Kamis, 26 Maret 2009

ternyata, wara' di kalangan pejabat masih tersisa


0leh: Asep M Tamam*

Kunjungan ketua KPK, Antasari Azhar dalam Dies emas ITB Bandung 7 Maret lalu menyisakan cerita yang mengharukan. Ceritanya adalah ketika di akhir kunjungan ia menolak jamuan makan para petinggi ITB dan juga menolak amplop ceramahnya yang berjudul “Model Pemberantasan Koupsi, Kendala dan Prospek”.

Apa yang ditempuh ketua KPK, Antarsari Azhar ini adalah dalam rangka usahanya memperbaiki mental pejabat bangsa ini yang dari hulu sampai hilir menerapkan kinerja berbasis uang. Kaya rayanya para pejabat negeri ini biasanya tak lepas dari kelihaian mereka menumpuk kekayaan dari pemasukan di luar gaji mereka sebagai pegawai negeri dan pejabat publik. Gaji dan tunjangan mereka sangat terukur secara matematis, tapi rumahnya, sertifikat tanahnya, mobil pribadi dan keluarganya tak bisa dirasionalisasi dengan gajinya itu.

Perilaku terpuji yang dilakukan pria berkumis tebal, seram tapi pandai melucu ini mengingatkan penulis akan pejabat publik lain yang posisi jabatannya tak kalah dari Anatasari Azhar. Ia adalah Menko Polkam kita, Widodo AS. Prof. DR. Syafi’i Ma’arif dalam resonansi Republika tahun 2006 lalu (guntingan artikelnya masih ada di penulis) menulis Masih Ada Orang Baik di Negeri Ini. Tokoh ‘orang baik’ yang ditulis Syafi’i Ma’arif itu adalah jendral berusia 65 tahun yang tak suka popularitas dan jarang masuk TV ini. Jangankan adik-adiknya, ketiga anak-anaknya pun bahkan diharamkan menikmati dan memanfaatkan jabatan strategis bapaknya itu untuk dijadikan akses dalam bisnis dan acara lainnya dalam rangka mengumpulkan dan menumpuk kekayaan.

Keluarga jendral yang juga berperan aktif dalam rekonsiliasi Aceh ini sangat sederhana. Adik-adiknya berangkat kerja dengan bis umum, dan sang kakak seakan acuh tak memedulikannya. Sering keluarganya menganggap sikapnya terlalu puritan dan kaku dalam memegang teguh amanah yang diembannya, tapi demikianlah harusnya jadi pejabat publik. Bandingkan dengan pejabat-pejabat kita yang begitu ringannya dalam memahami amanah yang berwujud jabatan publik. Jangakan adik dan anak, keluarga, tetangga bahkan teman dan sahabat pun ikut menikmati fasilitas, lalu sang pejabat merasa sangat berjasa dengan itu semua.

WARA’ DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Ali bin Muhammad al- Jurjani dalam bukunya al- Ta’rifat mendefinisikan wara’ sebagai ‘menjauhi hal-hal yang syubhat sebagai upaya menghindarkan diri dari yang haram’. Syubhat sendiri didefinisikan al- Jurjani sebagai ‘hal yang tidak diyakini halal atau haramnya’. Dalam alquran, kata wara’ tidak diketemukan kecuali dalam memahami ayat, “dan pakaianmu, bersihkanlah” (QS. al- Mudatstsir [74]: 4), Ibnu Qayyim al- Jauziyah dalam bukunya, Madaarij al- Saalikiin memahami ayat ini sebagai perintah untuk wara’, ia memahami pendapat sahabat nabi, Ibnu Abbas dalam Tanwiir al- Miqbasnya yang menafsirkan ayat ini dengan makna “janganlah kamu busanai dirimu dengan dosa, kemaksiatan dan penghianatan”.

Dalam prakteknya, akhlak wara’ ini sangat identik dengan keseharian kehidupan nabi dan para sahabat. Dalam buku Sirat al- Sahabah karya DR. Mustafa Murad dikisahkan, Abu Bakar Sidik dua kali memuntahkan makanan yang sudah masuk ke perutnya karena mendengar makanan yang telah ditelannya itu hasil dari usaha yang haram. Pertama, ia mendapatkan makanannya itu dari hamba sahayanya sendiri yang di masa jahiliah menjadi peramal dan baru dibayar setelah ia mencicil pelunasan kebebasannya kepada Abu Bakar (HR. al- Bukhari). Kedua adalah makanan yang diberikan Ibnu Nu’aiman yang menghadiahkan sebagian badan kambing yang ia masak kepada Abu Bakar. Setelah tahu bahwa daging itu hasil perdukunan, ia berdiri memuntahkan makanan yang telah masuk perutnya itu dan berkata, “Kalian licik memberiku makanan dan tak memberitahukan dari mana ia didapat.” (HR. Ahmad).

Sahabat-sahabat nabi, terutama empat khalifahnya, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah tokoh terbaik dari pejabat publik yang sukses memeragakan wara’ dalam menjalankan tugasnya. Bukti otentik menunjukan, di penghujung hayat mereka sebagai manusia dan kepala negara, kekayaan mereka sangat ‘mencolok’. Berbeda dengan pejabat jaman sekarang yang mencolok ketika di akhir masa jabatannya, mereka punya kekayaan yang tak habis dimakan generasi tujuh turunan, maka para sahabat sebaliknya. Abu Bakar, ketika meninggal tak meninggalkan harta yang bisa dinikmati anak-anaknya. Aisyah RA puterinya, ketika menjelang wafat ayahnya menangis dan berujar, “ayah, engkau tidaklah semiskin ini hingga tak bisa membeli kain kafan untuk penguburan ayah”.

Umar bin Khattab pun demikian, ketika akhir hayatnya tiba, maka rumahnya segera dijual demi untuk menutupi beban utang pribadinya semasa pemerintahannya yang gemilang. Kekayaan kaum muslimin di masanya menggunung dari hasil zakat, pajak dan rampasan perang. Rumahnya yang dijual lalu diberi nama dar al- qadha (rumah bayar utang). Utsman pun demikian, demi wara’nya ia telah gemilang menaklukkan keserakahan pribadinya. Bayangkan saja, ketika jabatan khalifah diserahkan kepadanya, ialah orang terkaya di Jazrah Arab. Namun menjelang wafatnya, ia hanya meninggalkan beberapa ekor ternak saja. Ali bin Abi Thalib apalagi, khalifah keempat yang bergelar imam al- masaakiin (pemimpin orang-orang miskin) ini dalam empat tahun lebih masa pemerintahannya tak pernah menambah perabotan rumah tangganya, apalagi menambah kekayaan di luar rumah.

Dari kalangan para ulama, Imam Hanafi an- Nu’man adalah contoh pelaku wara’ yang cukup ekstrim. Bagaimana tidak, ketika domba-domba yang ia titipkan kepada seorang penggembala bercampur dengan domba-domba milik orang lain, ia tak berani makan daging domba selama tujuh tahun sesuai umumnya usia kambing yang hidup di masanya. Ketika suatu saat ia menyaksikan tentara Islam memakan daging kambing dan tulang-tulangnya dibuang ke sungai yang ada di kota Kufah tempat tinggal sang Imam, imam Hanafi lalu tidak berani makan daging ikan bertahun-tahun sesuai usia ikan yang hidup di sungai itu.

MENGINTIP SISTEM YANG BERLAKU HARI INI

Siapapun pejabat publik di negeri ini, eksekutif, legislatif dan yudikatif hari ini telah masuk pada perangkap ‘pragmatisme’ yang arus godaannya luar biasa kuat. Sistem yang terbangun dan budaya massal yang mengelilinginya memungkinkan siapapun tergoda untuk menikmatinya. Hadirnya institusi kepolisian, kejaksaan, bawasda hingga KPK tak menyurutkan mereka untuk mencari celah yang bisa ditempuh untuk memperkaya diri, keluarga dan handai taulan.

Untungnya, tak semua pejabat publik kita tergoda, lalu masuk ke perangkap pragmatisme ini. Ketua KPK kita misalnya, atau juga Menko Polkam kita atau dari kalangan hakim agung di Mahkamah Agung kita, Artidjo Alkotsar yang tak sungkan untuk naik ojeg, becak atau kendaraan umum lainnya dalam kehidupan sehari-harinya. Di belakang mereka ada ratusan, ribuan dan jutaan pejabat kita —dari pejabat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional— yang komitmen moral dan pemahamannya akan doktrin agama masih dipegang teguh, kukuh dan kuat. Di atas pundak merekalah kita menitipkan keberlangsungan kehidupan sosial politik di negeri ini.

Kekayaan bagi kita, adalah hal yang walaupun sedikit tapi enak dimakan, nyaman dipakai, bisa dipertanggungjawabkan di dunia juga tak membebani langkah kaki kita di akhirat sana. Kekayaan yang dihasilkan dari jauhnya kita dari wara’, pastinya akan berujung penyesalan.

Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), dosen LB di STAI Tasikmalaya dan FKIP UNIGAL Ciamis.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO