MUI ANTARA HARAPAN DAN KEHAWATIRAN
Oleh : Asep M Tamam*
Senin, 26 Mei 2006, kepengurusan MUI
Ulama, adalah gelar yang tak gampang disandang sembarang orang. Ia adalah anugerah Allah yang disematkan kepada seseorang yang setiap helaan nafasnya adalah ilmu, bahkan tak cukup hanya ilmu, ortopraksi atau kesalehan vertikal dan sosial pun tidak kalah pentingnya. Maka penulis percaya, 101 orang yang telah dilantik ini adalah mereka yang bisa mewakili ilmu dan kesalehan vertikal dan sosial warga
Ulama sebagai harapan
Sekali lagi, tidaklah mudah mendapat gelar ulama, ia adalah sejarah, dan sejarah telah bersaksi bahwa dari zaman ke zaman, ulama bagaikan mutiara di antara gundukan pasir, batu dan lumpur. Ia adalah kejora dari milyaran bintang tak bernama. Ia laksana oase dari sebuah sahara luas tak berbatas. Ia bagaikan mata air yang tanpa lelah meneteskan tetesan-tetesan air kehidupan. Maka tidaklah mengherankan kalau kehadiran atau ketidak hadiran ulama di satu daerah menjadi gambaran tentang kekayaan atau kehampaan spiritual daerah tersebut.
Dalam buku sirat al- Shahabah (2003), DR. Musthafa Murad menyitir ucapan Mu'adz bin Jabal sebagai berikut : " Ulama adalah manusia pilihan...dalam setiap kebaikan dia ada di depan...serumit apapun persoalan dia selalu jadi jawaban...ucapnya jadi ikutan...langkahnya jadi teladan...bagai rembulan...kehadirannya selalu jadi harapan…"
Kalaulah Heppy Andi Bastoni menulis buku 101 kisah tabiin (2007), maka jumlah 101 pengurus MUI kota Tasik juga diharapkan menjadi representasi kehidupan, perjuangan dan keteladanan101 tokoh tabiin yang terbukti, hidup mereka didedikasikan demi menjaga dua objek risalah, yaitu ilmu dan umat.
Ulama di tengah kehawatiran
Dalam dekade terakhir ini, dunia kepustakaan di
Buku-buku ini pastinya ditulis tidak tanpa sebab, buku-buku ini pasti hadir stelah perenungan dan pendalamam yang seksama dari para penulisnya terhadap perubahan paradigma, misi dan orientasi para ulama. Juga pastinya, buku-buku ini dihadirkan atas landasan cinta yang mendalam terhadap ilmu dan ulama.
Politik Indonesia pasca reformasi, nampaknya merupakan faktor terbesar yang merubah paradigma perjuangan politik para ulama. Alih-alih ingin membersihkan lantai politik dari sampah kotornya, ulamalah yang malah terkotori. Dunia ulama yang sepanjang sejarahnya selalu memberikan gambaran jujur, shaleh, bersih dan berorientasi kebenaran, diyakini tidak akan tersambung dengan dunia politik yang selalu identik dengan intrik, adu domba dan berorientasi kemenangan. Oleh karenanya, sebagai pribadi, penulis sering merasa risih dan hawatir ketika membaca, atau menyaksikan langsung para ulama yang berderet, dipajang di panggung kampanye PEMILU atau pemilihan kepala daerah (PILKADA).
Penulis juga, selama beberapa tahun ke belakang membaca denyut nadi masyarakat Tasik, dari rakyat jelata sampai pengacara, dari teman sejawat sampai pejabat dan wakil rakyat, yang secara umum masih dan selalu menggantungkan harapan yang tinggi bahwa entitas keulamaan akan selalu menjadi symbol of moral and spiritual guidelines, penjaga keseimbangan kehidupan umat. Namun ketika entitas keulamaan dihubungkan dengan konteks politik, maka penilaian mereka berubah menjadi kehawatiran. Dan, meskipun hawatir selalu identik dengan cinta dan sayang, --seperti orang tua yang hawatir akan keberadaan anak-anaknya, atau anak-anak yang hawatir kepada orang tuanya-- hawatir juga kadang identik dengan rasa takut, maka sah-sah saja kalau umat takut ulama terjerumus ke dalam sisi negatif dunia politik.
Andai ulama netral
Dalam buku al-khilafah wa al- Mulukiyah, sayyid Abul A'la al- Maududi mempolarisasikan kepemimpinan umat Islam pada masa Daulah Bani Umayah dan daulah Bani Abasiyah menjadi dua; kepemimpinan rakyat dipegang para penguasa, sementara kepemimpinan agama dipegang para ulama. Ulama, pada dua masa ini --karena situasi sosial-politik yang menghendaki-- memiliki posisi terpisah dari penguasa. Mayoritas ulama akan menolak bergabung di istana ketika mereka diminta, walaupun sebagai konsekwensinya mereka dihukum, disiksa atau bahkan dibunuh.
Pendapat ulama legendaris asal Pakistan ini nampaknya tidak mungkin terjwujud di indonesia. Sekarang ini, kita sulit mencari figur ulama yang tidak berpolitik. Euphoria dunia politik menyuguhkan selera yang sangat tinggi bagi para ulama negeri ini.
Sambutan walikota Tasikmalaya dalam pelantikan pengurus MUI agar para ulama tidak berpolitik praktis seharusnya tidak verbalistis, tapi walikota bersama umat Islam kota Tasik harus terus mendorong independensi, imparsialitas dan netralitas para ulama dalam dunia politik. Netralitas para ulama dalam ajang politik adalah impian terdalam umat pada dunia keulamaan. Di sisi lain, kehadiran, kedekatan dan kemesraan para ulama dengan umat akan menjadi pemandangan yang paling indah dalam konteks keulamaan.
Penutup
Tulisan ini, tidak lebih merupakan ungkapan tanggung jawab salah seorang anggota umat Islam kota Tasik terhadap lembaga keulamaannya yang baru saja dilantik. Tulisan ini juga –walau tak bermakna-- diharapkan menyumbang arah bagi perjalanan panjang MUI kota Tasik yang diimami KH. Achef Noor Mubarak, ulama muda enerjik yang kebetulan cukup dekat penulis kenal.
*Asep M. Tamam M. Ag. Dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC juga mengajar di STAI Tasikmalaya
Posting Komentar