ULAMA DALAM KEHODUPAN SOSIAL POLITIK
Ulama Dalam Kehidupan Sosial Politik
Oleh: Asep M Tamam*
Dunia keulamaan adalah dunia yang multidimensional dan multi purpose. Tak hanya mengurus hal-hal yang bersifat ukhrawi, para ulama sering pula over leaving masuk ke berbagai wilayah publik, sosial, bahkan politik. Tak ayal, di tiap masanya, para ulama selalu menjadi simbol kultural yang memiliki pengaruh sosial dan legitimatsi moral di tengah-tengah umat.
Dalam bukunya, religion of java, Cliffordz Greetz mengungkapkan bahwa peran sosial para ulama adalah sebagai cultural broker (guru dan penerjemah setiap permasalahan umat), defender of culture (benteng untuk mempertahankan budaya lokal), transmitter of culture (pelestari budaya) dan filter of culture (penyaring budaya dari kontaminasi budaya asing).
Namun keterlibatan para ulama dalam berbagai aspek kehidupan sosial politik dewasa ini, telah menghadirkan kesan yang beragam di kalangan umat. Sebagian ada yang setuju ulama keluar ‘rumah’, sementara yang lainnya menghendaki ulama di ‘rumah’ saja dan concern membina ‘rumah’. Setuju dan tidak setujunya umat ini, pastilah dilatarbelakangi oleh kenyataan, bahwa keterlibatan mereka dalam wilayah sosial politik kadang memberi kesan positif, abu-abu atau bahkan negatif.
Beberapa tipe ulama
Dalam buku kiai dan budaya korupsi di
Penulis, setelah mencermati ‘racikan’ Gus Mus tentang ulama ini ingin mencoba menafsirkannya sesuai dengan hasil ‘bacaan’ penulis akan fenomena sosial politik para ulama di Indonesia dewasa ini.
Tipe ulama yang pertama adalah ulama produk masyarakat. Mereka adalah para ulama yang dengan ikhlas, siang dan malam memperjuangkan kepentingan umat dan kemuliaan ilmu. Credo atau pengakuan umat terhadap ortopraksi (kesalehan) vertikal dan horizontal para ulama tercermin dengan berbondong-bondongnya generasi demi generasi yang dipercayakan pengasuhannya di pesantren-pesantren yang mereka pimpin. Ketinggian ilmu dan kemantapan mental mereka terpancar dari tingkah laku, ucapan dan keteladanan. Merekalah ulama-ulama dambaan umat karena lahir, dibesarkan dan pada akhirnya membesarkan masyarakat.
Tipe kedua adalah ulama produk pemerintah, yakni entitas keulamaan yang sengaja dibentuk oleh pemerintah yang berfungsi sebagai legitimasi sosial keagamaan bagi kebijakan-kebijakan pemerintah. Tipe kedua ini mengingatkan kita kepada para ulama besar jaman dahulu di mana mereka ditawari, diminta, dirayu sampai dipaksa ikut bergabung bersama-sama di istana. Sebagian dari mereka menerima dan sebagian besar yang lainnya menolak dengan resiko dikucilkan, diinterogasi, diancam, dihukum sampai dibunuh. Bagi mereka yang menerima ajakan penguasa, sebagian hidup sejahtera karena punya kecenderungan duniawi berlebih dan sebagian besar yang lainnya dekat dengan penguasa demi misi amar ma’ruf nahi munkar, mendukung aksi-aksi baik pemerintah dan menahan aksi-aksi jahatnya. Di Indonesia, tidak sedikit para ulama yang bergaul dengan penguasa hanya untuk mengambil keuntungan semata, sementara sebagian besar lainnya merapat demi memberi arah positif, mengingatkan dan menasehati. Dengan demikian posisi ulama ada di atas, tidak equivalent apalagi ada di bawah penguasa.
Tipe ketiga adalah ulama produk pers, yaitu tipe ulama yang sudah cukup lama menjadi fenomena menarik di negara ini. Kang Jalal (Prof. Dr. Jalaluddin Rachmat) dalam sambutannya pada buku Ajengan Cipasung karya Iip D. Yahya menyebutnya ‘kiai pop’. Tanpa harus menyebut nama, pembaca pasti kenal benar siapa saja mereka. Mereka adalah selebriti-selebriti negeri ini yang tampil dalam balutan busana yang berbeda. Inilah yang di satu sisi memberi warna positif tentang fleksibilitas Islam, bahwa Islam kaffah untuk segala jaman dan segala pergaulan. Mereka menjadikan Islam betul-betul up to date. Mereka telah melahirkan paradigma ‘yang muda yang berdakwah’ dan ‘kaya dengan berdakwah’. Tapi di sisi yang lain, prematuritas mereka dalam menggapai popularitas dihawatirkan tidak seimbang dengan kematangan ilmu, mental dan spiritualitas seperti ulama-ulama pesantren. Kehawatiran lainnya adalah keberadaan Islam akan semakin permissif. Segala serba boleh dan serba mudah. Namun kita berhusnuzzhan, mereka akan terus mempertebal keyakinan dan meluruskan niat sehingga mereka tidak easy come easy go.
Tipe keempat adalah tipe ulama produk politisi. Tipe ulama seperti inilah yang dewasa ini di beberapa daerah selalu mewarnai perjalanan kisah pilkada dan pemilu. Partisipasi yang berlebih dari para ulama melahirkan bahasa profane di kalangan umat. Desakralisasi ulama dimulai dari sini, di mana umat tidak lagi manghormati dan menghargai entitas keulamaan. Tapi pastinya, itupun hanya sesaat terjadi dan dalam batas-batas yang wajar. Bisa jadi, bahasa profane itu terlontar dari mulut orang awam yang hanya menilai dari hal-hal lahiriyah saja, atau dari mereka yang tidak melibatkan agama dalam berpolitik. Wallaahu a’lam.
Yang kelima adalah tipe ulama produk sendiri, yaitu mereka yang memiliki ambisi berlebih untuk mengejar target-terget duniawi dengan mengandalkan kepandaian bicara, keterampilan meyakinkan orang dan kemahiran memobilisasi
Penutup
Bagaimanapun juga, dunia keulamaan adalah dunia yang unik, yang dari hari ke hari entitas, kualitas dan kuantitasnya semakin bisa menyesuaikan diri dengan dimensi sosial politik dunia modern. Tantangan para ulama ke depan tentunya semakin komplek seiring dengan perubahan dan perkembangan paradigma dan hukum sosial yang ada. Namun karena hukum agama pun selalu berkembang, maka para ulama kita akan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan jaman ini, tentunya dengan berpegang teguh pada landasan keagamaan yang lebih dulu mereka akses dari literatur-literatur otoritatif. Bila hal itu bisa diwujudkan, maka tipe-tipe ulama keenam, ketujuh dan seterusnya akan memperkaya hazanah keulamaan negeri ini, tentunya yang konotasinya lebih positif.
Wallahu min waraa al- qashd
*Dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya.
Posting Komentar