Minggu, 11 Januari 2009

Berharap Suci di Hari Fitri


Oleh: Asep M Tamam*

Ahirnya, Ramadhan benar-benar pamit. Ia berkunjung dan setelah menunaikan janjinya, ia kini berangsut pergi. Ia pergi dengan senyuman karena umat Islam sukses mengisi dari A hingga Z-nya dengan penuh khusyuk. Bila ia manusia, betapa ramahnya Ramadhan, betapa bersahabatnya ia karena telah menyertai perjalanan spiritualitas umat yang awalnya bermodal pas-pasan, kini terisi penuh dan siap menyambut esok, sebelas bulan ke depan dengan cukup amunisi.

Ramadhan pamit dengan meninggalkan inspirasi, bahwa dalam segala hal, umat harus melewatinya dengan bersama-sama. Dimulai dengan lapar yang dirasa bersama-sama diakhiri dengan zakat yang menuntut umat untuk merealisasikan keadilan bersama. Allah swt. menghendaki agar kita tidak membeda-bedakan diri, tidak selalu menghendaki perbedaan dan tidak mencari-cari perbedaan. Pelajaran demi pelajaran dari awal sampai akhir Ramadan ternyata menjadi inspirasi bahwa bila ingin maju, umat harus selalu bersatu.

Sebagai ungkapan syukur kepada Allah dan terima kasih kepada Ramadhan, kita telah mengagungkan- Nya (takbir), mengesakan- Nya (tahlil) dan menyampaikan pujian atas nikmat dan anugerah- Nya (tahmid) di malam satu syawal kemarin dan paginya, kita shalat ‘ied dalam suasana penuh keakraban. Keakraban umat yang ditandai sirnanya dendam dan kebencian di hari itu sering mengundang harap, seandainya tiap bulan adalah Ramadhan dan tiap hari adalah idul fitri.

Arti idul fitri, salah tapi benar

selama ini dan sampai hari ini, ada yang salah tapi benar berkenaan dengan penerjemahan kalimat ‘idul fitri’. Hampir kebanyakan kita mengartikan harfiah ‘idul fitri’ dengan ‘kembali kepada kesucian’. Berarti, ‘ied’ diterjemahkan kembali dan ‘fitri’ (fithr) diterjemahkan kesucian.

Mari kita cari atau buka di kamus manapun, entah Arab-Arab, Arab-Indonesia ataupun Arab- inggris. Kata ‘ied’ dan ‘fitri’ pasti diketemukan lain dari terjemahan ‘kembali kepada kesucian’. Terjemahan yang benar adalah ‘ied’ artinya hari raya dan fitri (fithr) artinya berbuka. Maka bila diartikan secara harfiah, idul fitri artinya ‘hari raya berbuka’ di mana hari itu umat Islam di seluruh dunia berhari raya dengan mewajibkan mereka makan-makan dan diharamkan melanjutkan puasa.

Ceritanya begini, penulis masih ingat ketika kuliah di semester lima jurusan Bahasa dan Sastera Arab UIN Jakarta, ada seorang dosen yang menggugat arti harfiah idul fitri di kelas. Ketika itu penulis tak mempedulikan pendapat pak dosen. Barulah ketika penulis kuliah di PPs (Program Pasca sarjana) di UIN yang sama (jurusan yang sama, Bahasa dan Sastera Arab) empat tahun berikutnya, seorang profesor bidang Bahasa Arab, tepatnya Prof. Dr. Bustami A. Ghani menjelaskan sejelas-jelasnya sambil menyebutkan sejumlah kamus yang bisa diakses di perpustakaan kampus. Ketika penulis sampaikan bahwa Prof. Dr. Quraish Shihab selalu mengartikan ‘kembali kepada kesucian’ dalam tulisan-tulisannya, pak Bustami, mantan rektor UIN Jakarta (dulu IAIN) di era 60-an itu menyuruh penulis menyampaikan salam hormatnya buat penulis tafsir al- Misbah itu. Penulis juga disuruh menyampaikan bahwa penerjemahan pak Quraish itu tidak tepat.

Lantas, di mana kebenarannya? Jawabnya, esensi (baca. substansi) idul fitri tak lain adalah kembalinya umat Islam pada jati dirinya, mengenali kembali dirinya sendiri setelah beberapa bulan ditelantarkan dan dibiarkan mengikuti sekehendak nafsunya. Maka bila diartikan ‘kembali kepada kesucian’, idul fitri tidaklah salah meskipun tidak juga tepat.

Terkadang ‘kembali kepada kesucian’ digeneralisasikan bagi segenap umat Islam. Hari itu biasa digelari ‘hari kemenangan’ padahal tidak semua umat Islam tersinari cahaya Ramadhan lalu suci dan kemudian beroleh kemenangan. Bisa kita saksikan sendiri, terutama di jantung-jantung kota, sebagian orang yang mengaku umat Islam justeru mengotori Ramadhan dan mengajak orang rame-rame mengotorinya. Maka kembali kepada kesucian harus dialamatkan kepada mereka-mereka —saja— yang menghidupkan siang dan malam Ramadhan dengan berjihad melawan hawa nafsu, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan- Nya (takwa).

Berharap kembali suci

Suci di hari raya adalah dambaan semua muslim yang berpuasa. Berbagai doa terucap sebagai penguat harapan agar dosa dengan Allah dan dosa dengan sesama tak lagi tersisa. Dalam rangkaian beberapa hari sebelum dan sesudah idul fitri, hp kita berdering lebih dari biasanya. Bagi penulis, mengirim sms menyampaikan tahniah (ucapan selamat) disertai permohonan maaf dan doa-doa kebaikan adalah wisata lebaran dengan paket murah, seratus rupiah.

Beberapa hadits shahih seputar Ramadhan; puasa, shalat malam, dan amaliah lainnya selalu bermuara pada janji-janji pengampunan dosa. Siapa orangnya yang tidak tergiur dengan janji pengampunan dosa? Siapa yang tidak pernah alpa untuk memenuhi janjinya selain Allah ‘azza wa jalla? Untuk itulah Rasulullah saw., para sahabat dan berbagai generasi saleh setelahnya selalu menyibukkan diri, siangnya, malamnya dan seluruh waktunya untuk meraih ampunan Sang Maha Ghafur..

Kita pastinya yakin akan kebenaran janji Allah dan rasul- Nya, “barangsiapa puasa Ramadhan dengan keimanan dan berharap ridha Allah, maka dosa-dosanya yang terdahulu diampuni Allah (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits yang lain Rasul bersabda, “Barangsiapa yang shalat malam di bulan Ramadhan dengan keimanan dan berharap ridha Allah, maka dosa-dosanya diampuni oleh Allah.” (HR. Muslim). “Barangsiapa yang shalat pada malam lailat al- qadr dengan keimanan dan berharap ridha Allah, Allah akan mengampuni dosa-dosanya. (HR. Bukhari Muslim). Hadits-hadits di atas baru sebatas ibadah ritual antara hamba dengan Tuhannya. Dari dimensi sosial, Ramadhan dan idul fitrinya juga kental dengan rangkaian pembersihan dosa adami. Saling bersalaman (mushafahah atau ta’aafii), walau sederhana tapi efek positifnya disampaikan Rasulullah, “Tidaklah dua orang muslim bertemu dan bersalaman, kecuali Allah ampuni dosa keduanya sebelum keduanya berpisah.” (HR. Abu dawud). Demikian juga silaturahim (silaturahmi dalam istilah bahasa Indonesia) dan saling berkunjung, pahala besar dan pembebasan dari dosa menanti mereka yang selalu membiasakannya.

Maka lengkaplah sudah, seluruh rangkaian ibadah, mahdhah (langsung dengan Allah) atau ghair mahdhah (dengan sesama) yang melibatkan hati, mata, tangan, kaki, lidah dan semua anggota tubuh di bulan Ramadhan dan diakhiri idul fitri pada hakikatnya adalah rangkaian pembersihan seluruh aspek kemanusiaan manusia, baik di hadapan Allah ataupun di hadapan manusia.

Maka, dengan idul fitri, umat Islam —kita khususnya— telah diberi kesempatan yang sempurna untuk kembali kepada jati dirinya, kembali pada kesucian. Pertanyaan “apakah hari ini saya telah suci?” harus kita arahkan pada diri sendiri karena kita cemas, jangan-jangan kesucian itu menjadi milik orang lain, jangan-jangan kita hanya kebagian lapar dan hausnya saja. Akhirnya, penulis menyampaikan, selamat idul fitri, mohon maaf lahir dan batin. Taqabbalallaahu minnaa wa minkum, akhlash al-tahaanii wa athyab al- tamanniyaat bi’iid al- fithr al- mubaarak.

*dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO