Rabu, 17 Desember 2008

KONDISI POLITIK KITA MASIH SAKIT


Oleh: Asep M Tamam*

Sering kali teman-teman sejawat, juga adik-adik pelajar dan mahasiswa bertanya apakah penulis tertarik masuk dunia politik? Tak mudah menjawab pertanyaan itu, karena walaupun sebagian orang menganggap masalah politik adalah hal sepele, namun yang lain memandangnya sebagai hal yang sakral dan fundamental. Beberapa hari ke belakang, dalam sebuah acara bertaraf internasional di Batu, kabupaten Malang Jawa Timur, penulis sekamar dengar seorang Doktor muda bidang bahasa Arab yang baru berusia 33 tahun. Beliau dosen Program Pascasarjana IAIN Surabaya dan UIN Malang. Iseng penulis bertanya dengan pertanyaan yang sama, apakah beliau tertarik dengan dunia politik? Jawabannya —setidaknya bagi penulis— lucu, katanya, “tertarik, sangat tertarik, tertarik untuk menjauhinya”.

Jawaban Doktor alumni Universitas Khurtum, Sudan yang bernama Nasaruddin I. Jauhar ini, adalah gambaran kecil dari pandangan kalangan terpelajar, namun dunia yang digelutinya jauh dari urusan atau kepentingan politik. Bagi mereka, masalah politik adalah masalah berat dan hanya orang-orang yang siap lahir batinlah yang mau ancrub di dalamnya.

Sekelumit jawaban dari Pak Nasar, demikian penulis menyapanya, membawa penulis merenung mencari sendiri alasan kenapa beliau —setidaknya untuk hari ini— tertarik menjauhi dunia politik. Memang, bagi mereka yang sudah mapan secara psikis dalam dunia ilmu, mengajar di sekolah dan kampus dengan serius dan menganggapnya sebagai prioritas, dunia politik menuntut kesibukan yang menguras perhatian dan waktu. Belum lagi, cost politik bagi sekedar pengajar (pegawai negeri) sulit untuk dirasionalisasi. Gaji yang terukur sekian perbulan ditambah penghasilan ini dan itu, dikurangi pengeluaran dari A sampai Z, belum seimbang dengan biaya acara sosialisasi yang berwujud spanduk, stiker, iklan di koran, uang makan tim sukses dll.

Lebih jauh, penulis mereka-reka alasan-alasan lain dari pak Nasar. Alasan ini didapatkan dari ‘petualangan’ penulis mengamati gerak-gerik para pemain dan pecandu dunia politik yang terdekat, yaitu orang Tasik sendiri. Satu hal yang pasti, dunia politik kita ternyata masih sakit, terutama bila menyimak kampanye para (baca. beberapa) caleg kita yang durasi waktu show timenya sebetulnya masih cukup lama ini.

Paradigma Rakyat Harus Dirubah

Sekali waktu di tengah perjalanan kerja, penulis menguping pembicaraan warga pasar Cikurubuk. Mereka, entah pedagang, kuli angkut, calo (preman), pengayuh becak, sopir angkum begitu asik ‘membahas tema’ politik. Bagi mereka, ngobrol politik adalah selingan santai yang bisa mengendurkan urat dan saraf mereka sebagai pekerja berat. Bagi penulis sendiri, cermin untuk mengaca persepsi rakyat tentang dunia politik, adanya di pembicaraan warga grashroot seperti di pasar Cikurubuk ini. Ada satu kalimat yang penulis rekam dari obrolan akrab itu, kalimat itu adalah , “yeuh, ayeuna mah rakyat teh geus ngalarti, mun teu dibayar mah moal milih…”

Bila dihayati lebih serius, kalimat yang benar-benar ‘ngaco’ itu ada juga benarnya. Di kampung tempat domisili penulis sendiri, adagium serupa memang benar-benar ada di tengah warga. Para politikus kita banyak yang memanfaatkan paradigma politik rakyat kecil seperti ini untuk politisasi massa. Mereka menjaga dan memelihara posisi dari paradigma ini supaya tetap lestari demi misi mereka meraih apa yang diinginkan. Penghamburan uang yang dibagi-bagikan kepada rakyat bawah sering juga dianggap sebagai bentuk filantropi (kedermawanan). Paradigma ini, terkadang juga dianut beberapa pemuka masyarakat. Mereka menyatakan, “peupeuriheun urang mah teu bisa mere kanu keur eak-eakan kalaparan…”

Konon, seorang caleg di kecamatan antah barantah, sejauh ini, telah nyawer lebih dari seratus juta rupiah. Beberapa caleg lain di kecamatan yang sama hanya bisa ngalamot curuk menyimak gerakan massal yang dikendalikan secara sistimatis dan terencana ini. Menurut hemat penulis, bila ‘kelakuan’ ini dibiarkan, ia akan menjelma menjadi ‘kebenaran’ (aksioma) mengingat rakyat pendukung gerakan seperti ini berjumlah tak sedikit dan sulit untuk menghambatnya kecuali bila didiskusikan dalam sebuah forum.

Ironi Wakil Rakyat

Di sela-sela waktu mengajar, sering penulis bertanya kepada teman dan sahabat yang berbeda daerah (kelurahan, kecamatan atau kabupaten/kota), berapa orangkah dari anggota dewan, dalam empat tahun ke belakang berkunjung ke kampung anda, hanya sekali saja ataukah rutin? Secara umum, jawaban mereka seragam: tak seorang pun! Terkecuali mereka, para sahabat sejawat tadi yang di kampungnya terdapat anggota dewan yang berdomisili.

Wah, inilah salah satu penyakit akut yang ‘menggerayangi’ mental para wakil kita. Tak perlu kita mengungkit apa yang terjadi. Yang penting justeru bagaimana dalam waktu beberapa bulan ke depan, kita menyimak dan bertanya apakah para caleg yang tercantum dalam Daftar Calon Tetap (DCT) itu rajin turun gunung atau tidak? bila jawabannya sering, kita bisa menghitung seberapa sering —setelah mereka nantinya terpilih— mereka ngalongok daerah yang diwakilinya?

Ironi lain yang terus mengusik batin penulis di beberapa perjalanan, adalah betapa mudahnya para caleg kita memampangkan spanduk atau baligo di pinggir-pinggir jalan dan tempat ramai, lalu menuliskan visi-misi yang sebetulnya absurd untuk dijalankan bila menengok apa yang terjadi empat tahun ke belakang. Kata-kata seperti “kesejahteraan rakyat”, “perubahan”, “kepedulian” dan kata-kata senada semestinya tak perlu disampaikan, kecuali bagi mereka yang sudah punya banyak pengalaman ril dalam menyejahterakan rakyat. Bagi penulis, menyejahterakan rakyat dalam suasana ekonomi yang belum stabil hanyalah gombal belaka, apalagi bila menyimak action mereka empat tahun ke belakang yang justeru sebaliknya, mereka berjarak terlalu jauh dengan rakyat.

Tulisan ini, tak lebih sebagai himbauan moral yang —mudah-mudahan— konstruktif untuk mengobati penyakit yang menjangkiti dunia politik kita, tasikmalaya khususnya. Penulis yakin kondisi dunia politik kita, bila terus disuntik dengan pembudayaan nilai-nilai ideal, apakah menurut hukum sosial ataupun hukum agama, maka penyakit komplikasi yang melilitnya semakin hari menuju kondisi sehat yang paripurna. Bila kondisi kesehatan dunia politik terwujud, maka pak Nasar (Dr. Nasaruddin I. Jauhar) akan berkata lain, ia akan berkata seperti ini, “Saya tertarik, sangat tertarik untuk terjun ke dalamnya”.

Wallaahu min waraa al- qashd

Penulis adalah peminat masalah-masalah sosial-politik dan keagamaan, tinggal di Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO