PARA CALEG KITA 'MENJUAL DIRI'
Oleh: Asep M Tamam*
Sekarang ini ‘atap’ dan ‘dinding’ jalan raya kita ‘dikotori’ spanduk dan baliho caleg. Bagi tukang becak, foto dan nama yang terpampang adalah calon gegeden. Bagi sopir angkot yang levelnya lebih berkelas, para caleg di spanduk dan baliho adalah ‘caleb’ alias calon seleb(ritis) yang elitis. Bagi para caleg lain yang tak bermodal, pemampangan itu hanya milaraan saja. Sedangkan bagi penulis sendiri, spanduk dan baliho itu mereka pampang dalam rangka ‘menjual’ diri.
Dari berbagai perjalanan, penulis iseng-iseng memperhatikan foto para calon yang ingin numpang beken itu. Ternyata lucu juga, ada yang serius dengan jas dan dasi, ada juga yang santai dengan jaket atau baju koko saja.
Lagi-lagi musim politik
Ya, genderang kenduri politik di negeri ini sudah mulai ditabuh. Berarti, warung-warung kampung, setiap pengkolan jalan, pos-pos ronda, sampai pojokan mesjid kembali menjadi ajang ‘ngompol’ (ngomong politik) warga. Dari luar ring, kita bisa merasakan degup jantung para caleg mengencang, mereka berdebar-debar laiknya calon mempelai yang siap di’jatukrami’
Tak ketinggalan, barisan tim sukses dan avounturis partai mulai bergerilya dan menanam opini dukungan terhadap calon yang didukung. Opini itu selanjutnya disemai di tiap pori-pori kampung. Mereka mencari orang-orang bodoh yang setiap hari dikibuli, yang hanya dengan sepotong roti mau-mau saja diakali. Mereka adalah rakyat kecil yang setiap saat dijadikan ‘mangsa’ dan mulutnya seolah menganga, laksana ikan-ikan di kolam restoran yang lapar menunggu dilempari tulang-tulang daging oleh para tamu pengunjung.
Menjadi anggota dewan, nampaknya menjadi cita-cita tertinggi. Kaum muda dan orang tua, laki-laki dan perempuan, ilmuwan, hartawan sampai agamawan semuanya tergiur oleh madu politik yang nyata-nyata sudah terbukti menyebarkan racunnya. Merosotnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif tampaknya tidak dipedulikan caleg-caleg ini. Berjamaahnya anggota dewan dari mulai pusat sampai daerah masuk ke ‘hotel prodeo’ tidak menyurutkan langkah mereka untuk merebut jatah kursi idaman itu. Bagi mereka, jadi anggota dewan menjanjikan popularitas dan kekayaan.
Lihainya politikus atau bodohnya rakyat?
Pembelajaran demokrasi yang secara resmi dimulai semenjak lengsernya kekuasaan orde baru nampaknya masih jauh dari target. Demokrasi yang sejatinya berwujud kedaulatan rakyat masih sulit untuk mengalahkan kekuasaan uang. Demikian juga apatisme masyarakat terhadap dunia politik yang cenderung manipulatif selalu saja berubah menjadi fanatisme manakala uang disawer melalui tim sukses dari mulai kelas kacang sampai kelas professional. Virus fanatisme berbasis uang inilah yang selama ini menjangkiti masyarakat kita.
Fenomena di atas menggambarkan wajah perpolitikan kita di tingkat bawah. Begitu mudahnya rakyat menentukan pilihan hatinya, sesaat setelah mendapat sesuatu dari ‘Robin Hood’ yang datang dan membagi-bagi ‘isi amplop’. Bagi mereka, Rp. 20.000 begitu berarti dan seakan bisa menghidupi diri dan keluarganya seumur hidup. Di balik itu dan setelah itu mereka tidak peduli lagi ‘what’s going on’.
Politik dan uang
Untuk menjadi caleg misalnya, seorang calon harus merogoh kocek sebagai modal untuk mendaftar ke partai yang dipilih. Ini biaya wajib yang kisaran nominalnya beragam. Namun ada biaya lain di luar biaya itu, yang membuat kita berkerenyit dahi bila membandingkan nominalnya dengan gaji, tunjangan termasuk potongan yang didapat perbulan bila nantinya terpilih.. Biaya itu adalah modal untuk meraih simpati masyarakat pemilih yaitu uang, spanduk, brosur, kaus, iklan di koran dll. Namun kita tak menafikan adanya beberapa di antara calon yang betul-betul tidak punya modal untuk ‘menjual’ dirinya kepada masyarakat dan kemudian mereka hanya mengandalkan pendekatan dari hati ke hati. Soal menang dan kalah urusan belakangan.
Jabatan dalam perspektif agama
Menyimak apa yang telah, sedang dan akan terjadi, ternyata syahwat para elit politik kita akan jabatan sangat besar. Buktinya, untuk caleg 2009 nanti, aktor senior masih banyak yang ingin terus maju, sementara artis pendatang baru sudah mulai memperlihatkan wajah barunya dan siap meramaikan persaingan.
Andai semua caleg tahu, agama sangat ketat mengajarkan umatnya berkenaan dengan ajaran tentang jabatan ini. Rasul saw. bersabda, “sungguh kalian akan mengharapkan suatu jabatan, padahal sesungguhnya jabatan akan menjadi penyesalan di hari kiamat nanti (HR. Bukhari). Beliau juga melarang para sahabatnya, sekali lagi para sahabatnya yang tidak kita sangsikan kesalehannya, untuk tidak berambisi mengejar kedudukan atau jabatan. Al- Mawardi dalam al- ahkam al- sulthaniyah, juga As- Sayyid Nada dalam mausu’ah al- Akhlaq al- Islamiyah, atau Said bin Ali al- Qahthani dalam al- Imamah fi al- Shalah, atau juga Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, secara panjang lebar menjelaskan larangan mengejar jabatan ini. Maka Rasul pun bersabda, “Demi Allah, sungguh kami tidak memberikan kepemimpinan kepada orang yang memintanya dan kepada orang yang menginginkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Uang politik, suap atau suap?
Suap, menurut Syaikh Ahmad at- Thawil dalam buku al- Hadiyah bainal halal wal haram (benang tipis antara hadiah dan suap) adalah “memberikan sesuatu kepada seseorang untuk sebuah keinginan dengan adanya tuntutan, syarat dan timbal balik.” Berbeda dengan suap, hadiah adalah “memberikan sesuatu kepada seseorang untuk menjalin tali persahabatan dan mengharapkan pahala tanpa adanya tuntutan, syarat dan timbal balik.” Dalam Islam, memberi, menerima dan membalas hadiah sangat dianjurkan. Begitu banyak hadits yang berkenaan dengan kebaikan tahadi (saling memberi hadiah) ini. Lain halnya dengan hadiah, suap adalah perbuatan yang mengundang murka Allah. “Laknat Allah kepada pemberi dan penerima suap.” Demikian sabda Rasul.
Mari kita cermati secara seksama, uang, sembako dan kebaikan-kebaikan yang dilakukan atau diberikan oleh politisi-politisi kita, langsung ataupun lewat tim sukses, pada suasana dan suhu politik sedang menghangat, apakah murni dari lubuk hati ataukah ada udang di balik batu? Apakah ikhlas atau karena ada mau? Kalau karena ada udang di balik batu dan ada mau, maka pelanggaran yang dilakukan sungguh jauh melampaui ajaran suci dari hadits-hadits nabi tadi. Maka bahasanya pun lantas meningkat dari ‘membeli jabatan’ menjadi ‘menyuap untuk jabatan’.
Memilih yang halal saja
‘Kesibukan’ para peminat kursi panas politik 2009 mulai terbaca. Bagi penulis, tulisan ini tidak bermaksud menggeneralisasikan opini dan asumsi bahwa semua caleg melakukan acara ‘bagi-bagi rizki’ ketika suhu persaingan semakin meningkat. Tidak! masih banyak politisi-politisi kita yang masih bermental baja, yang kuat dan kokoh dalam menjaga niatnya untuk menyalonkan sampai mengampanyekan diri, yaitu dengan niat berdakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar dan mereka meyakinkan diri bahwa ‘saya maju karena saya mampu’, bukan karena ‘saya punya’.
Dalam menafsirkan perkataan nabi Yusuf “jadikan aku bendaharawan Negara!” (QS. Yusuf [12] :55), M. Quraish Shihab, dalam al- Misbahnya menuturkan, “Ayat ini menjadi dasar untuk membolehkan seseorang mencalonkan diri guna menempati suatu jabatan tertentu atau berkampanye untuk dirinya, selama motivasinya adalah untuk kepentingan masyarakat, dan selama dia merasa dirinya memiliki kemampuan untuk jabatan itu.” Namun masalahnya, berapa persenkah caleg yang sudah membulatkan tekadnya untuk hanya memilih yang halal saja? Yang siap maju tanpa ‘membeli’ dan menyuap? pada saatnya nanti, jawabannya akan sama-sama kita tunggu.
*dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya
Posting Komentar