I'tikaf, Sunnah yang Hampir Punah
oleh: Asep M Tamam*
Ketika ditanya tentang i’tikaf, syaikh al- Syirbashi, penulis buku yasaluunaka fi al- din wal-hayat, menegaskan bahwa i’tikaf adalah sunnah takaadu takuunu mahjurah (kebiasaan nabi yang sudah hampir ditinggalkan). Jawaban mantan rektor Universitas al- Azhar Mesir ini, beberapa lamanya mengendap dalam dada dan pikiran penulis yang berharap, pada saatnya nanti satu judul tentang i’tikaf ditulis secara eksklusif.
Alhamdu lillah, momentum itu akhirnya datang juga. Selasa sore,
Lebih mengenal I’tikaf
Bila kita rajin meluangkan waktu menengok mesjid-mesjid di malam-malam akhir Ramadan, kita bisa membuktikan statemen al- Syirbashi ini benar. Walaupun ada generasi muda ataupun tua yang menyengaja meramaikan mesjid di pertengahan malam, itu hanya dilakukan oleh segelintir saja, ibarat satu tetes dari samudera umat yang begitu luasnya.
I’tikaf adalah berdiam diri (al- mukts) di mesjid beberapa saat, bisa lama atau sebentar, dilakukan seorang muslim yang balig dan suci, dengan niat taqarrub kepada Allah. Ulama telah sepakat tentang disyariatkannya i’tikaf ini. Imam al- Nawawi, al- Syaukani dan Ibnu Arabi berpendapat bahwa hukum i’tikaf adalah sunat muakkad. Imam Abu Dawud dan Ahmad menyatakan, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama tentang sunatnya I’tikaf. Tapi al- Syaukani menegaskan bahwa para ulama juga sepakat bahwa i’tikaf tidaklah wajib. Wajib i’tikaf, menurut mereka hanyalah bagi mereka yang bernadzar melakukannya.
Dalam buku zaad al- ma’aad, Ibnu Qayyim al- Jauziyyah menyebutkan hikmah i’tikaf dengan menulis “kelebihan makan dan minum, kelebihan bergaul dengan sesama dan kelebihan tidur telah membuat hidup manusia timpang, lalu itu semua menghalangi, melemahkan, menghentikan atau bahkan memutus rantai hubungannya dengan Sang Pencipta. Kelebihan-kelebihan ini (makan, pergaulan dan tidur) diperbaiki oleh shaum Ramadan, terutama dengan disyariatkannya I’tikaf. Dengannya, seorang hamba bisa merapatkan diri hanya kepada Allah, segenap jiwa raganya, lidah dan hatinya hanya terfokus untuk memuaskan-Nya. Maka keakraban pun hanya terpusat pada- Nya.”
Hadits al- Bukhari dan Muslim tentang rutinitas sepuluh hari terakhir yang diisi penuh oleh Rasulullah untuk i’tikaf menjadi dalil bahwa kegiatan ini dijadikan kesenangan, bahkan hiburan yang menyenangkan dimensi rohani bagi nabi. Beliau melakukan iI’tikaf di sepuluh hari terakhir sampai akhir hayatnya, lalu istri-istrinya melanjutkan tradisi itu sepeninggal nabi. Dalam hadits juga dikisahkan, nabi pernah tertinggal i’tikaf di satu hari, kemudian beliau mengqada (mengganti) i’tikafnya yang batal itu di bulan Syawal. Nabi, di tahun kewafatannya bahkan melakukan i’tikaf pada dua puluh hari terakhir bulan Ramadan.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits bahwa Nafi’, seorang tabi’in pernah diperlihatkan satu titik di mesjid Nabawi, yaitu tempat i’tikafnya nabi oleh Abdullah bin Umar. Ini, demikian para ulama, menjadi dalil bolehnya seseorang membuat tempat khusus untuk I’tikaf di mesjid bila itu bisa menambah nilai kekhusyuan dan tidak mengganggu hak-hak orang lain dan tidak riya (ingin pamer ibadah).
Tentang ketentuan tempat beri’tikaf, para ulama berbeda pendapat apakah harus di mesjid jami’ atau boleh di setiap mesjid. Sebagian ulama mensyaratkan di mesjid jami, sebagian lainnya membolehkan di mesjid manapun asal mesjid itu dipakai shalat berjamaah. Sementara itu, sebagian ulama membolehkan i’tikaf bagi perempuan dengan mengambil tempat di mushalla rumahnya. Adapun waktu dan lamanya i’tikaf, para ulama tidak menentukan batas waktu, apakah seharian, sejam atau bahkan hanya beberapa saat selama dia berada di mesjid, berniat i’tikaf dan di dalamnya hanya melakukan kebaikan.
Kita selalu berlebihan
Ibadah i’tikaf, bila dibiasakan akan betul-betul mendidik kita akan pentingnya penguasaan diri. Tengoklah diri kita, mata kita sering berlebihan memandang hal yang dilarang, telinga kita sering berlebihan mendengar hal yang tak benar, lidah kita sering berlebihan menyebut hal yang tak patut, hati kita sering berlebihan melajurkan iri, dengki, dan ambisi, perut kita sering berlebihan menyarap yang tak sehat, kaki kita sering berlebihan melangkah ke tempat yang salah dan seluruh anggota badan sering berlebihan mengikuti syahwat (keinginan) yang belum tentu bermanfaat.
Maka i’tikaf hakikatnya adalah nikmat yang dikhususkan Allah bagi siapapun dari umat ini, tanpa kecuali, yang ingin membersihkan diri, mengurangi ‘kadar’ berlebih yang bersemayam dalam jasadnya, sehingga hari-hari ke depan yang akan dijelang lebih seimbang. Dan, bukankah ajaran keseimbangan merupakan karakter dari ajaran suci yang dibawa nabi?
Kembali ke al- Syirbashi (inspirator judul di atas), beliau pernah ditanya oleh murid-muridnya, “Apakah pantas i’tikaf ini dilakukan oleh manusia modern jaman ini, padahal dua puluh empat jam bagi mereka tidak cukup untuk mencari uang? Ia menjawab: ”ya, i’tikaf adalah salah satu atau bahkan satu-satunya ibadah yang paling cocok untuk manusia abad modern. Ia bahkan bisa sampai kepada hukum wajib. Materialisme abad modern meniscayakan adanya ‘semilir-semilir’ rohani untuk menjaga keutuhan keseimbangan mental manusia modern yang kian hari kian rapuh.”
Pendapat al-Syirbashi ini mengingatkan penulis akan artikel Prof, DR. Azyumardi Azra dalam buku rekonstruksi dan renungan religius islam. Lewat artikelnya ia menginformasikan bahwa di kota-kota besar Amerika yaitu Manhattan, New York, Los Angeles dan lainnya, para pengusaha dan millioner muslim justru menghabiskan waktunya di mesjid-mesjid. ‘Belantara’ Amerika yang ketimpangan materi-rohaninya tak lagi diragukan justru menyuguhkan pemandangan lain yang —sepertinya— “lucu” dimana mesjid-mesjid menjadi mercusuar syiar Islam yang menyejukkan.
I’tikaf, dalam arti yang sesungguhnya, menunggu sosialisasi yang efektif dan akurat dari ‘pinisepuh-pinisepuh’ umat ini, sehingga umat tak ‘kehilangan’ mesjid, rumah yang diyakini menjanjikan kenyamanan hidup di balik derita kaum papa dan gemerlap harta orang-orang kaya, di zaman yang hanya tinggal menyisakan sisa-sisa umurnya.
Wallaahu min waraa al- qashd
*dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya.
Posting Komentar