Lailatul Qadr di Malam ke 27, Benarkah?
Bagi siapapun, keindahan Ramadhan lebih dari yang bisa diucap, ditulis dan dibayangkan. Berbagai kesibukan di bulan ini tak henti dan beragam. Semua orang; ulama, guru, karyawan, pedagang, siapapun menyibuki diri, bergerak menuju karunia ilahi, baik lahir (harta) maupun batin (pahala). Kesibukan ini mencapai puncaknya manakala sepuluh hari terakhir datang dan menjelang.
Bila ditelisik lebih ke dalam, ada panorama yang kontras antara kegiatan material di pusat keramaian di satu sisi dengan kegiatan spiritual di mesjid di sisi yang lain. Seharusnya, sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan ‘pemadatan’ intensitas rohani yang berpusat di mesjid. Mesjid pun semestinya lebih padat dan semarak. Sayangnya, pencerahan kepada umat sampai hari ini ‘gagal’ tersosialisasikan secara maksimal. Maka bisa disaksikan, kesibukan ‘berburu’ lailatul qadr pun pada akhirnya harus kalah oleh perburuan yang lain, di pusat keramaian.
Menengok ke belakang
Lupakan dulu kesibukan di atas, lalu mari kita menengok ke tempat yang lain. Nun di
Ketika Ramadhan tiba, lalu melaju dan menembus tanggal ke dua puluh, mereka berlomba memasang kavling —tentunya non-permanen— di mesjid untuk merayakan hari-hari terakhir Ramadhan dengan mengerahkan puncak ‘daya’ ibadah yang mereka miliki. Shalatnya, ritualnya, hidup dan matinya digadaikan kepada Allah hanya demi menggapai puncak kenikmatan dari satu malam yang dirahasiakan, lailatul qadr.
Lailatul qadr, malam termahal
Sesaat lagi, kita pasti ditinggalkan Ramadhan, pasti!, dan ketika itu terjadi, penyesalan tak lagi berarti. Hari ini Ramadhan memang masih tersisa dalam hitungan hari, dan harga termahal Ramadhan justru ada di hari-hari terakhirnya itu.
Rasulullah, di sepuluh hari terakhir Ramadhan beliau yajtahid (mengerahkan segenap kemampuan untuk beribadah). Dia tak pernah sehebat itu di luar bulan Ramadhan. Demikian kata-kata ‘Aisyah yang diriwayatkan Imam Muslim. Malam-malam terakhir Ramadhan tak pernah dilewatkan Rasulullah karena di antara malam-malam itu ada satu malam yang kebaikan, keberkahan dan keutamaannya lebih dari seribu bulan, yaitu lailat al- qadr. Malam itu malam diturunkannya al- Quran (QS. Al- Qadr [97]: 1-5) atau (QS. Ad- Dukhan [44]: 3-8).
Pada malam itu, Bagi orang yang terjaga, lalu shalat malam dengan menggenggam keimanan kepada Allah, yakin dengan karunia- Nya, hanya mengharap pahala dan balasan dari- Nya, maka dosa-dosanya pasti diampuni, kesalahan-kesalahannya dihapus, kekeliruan-kekeliruannya dimaafkan dan doa-doanya dikabul. Demikian Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan imam al- Bukhari dan Muslim.
Mengintai lailat al- qadr
Dari masa ke masa, selalu ada pertanyaan yang terlontar dari mulut umat. Tak lain, Tanya itu ada karena ada semangat membara dari mereka untuk mengejarnya, “malam ke berapa lailat al-Qadr turun?”
Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan rektor al- Azhar, Kairo, Mesir bertutur: “al- Quran tidak memerinci jawaban dari pertanyaan itu, demikian juga hadits Nabi. Beliau memerinci turunnya lailat al- qadr hanya dengan perkiraan. Rasul bersabda, “Carilah lailat al- qadr pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan!” (HR. al- Bukhari Muslim). Lalu beliau mendekatkan perkiraan itu dengan bersabda, “Carilah lailat al- qadr pada malam ganjil dari bulan Ramadhan!” (HR. al- Bukhari). Kemudian beliau lebih mendekatkannya lagi dengan sabdanya, “barangsiapa yang ingin mencarinya, maka carilah lailat al- qadr pada tujuh malam terakhir dari Ramadhan!”
Malam ke dua puluh tujuh, mungkinkah?
Namun demikian, Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Nabi bersabda’ “barang siapa yang ingin mencari lailat al- qadr, hendaklah ia mencarinya pada malam keduapuluh tujuh di bulan Ramadhan.”
Banyak sahabat Nabi, lagi-lagi, karena kerinduan mendalam untuk bertemu lailat al- qadr, sering menyengaja mencari, menyelidiki dan mengintai malam terindah ini di malam-malam, terutama malam keduapuluh tujuh bulan Ramadhan. Seorang sahabat, Ubay bin Ka’ab mengatakan, “Demi Allah, tiada tuhan selain Dia, aku mengetahui malam lailat al- qadr itu, yaitu malam yang Rasulullah memerintahkan kami untuk melaksanakan qiyamullail, yaitu malam keduapuluh tujuh, dan tanda-tandanya adalah terbitnya matahari berwarna putih tanpa memiliki sinar.” (HR. Muslim)
Lailat al- qadr di malam keduapuluh tujuh? Ada-ada saja para ulama yang mencari-cari rahasia di balik ucapan Ubay bin Ka’ab ini. Samih Kariyam, dalam buku ma’annabiy fii Ramadhaan, menulis, “Sebagian orang mengatakan bahwa kata-kata dalam
Tetaplah menjadi rahasia
Sebetulnya masih banyak lagi upaya para ulama yang dilakukan untuk mencari titik kerahasiaan lailat al- qadr ini. Namun yang pasti, mereka tidak ada yang secara pasti menentukan yang sebenarnya dari malam-malam Ramadhan yang hadir tiap tahunnya.
Dr. Falih al- Shughair dalam buku waqafaat ma’ash-shaaimiin menegaskan, tidak ada ketentuan khusus bahwa lailat al- qadr akan muncul pada malam tertentu di setiap tahunnya, tapi dari tahun ke tahun selalu berubah-ubah. Allah sengaja merahasiakannya sebagai wujud kasih sayang kepada hamba-hamba- Nya, agar mereka terus memperbanyak ibadah dan ketaatan, tanpa harus menentukan kapan ibadah itu dilakukan. Dirahasiakan juga agar di setiap malamnya, hamba-hamba- Nya itu terus mengerahkan segala kemampuan ibadah terbaiknya dengan taqarrub, istighfar, taubat, muhasabah, baca al- Quran, dzikir, shalat malam, doa, dan segala betuk penghambaan lainnya.
Optimalisasi ibadah
Bila direnungkan lebih mendalam, rangkaian ajaran Islam dan kesempurnaanya tentang ibadah shaum dari mulai hari pertama sampai terakhir, tensinya justru semakin meningkat. Sementara yang tampak dan terjadi, umat sering terkesan kelelahan di awal sampai di pertengahan bulan. Inilah makanya Allah menentukan target orang yang berpuasa agar umat bertaqwa, la’allakum tattaquun. Maka dapat dipastikan, Ramadhan akan menjadi alat penyaring (sellector) yang terus mengayak umat sehingga nantinya terpilih mana hamba-hamba- Nya yang bisa istiqamah, atau bahkan penghambaannya dari hari ke hari terus meningkat.
Ketika di antara umat Islam ada yang semakin hari ibadahnya semakin meredup, ketika sampai di tengah perjalanan Ramadhan ia kehabisan bekal dan amunisi, lalu ketika yang lainnya sudah membelokan orientasi Ramadhannya ke acara lebaran, ketika persinggahannya pindah ke tempat-tempat perbelanjaan, maka, mampukah kita berbalik arah? Bisakah kita mencharge diri dan berjanji untuk mengoptimalkan kesempatan terindah ini untuk mengisi siang dan malam hari agar bisa membahagiakan ilahi???
Wallaahu min waraa al- qashd
*Dosen UIN
hitut
Posting Komentar