua itu adalah opini umat tentang keterlibatan para ulama dalam gelanggang politik.

Tulisan ini, adalah surat cinta penulis sebagai anggota umat Islam kepada para ulama, setelah beberapa ‘saat’ mengkaji, dan terus mencari jawaban dari pertanyaan, “kenapa tampilnya para ulama dalam arena politik dan keterlibatan mereka dalam ‘ring’ kekuasaan telah melahirkan opini yang kurang ‘sedap’ di kalangan umat”.

Benar -Salah, Bukan Menang -Kalah

Sebenarnya, keterlibatan para ulama dalam arena politik dan kedekatan mereka dengan wilayah kekuasaan di Indonesia bukanlah merupakan ‘barang baru’. Puluhan bahkan ratusan buku dan karya ilmiah telah terbit dan terinspirasi dari kebersinggungan kehidupan sosial mereka dengan dunia politik dan para penguasa (umara). Sebagian menghadirkan gambaran yang putih bersih, sebagian lain menampilkan warna abu-abu dan sebagian lainnya memunculkan wajah yang hitam.

Putih, abu-abu atau hitamnya wajah ulama, bergantung kepada nilai-nilai perjuangan mereka dalam memainkan perannya sebagai --meminjam istilah Cliffordz Greetz dalam Religion Of Java-- Cultural Broker, guru dan penerjemah setiap problematika umat, juga sebagai sosok yang punya ketertarikan atau di ‘tertarik’i oleh wilayah politik dan kekuasaan.

Rumus perjuangan dunia politik adalah menang – kalah, kebahagiaan hadir bersama kemenangan dan kesedihan muncul karena kekalahan. Sementara rumus perjuangan para ulama adalah Benar – Salah, memperjuangkan dan membela nilai yang benar dan melawan untuk menghapus nilai-nilai yang salah. Nah, ketika rumus perjuangan para ulama berubah, ketika nilai perjuangannya menjadi menang – kalah, maka nilai-nilai idealitas hati nurani tercerabut dari akarnya. Wajar saja ketika seorang ulama yang mengungkapkan ekspresi berlebih dalam partisipasi berpolitknya, potensinya dalam memobilisasi massa diungkapkan dengan menghalalkan segala cara dan menempuh jalur ‘abu-abu’ demi meraih kemenangan. Dari sinilah kemudian opini umat terbangun.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Bukan Simbiosis Mutualisme

Keharmonisan hubungan antara ulama dan umara, sering memunculkan pemandangan yang indah dan menyejukan hati. Pemimpin membutuhkan ulama untuk mensosialisasikan program kerja, memasukan warna spiritual dalam berbagai kebijakan dan menghadirkan nuansa religius di lingkungan Pemerintah. Demikian juga sebaliknya, dalam uaya mensukseskan misi da’wahnya, ulama juga membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan pihak pemerintah demi menunjang kelancaran bidang pengajaran, pengelolaan dan pengembangan sarana-prasarana yayasan dan pesantrennya.

Namun dalam konteks politik, kedekatan antara dua lembaga presitius ini, sering mengundang Prejudice di kalangan umat. Lalu munculah anggapan bahwa di balik kedekatan itu terjdi proses Simbiosis mutualisme. Dari fenomena-fenomena yang kerap muncul ke permukaan ini, DR. Endang Turmudzi terinspirasi untuk menulis bukan dengan judul Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan,’ dan dari hasil ‘perselingkuhan’ ini, munculah fenomena --meminjam istilah Ahmad Khoirul Umam dalam Kyai dan Budaya Korupsi di Indonesia-- Kiai kaya mendadak.’

Kedekatan antara Ulama dan Umara akan menghasilkan buah yang ranum dan manis, bila dasarnya adalah Amar Maruf Nahi Munkar, kehidupan akan berjalan seimbang ketika posisi ulama di atas posisi Umara yang mengarahkan para pemimpin ke arah Ma’ruf, dan mencegah mereka dari tingkah laku dan kebijakan yang Munkar. Umat dan rakyat akan merasa nyaman menghirup udara kehidupan andai Ulama dan Umara bergandnegan tangan menuju dua ambisi ideal pemerintahan Khulafa Al Rasyidin 15 abad yang lalu yaitu : kesejahteraan rakyat dan keridhaan Allah.

Memiliki Bukan Menguasai

Misi utama para ulama sebetulnya sama dengan misi para Nabi, yaitu mengajar, mendidik dan mengarahkan umat kepada nilai-nilai Ilahi, menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kekuatan, kebesaran dan karisma mereka terbentuk dari seberapa besar Social Submission (Pengabdian) mereka untuk mewujudkan masyarakat yang ideal dan betul-betul diridhai-Nya. Maka sosok ulama selalu menajdi figur yang dicintai, disayangi, dirindukan dan didambakan.

Hal inilah yang dalam konteks ke-Indonesiaan, menarik hati para aktivis-aktivis politik untuk mrekrut para ulama sebagai Selling point bagi partai-partai politik mereka. Daya jual para ulama pun akhirnya sangat tinggi dan akan bertambah tinggi lagi harga ulama yang kaliber kekiaiannya lebih tinggi. Maka tidaklah heran kalau sebuah partai politik merasa cukup dengan memanjakan seorang ulama karena satu asumsi “Mun Beunang Huluna, Pasti Beunang Buntutna”. Dan hampir bisa dipastikan, bahwa pada saat suhu politik meninggi, masa kampanye misalnya, frekuensi kehadiran ‘tamu’ bagi para ulam,a meningkat tajam. Bermacam-macam ‘buah tangan’ dibawa untuk menundukkan hati mereka.

Fenomena seperti ini nampaknya harus segera diluruskan, dan ulamalah yang harus berperan dalam pelurusan itu. Fenomena semacam ini menggambarkan asumsi bahwa ulama ‘menguasai’ umat, dan umat akan Samina Wa Atha’na kepada ulama. A kata ulama, A juga kata umat, pilih B kata ulama, maka B juga pilihan umat. Kata’menguasai’ selalu memunculkan konotasi yang negatif, contohnya suami menguasai istri atau sebaliknya, orang tua menguasai anak, pemimpin menguasai rakyat, guru menguasai murid dan seterusnya. Berbeda dengan kata ‘memiliki’ yang selalu identik dengan menyayangi, menjaga, mengayomi dan melakukan apaun untuk membuat senang orang-orang yang dimilikinya.

Manis Tapi Bau, atau Pahit Tapi Harum

Kedekatannya para ulama dengan umara yang tidak didasari niat suci, atau ekspresi berlebih dalam partisipasi berpolitik mereka, dalam beberapa dekade telah memunculkan kecemburuan, bahkan sampai tahap kehawatiran di kalangan umat. Pada tahap selanjutnya, tak terbendung lagi umatan-umpatan keluar dari mulut umat, mulai dari yang baisa-biasa saja sampai sumpah serapah, dan… inilah yang disebut Desakralisai Ulama.

Mencintai dan memiliki harta adalah Lawazim Al-Hayat atau kemestian hidup, tak terkecuali bagi para ulama. Bahkan pada batasan-batasan tertentu para ulama haruslah menampilkan dirinya --seperti Abu Bakar, Utsman, Imam Maliki atau Imam Hanafi-- Sebagai orang kaya karena kerja jujur dan ilmu yang mereka miliki. Namun kaya bukanlah tujuan, ia hanyalah sebagi sarana yang mengantarkan kepada tujuan hakiki yaitu keridhaan Allah.

Namun rasanya, sulit sekali membedakan kekayaan yang menjadi ‘tujuan’ dan mana yang menjadi “sarana” di kalangan para ulama. Kedekatan mereka dengan umara karena tujuan materi-duniawi sering menimbulkan kesan ‘bau’ pada mereka, apalagi umat --dewasa ini-- jauh lebih cerdas membaca interest dari ‘kemesraan’ di antara kedua lembaga tadi. Ujung-ujungnya korp keulamaan tidak lagi sakral dan anti kritik (Uncrtiicable), dan inilah yang dikhawatirkan terjadi.

Agak sulit juga rasanya, pada masa-masa sekarang ini, menacari figur-figur ulama yang kokoh di ‘singgasana’ pesantrennya, laksana singa yang menjaga hutannya (Kal Laits Mani’a Ghabihi). Mereka tidak tertarik dengan hingar bingar dunia politik karena sibuk mencerdaskan dan menggodok santri-santrinya sebagai tunas dan cikal bakal ulama-ulama penerus mereka. Kalaulah ada, pastilah mereka itu ‘Pahit’ dalam keterasingan, terisolasir di dunia luar, tapi yang pasti, mereka ‘manis’ di mata umat.

Namun patut untuk tidak dilewatkan, bahwa peran ulama dalam dunia politik di Indonesia, telah sangat banyak menyumbang ‘Saham’ positif. Tampilnya mereka di panggung politik atau keterlibatan mereka di ‘ring’ kekuasaan telah membawa semilir angin yang ‘harum’ dalam tatanan kehidupan masyarakat. Mereka mendapatkan apa yang selayaknya mereka dapatkan, rizki yang halal dan nama baik yang terjaga. Maka pilihan mereka adalah pilihan yang ‘manis’ juga ‘harum’ tipe inilah yang menjadi dambaan umat. Mereka telah berhasil berperan sebagai Symbol Of Morality And Social Giuide Lines.

PENUTUP

Laju dari arus desakralisasi ulama ini, sebetulnya bisa diperlambat , bahkan dihentikan seandainya para ulama kembali meluruskan visi dan misi mereka dalam rangka mengemban tugas mulia, menciptakan suasana nyaman di hati umat. Mengabdi kepada masyarakat ‘bawah’ (umat) pasti jauh bernilai lebih dibandingkan merapat ke ‘atas’ (kekuasaan). Dengan demikian akan terjalinlah rasa saling memiliki yang murni, hakiki, tulus dari hati nurani antara ulama dengan umatnya. Tulisan ini --sekali lagi— merupakan ‘surat cinta’ yang merupakan hasil perenungan, yang kemudian diharapkan menjadi bahan perenungan semua pihak, terutama bagi para aktivis politik yang selalu memanfaatkan figur ulama bukan lagi sebagai ‘guru’, tapi sebagai ‘alat kepentingan’

Wallahu A’lam

Asep M. Tamam M. Ag., dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dpk pada IAIC Cipasung, juga mengajar di STAI Tasikmalaya.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO