Muhasabah Ramadhan
Oleh: Asep M Tamam*
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”
(QS. Al- baqarah [2]: 284)
Muhasabah, ya, kata muhasabah sudah tak asing lagi di telinga warga muslim
Muhasabah, dianjurkan terutama di saat-saat penting dan dalam suasana taubat. Ayat ke 284 dari
Bahana muhasabah memasyarakat di kalangan sahabat di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Para ulama kita sering mendendangkan kata-kata yang dilantunkan khalifah yang terkenal adil ini, “hitunglah (muhasabah) diri sebelum kau dihisab nanti, timbanglah amalmu sebelum kau ditimbang di ‘gelanggang’ mizan, dan berhiaslah dengan amal saleh demi kesenanganmu di hari ‘pameran terbesar’ (kiamat) nanti.”
Umar bin Khattab, dari dialah kita tahu bagaimana gambaran sebenarnya dari muhasabah. Kata-katanya diresapi dan dipraktekannya sendiri. Anas bin Malik pernah menyertai Umar dalam sebuah perjalanan dinasnya sebagai khalifah. Ketika lewat di rumah tak bertuan, Umar masuk sendirian sementara Anas di luar. Apa yang dikatakan Umar dari dalam rumah didengar jelas oleh Anas. Umar berkata pada dirinya sendiri, “Hai Umar, apa yang akan kau pilih, taqwa kepada Allah dan berlaku adil sebagai pemimpin atau kau akan memilih azab Allah karena ketidakadilanmu?”
Kata-kata Umar lainnya pun cukup melegenda dan sering didengungkan para ulama ketika berada dalam ritual muhasabah, atau ketika berhadapan dengan dosa dan kemaksiatan yang akan dilakukannya, “jawaban apa yang akan kau sampaikan nanti ketika Tuhan meminta pertanggungjawaban dari perbuatan yang kamu lakukan?”
Ramadan, bulan muhasabah
Hari ini adalah hari terakhir dari Ramadan tahun ini. Berarti kita akan ditinggalkan bulan mulia ini dalam hitungan jam, atau bahkan hitungan menit. Kita tak tahu dan pastinya takan pernah tahu dalam posisi apa dan kondisi bagaimana kita melewatkan detik-detik terakhirnya. Yang kita tahu, suasana sakral Ramadhan akan berlalu, lalu menghilang dan kita jelang lagi dua belas bulan ke depan.
Mestinya, muhasabah adalah ibadah rutin dan tak perlu bertanya kapan dan dimana dilakukannya. Tapi Ramadan, dari dahulunya memang kental dengan nuansa muhasabah. Bagaimana tidak, nabi Muhamad sendiri yang menjanjikan keterampunan dosa bagi hambanya yang bermuhasabah di bulan ini. Ihtisab, satu kata yang sering diartikan ‘mengharap ridha Allah’, justru ditafsirkan muhasabah oleh Prof. Quraish Shihab. Maka waktu yang paling tepat untuk melakukannya adalah hari ini, hari terakhir Ramadan.
Mari bermuhasabah
Seringnya kita lalai dan karenanya kita lupa apa yang telah terjadi setahun ke belakang. Terlalu jauh untuk menjangkaukan ingatan akan kelakuan kita sebelas bulan sebelum kedatangan Ramadan, karena yang kita lakukan selama sebulan ini pun mungkin sudah tak kita ingat lagi.
Dengan muhasabah, kita akan mengenali mana anggota tubuh kita yang paling sering diumbar masuk dalam dunia dosa dan pelanggaran. Di antara kita mungkin ada yang langsung menemukan, lidahlah anggota badan yang paling dibiarkan bebas mengumpat, mengejek, mencibir, menghasut, menyumpahi, membicarakan aib teman dan saudara, berkata jorok dan kasar, memfitnah, membuka rahasia, mengumbar janji sana-sini, memarahi teman, adik-kakak, anak bahkan isteri sendiri. Lidah jugalah anggota badan yang sering kita jauhkan dari memuji dan menghargai, baca alquran, dzikir dan wirid, berdakwah mengajak orang beramal baik, mendamaikan teman dan saudara dan lain-lain.
Atau mungkin mata dan telinga yang paling dominan kita korbankan untuk bebas sebebas-bebasnya. Mata kita betah untuk mengintip, mengintai, membaca dan memandang aurat, aib orang, tontonan-tontonan kotor, buku-buku dan bacaan-bacaan porno. Telinga kita pun terlanjur diakrabkan dengan omongan-omongan dosa, musik-musik nista, ocehan-ocehan kotor dan bukan alquran, lagu-lagu Islami juga nasehat-nasehat para dai, mubaligh dan para ulama.
Di antara kita, ada juga mungkin yang dominasi dosa dan kesalahannya terpusat di tangan dan kakinya. Tangannya terbiasa dilajurkan untuk mencuri dan mengutil, memukul dan menampar, mencubit dan mencakar, menengadah dan meminta, bukan memberi dan menyantuni, mengelus dan membelai anak, istri, dan orang yang sewajibnya dikasihi. Sementara kaki, seringnya kita biarkan untuk mengantar hasrat negatif ke tempat-tempat terlarang, menendang dan menghardik orang dan lain-lain.
Diawali pamitnya ramadan
Akhir Ramadan tahun ini adalah momentum untuk bertanya pada diri masing-masing, “kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi? Kehadiran Ramadan yang dinanti, pamitnya pasti ditangisi. Tangis di akhir Ramadan akan sia-sia bila tak disertai tekad untuk berubah, tekad untuk melewati hari-hari ke depan jauh lebih baik, berkualitas dan bertakwa.
Mengenali lidah, hati, mata, telinga, tangan, kaki dan segenap panca indera yang dihasilkan dari ritual muhasabah akan megantarkan kita pada pemahaman sebenar-benarnya akan makna hidup dan kehidupan. Dengan memahami makna kehidupan, kita akan beranjak untuk menghargai diri, keluarga, sesama dan juga lingkungan sekitar. Bila hal ini berhasil kita coba dan ulangi, maka berarti kita akan lebih siap menjelang hari-hari ke depan dengan senyum optimis.
Wallaahu mi waraa al- qashd
*Dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya
Posting Komentar