Minggu, 21 Desember 2008

MENIKMATI HIDANGAN SPIRITUAL DARI MEMBACA DAN MENULIS

Oleh : Asep M. Tamam

Membaca Sebagai Konsep Hidup, Bukan Sekedar Hobi

Mutawatir, demikian menurt Dr. Yusuf al-Qardlawi dalam Al-Hayat Al Rabbaniyah wa al 'ilm, setelah menelusuri berbagai riwayat tentang kata “iqra” sebagai kata pertama dari 77.000 kata yang diturunkan Allah selama 23 tahun.

Iqra!”, “Bacalah!”, adalah juga perintah pertama dari ratusan kalimat perintah yang bertebaran di dalam mushaf mulia Al-Qur’an. Kata “bacalah!” turun terlebih dahulu sebelum perintah “dirikanlah Shalat!”, “bayarlah zakat!”, “berjihadlah di jalan Allah!”, “bersedekahlah!”, “bersabarlah!”, “bertaubatlah!” dan lain-lain. Dan perintah “bacalah!” ini diulang lagi menjadi dua kali sebelum ayat-ayat perintah lainnya turun sambung menyambung.

Dalam bahasa Arab, kata Iqra --demikian Quraish Shihab dalam Al-Misbahnya-- bermakna menyampaikan, menelaah, membaca, meneliti dan mengetahui ciri-ciri sesuatu. Selanjutnya Abdul Halim Mahmud (mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar, Mesir) memberikan pemahaman bahwa kata iqra dalam Surat Al-‘Alaq ini tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi ‘membaca’ adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik aktif maupun Pasif. Maka perintah iqra yang kedua (Al-Alaq ayat 3) memberi pengertian bahwa aktivitas positif ini harus dilakukan berulang-ulang dan lebih banyak lagi.

Dalam sirahnya, Rasulullah pernah meminta tawanan perang Badar yang ingin menebus dirinya agar mengajar cara membaca dan menulis kepada sepuluh orang muslim. Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca, menulis dan belajar merupakan kebutuhan primer bagi umat manapun yang ingin bangkit, maju dan meningkat.

Lihatlah Zaid bin Tsabit, dia adalah contoh sahabat yang mengungguli sahabat-sahabat lainnya hanya karena ia pandai membaca dan menulis. Pada usianya yang ke 13, ia menjadi sekretaris Nabi, penulis wahyu dan penerjemah bahasa Suryani dan Ibrani. Tengok juga Abu Hurairah dan kekuatan hafalannya, dalam rentang waktu hanya 4 tahun saja, ia meriwayatkan 5.374 hadits. Ia mengatakan “Tidak ada sahabat Nabi yang hafalannya melebihi aku”, namun ia melanjutkan, “Kecuali Abdullah bin ‘Amr, sebab ia pandai membaca dan menulis, sementara aku tidak”.

Dalam buku iqra la budda an taqra, al-Raqhib al-Sirjani mengabadikan tokoh-tokoh legendaris muslim yang mendedikasikan hidupnya untuk membaca, sungguh mencengangkan! Tokoh-tokoh ini telah menjadikan aktivitas membaca bukan lagi sebagai hobi, tapi bahkan sebagai konsep hidup, sebagai kebutuhan yang melebihi kebutuhan mereka akan sandang, pangan dan papan.

Sebut saja syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah yang ketika sakit keras ia tetap membaca. Kondisi jiwanya semakin kuat justru ketika membaca. Dokter pribadinya pun lantas angkat tangan karena sang Syaikh bandel dan tak mempedulikan sarannya untuk istirahat. Muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah pun demikian, walaupun telah membaca lebih dari 20.000 jilid buku, ia masih tetap ‘kelaparan’ dan ingin melahap buku lebih banyak lagi. Kemudian Ibnu ‘Uqail, murid Ibnu Qayyim, bahkan merasakan hasrat dan gairah membacanya justru bertambah ketika usianya sudah lebih dari 80 tahun.

Abu Thahir al-Hamawi lain lagi ceritanya, kecintaannya akan membaca membuat dia sangat mencintai buku-bukunya, dia tidak rela meskipun buku-bukunya itu harus ditukar dengan emas walaupun dengan berat yang sama. Untuk memperoleh buku, bahkan al-Fairuz Abadi pernah menjual emasnya seharga 50.000 dinar. Kisah lainnya diperagakan Abdullah bin Mubarak, ia lebih suka menyendiri untuk membaca daripada bergaul dengan sahabat-sahabatnya, ia berkata, “Aku tidak pernah kesepian karena aku sedang bersama (buku yang mengisahkan) Rasulullah dan sahabat-sahabatnya".

Kalaulah Ibn Daqiq al-‘Id sering meninggalkan shalat sunat karena sibuk membaca, maka al-Jahizh sering menyewa toko buku dan menginap di sana. Kalaulah Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Umar bin Khattab suka membaca buku di kuburan, maka Zubair bin Abu Bakar menolak berpoligami, ia lebih suka berpoligami dengan buku (menganggap buku sebagai istri kedua, ketiga dan seterusnya). Kalaulah Hasan al-Lu’Lu’i selama 40 tahun istirahat siang dan tidur malam selalu meletakkan buku di dadanya, atau Ibnu Jaham yang terbiasa mengusir kantuknya dengan membaca buku, maka Abdul Ghani al-Muqaddasi sampai rabun matanya karena terlalu banyak membaca.

Buku iqra la budda an taqra ini, meski tidak merinci tahun kelahiran dan wafat tokoh-tokohnya, tapi memberikan informasi penting bahwa saat ini, jumlah buta huruf di dunia Islam mencapai 37%, ia juga membeberkan data bahwa setiap tahunnya, rata-rata orang jepang membaca 40 buku, orang Eropa membaca 10 buku, dan orang Arab hanya 200 lembar saja, maka pantaslah kalau ada salah satu universitas di negara Arab yang 72% lulusannya tidak pernah meminjam satu bukupun di perpustakaan kampusnya. Kalau demikian halnya di negara Arab, maka timbul pertanyaan, berapa lembarkah yang dibaca oleh rata-rata orang Indonesia dalam satu tahun ?? berapa persenkah jumlah mahasiswa yang lulus kuliah, tetapi tidak pernah meminjam satu pun buku di perpustakaan kampus ??

Membaca Untuk Menulis

Sayyidina Ali, RA. Berkata “Tulisan adalah tali pengikat Ilmu”. Ibnu Hajar al-‘Asqalani membenarkan pendapat ini, ia pernah sangat menyesal ketika lupa tidak menuliskan catatan tafsir dari satu ayat dalam al-Qur’an dan kemudian murid-muridnyalah yang berusaha menuliskan tafsiran ayat itu.

Tradisi menulis, dalam dunia Islam sangat erat hubungannya dengan tradisi membaca dan menghafal. Al-Farabari pernah menginap di rumah Imam Bukhari, pada malam itu al-Farabari menghitung Imam Bukhari bangun sebanyak 18 kali untuk mengingat-ingat sesuatu yang akan ia tulis. Setiap malam pula Imam Syafi’i menyalakan lampu untuk menuliskan buah fikirannya.

Buadaya tulis ini, sampai beberapa abad lamanya, telah menjadi gerakan massif dalam sejarah Islam. Jutaan buku telah menghiasi perpustakaan Islam di Baghdad, Kordova (Qurtubah), Sevila (Isybilyah), Granada (Gharnathah), Kairo, Damaskus, Tripoli, Madinah dan al_Quds (Palestina).

Namun sayang, di dunia Arab, walaupun saat ini budaya tulis terus berlangsung, namun masih jauh ketika dibandingkan dengan dunia Barat. Dr. Syukron Kamil, dalam sains dalam islam konseptual dan islam aktual, mencatat data pada tahun 1976, bahwa dari 352.000 karya tulis ilmiah di dunia, hanya 3.300 saja yang dihasilkan dunia Islam, kalah oleh Israel saja yang menghasilkan 6.100 karya tulis.

Di Indonesia, saat ini masyarakat lebih memilih budaya mendengar daripada budaya membaca dan menulis. Ribuan jamaah mengikuti ceramah ‘da’i sejuta umat’, tapi membiarkan tulisan-tulisan bermutu tergeletak tak pernah disentuh. Di kalangan mahasiswa pun budaya positif menulis masih menjadi barang yang ‘aneh’. Tidak banyak dari mereka yang mau dan mampu mengaktualisasi dan mengekspresikan gagasan-gagasan dan pengetahuan-pengetahuan hasil baca mereka dalam bentuk karya tulis. Bahkan dari kota-kota besar sampai pelosok-pelosok daerah, dari beribu-ribu dosen yang tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, hanya sedikit saja yang aktif dan produktif menuliskan gagasan dan ide-ide mereka. Jurnal-jurnal ilmiah masih terbilang jari dan yang mengisi kolom-kolomnya pun terkadang itu-itu juga.

menikmati dimensi spiritual dari membaca dan menulis

Petualangan menelusuri kehidupan para tokoh legendaris yang hidup beberapa waktu yang lampau, di tempat nun jauh di sana, bagi kita di sini, yang hidup di jaman ini, pastilah menyumbang --sedikit banyak-- daya gugah. Kemampuan dan kemauan mereka dalam mendayagunakan potensi baca dan tulis sungguh jauh di luar batas jangkauan nalar kita.

Kita yakin, kemampuan fisik mereka terbatas, sama ketika kita mencoba dalam seminggu saja, begadang untuk membaca buku dan melakukan aktivitas positif lainnya, setelah itu kita pasti kelelahan atau bahkan sakit karena kurang istirahat. Tapi hal itu tidak berlaku bagi mereka. Lantas, apa dan di mana letak perbedaannya ?

Jawabnnya ada dalam ‘dimensi spiritual’. Seperti halnya kita, mereka pun membaca dan berkarya. Tapi selera, semangat, kecintaan, dan kehausan mereka untuk mencari, mengejar, mendapatkan dan mentransformasikan ‘ilmu’ ditunjang oleh ‘dimensi Spiritual’ yang unlimited. Kita tidak akan pernah mampu membaca sampai 20.000 jilid seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, atau menulis karya ratusan jilid seperti Ibnu Uqail, Ibnu Hubaira, al-Dauli, al-Najjar, al-Kindi, al-Maqrizi, al-Suyuthi, al-Nawawi, al-Shafadi dll, karena ‘dimensi spiritual’ kita ketika membaca atau menulis, mungkin kosong atau defisit. Dr. Thaha Husein, sastrawan besar di Mesir menyinggung kita….” Sering kali kita berlama-lama membaca hanya untuk menghabiskan waktu bukan untuk menyuplai makanan pada akal, nurani, dan hati. Di samping itu, kita acap kali berlama-lama membaca, hanya untuk mengundang kantuk, bukan menghindari tidur”.

penutup

Dengan hadirnya musykil edisi ke-empat, bulan April ini, seluruh civitas akademika STAI mesti bersyukur dan optimis, karena langkah ini merupakan upaya berbagai pihak untuk selain merangsang aktivitas dan produktivitas para dosen dan mahasiswa dalam mensyi’arkan baca dan tulis di lingkungan kampus tercinta, juga dalam rangka lebih menghidupkan iklim ilmiah kampus yang sejak beberapa bulan ke belakang geliatnya sudah terasa. Tapi penting diingat, upaya untuk menghadirkan selera baca tulis yang tinggi, harus diawali dengan upaya semua pihak untuk menyiapkan dimensi spiritual yang kuat.

Wallahu min wara al-qashd’

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO