Minggu, 21 Desember 2008

zhalimkah kita

ZHALIMKAH KITA ?

Oleh : Asep M. Tamam*

Dalam al-Qur’an, surat Fathir (35) : 32. Allah swt membagi tipologi umat Islam menjadi 3 : zhalim, muqtashid dan sabiq.

Syekh Yusuf Qardhawi, dalam al-hayat al rabbaniyah wa al-‘llm, secara gamblang memberi gambaran bahwa zhalim adalah orang yang terbiasa menunaikan kewajiban-kewajiban dari Allah, tapi terkadang ia melalaikannya, juga terbiasa meninggalkan larangan-larangan Allah, tapi terkadang ia melakukannya. Muqtashid adalah orang yang terbiasa melakukan kewajiban-kewajiban dari Allah, dia tidak berani untuk meninggalkannya, juga terbiasa meninggalkan larangan-larangan-Nya, dan ia tidak berani melanggarnya, sedangkan sabiq adalah orang yang tidak cukup dengan menunaikan kewajiban-kewajiban saja, tapi ia menyempurnakannya dengan amalan-amalan sunat. Ia juga tidak merasa cukup dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, lebih dari itu ia pun meninggalkan syubhat (diragukan halal dan haramnya), makruh dan bahkan sampai meninggalkan hal-hal yang mubah (boleh) yang kalau dilakukan bisa mengantarkannya pada dosa, seperti makan, minum dan belanja yang berlebihan, menegur orang, menuntut hak.dan lain-lain.

Maka pertanyaan yang muncul adalah : di posisi mana kita berada? Jawabannya tergantung kepada kondisi religiusitas kita yang selalu berubah-ubah. Rasulullah bersabda :” Keimanan itu bisa bertambah dan berkurang”, maka ketika keimanan bertambah, boleh jadi kita sampai kepada derajat sabiq , dan ketika keimanan berkurang, maka menurun juga derajat kita menuju derajat zhalim.

M. Quraish Shihab, dalam al-Misbahnya memberikan pemahaman bahwa ketiga tipe muslim dalam surat Fathir ayat 32 ini, adalah gambaran pribadi muslim di sekitar kita. Kesan ayat ini begitu kuat –demikian menurut beliau– karena dalam ayat ini Allah memilih kata ishtafa dan ‘ibad yang keduanya menunjukkan makna positif dan mulya. ishtafa adalah kata yang paling indah untuk arti ‘memilih’, dan ibad adalah kata pilihan yang biasa digunakan untuk arti hamba-hamba yang shalih. Lalu, munculah 3 pertanyaan, pantaskah dua kata yang indah ini, ishtafa dan 'ibad disandingkan dengan kata zhalim? Kenapa kata zhalim didahulukan dari kata muqtashid dan sabiq ? dan zhalimkah kita?

Jawaban dari pertanyaan pertama adalah: sekian banyak riwayat mendukung pendapat yang menyatakan bahwa kendati seorang ‘hamba’ yang ‘terpilih’ itu zhalim, tidaklah berarti akan terjerumus ke dalam neraka. Suatu ketika Rasulullah saw membaca ayat ini, lalu bersabda :” mereka semua dalam satu kedudukan dan semua di dalam surga “ (HR. Tarmudzi). Umar bin Khatab juga pernah membaca ayat ini dan berkata : “yang zhalim di antara kita juga diampuni oleh Allah”. Sahabat-sahabat Nabi yang lain seperti Utsman bin Affan, Abu Darda, Ibnu Mas’ud, ‘Uqbah bin ‘Amr, dan ‘Aisyah ra, kesemuanya berpendapat bahwa yang zhalim juga merupakan penghuni surga. Maka al-Qurtubi dalam al jami' li ahkam al- Quran menyatakan bahwa ayat ini adalah gambaran tentang urutan atau tingkatan penghuni surga.

Jawaban dari pertanyaan kedua adalah: didahulukannya kata zhalim daripada muqtashid dan sabiq __demikian menurut Syeikh Yusuf Qhardawi dan Quraish Shihab__ karena boleh jadi kelompok zhalimlah yang jumlahnya terbanyak, atau didahulukan untuk mendorongnya meraih lebih banyak lagi harapan karena dia tidak dapat mengandalkan apapun selain rahmat Allah.

Sedangkan jawaban dari pertanyaan ke tiga pastilah beragam adanya, tergantung pada perhatian kita terhadap pesan-pesan agama. Seandainya masih banyak kewajiban-kewajiban yang masih kita tinggalkan, atau masih banyak larangan-larangan Allah yang masih kita kerjakan, maka posisi kita pastilah zhalim.

Namun pengakuan diri akan kezhaliman, merupakan hal positif yang harus terus kita jaga. Sebaliknya pengakuan dan perasaan bahwa diri kita bersih dan tidak pernah salah adalah gambaran ketakaburan kita. Bukankah Nabi Adam pernah mengaku bahwa dirinya zhalim ? (Qs. al-A’raf [7] : 23), bukankah Nabi Musa pernah berucap bahwa dirinya zhalim ? (Qs. al-Qashas [28] : 14) atau juga Nabi Yunus yang sama-sama mengakui kezhaliman dirinya ? (Qs. al-Anbiya [21] : 87).

Perasaan dan pengakuan bahwa diri kita zhalim akan menambah dorongan kepada kita untuk lebih khusyu' dan bersungguh-sungguh dalam beribadah dan beramal shalih. Maka pertanyaan terakhir patut kita ajukan : “ kalaulah orang yang terbiasa melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan saja, ketika lalai dan tidak melakukan kewajiban atau melanggar larangan-larangan disebut zhalim, lantas apa gelar bagi seorang muslim yang betul-betul sudah tidak peduli lagi dengan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan Allah ?

WALLAHU A’LAM

*Asep M. Tamam, M.Ag Dosen UIN Bandung, Dpk pada IAIC Cipasung, juga mengajar di STAI Tasikmalaya.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO