Rabu, 17 Desember 2008

PERLUKAH PROPOKATOR UNTUK MERAMAIKAN PERPUSTAKAAN TASIK


Oleh: Asep M Tamam*

Membaca adalah budaya, maka upaya untuk memasyarakatkan membaca adalah upaya untuk menciptakan budaya. Kegemilangan ilmu, sains dan teknologi di satu negeri, akan sangat bersipadan dengan budaya kegemaran membaca dari “anak-anak” negeri tersebut.

Di kota-kota besar yang budaya membaca warganya tinggi, kita bisa mendapati budaya membaca merupakan unsur inherent yang sudah melekat kuat dan bisa dengan sangat mudah disaksikan di sekolah-sekolah, kampus-kampus, mesjid-mesjid dan tempat ibadah lainnya, di taman-taman kota, bahkan di kendaraan umum dan trotoar jalan.

Beberapa buku tentang membaca sekarang telah mulai bisa diakses di berbagai toko buku. Sementara itu, berbagai pelatihan di berbagai institusi dan instansi dari kota besar sampai daerah-daerah kabupaten/kota pun sudah mulai dikenalkan. Meskipun agak terlambat bila dibandingkan dengan Malaysia yang sudah lebih dulu memperkenalkan dan mengajarkan speed reading, peta minda, spiritual reading, accelerated learning, teknik membaca gaya SAVI, teknik membaca KAKI Quantum learning, sampai teknik membaca Super Accelerated Learning dan sebagainya, pelatihan serupa juga harus digalakan di negeri ini dalam rangka ‘menggenjot’ daya jelajah baca dari warga dan daya akses mereka terhadap buku-buku baru.

Perpustakaan Tasik, representatifkah?

Beberapa hari ke belakang, beberapa kali penulis masuk perpustakaan kota Tasik di komplek perkantoran jalan Ir. H. Djuanda dan perpustakaan kabupaten Tasik di jalan Dadaha dekat gedung KOPRI. Berbagai rasa berkecamuk dalam batin ketika penulis masuk ruangan perpustakaan. Perasaan bahagia dan bangga hadir karena kita punya perpustakaan yang cukup representatif bagi siapapun yang ingin membaca buku dengan gratis dan bebas membaca dari mulai pagi sampai sore hari. Bahagia juga karena tiap tahunnya ada cukup anggaran dari pemerintah untuk membeli buku-buku baru dan bermutu, tentunya dari berbagai disiplin ilmu.

Namun di balik itu, ada juga rasa sedih ketika melihat perpustakaan kota Tasik tanpa plang nama atau apa saja yang bisa menginformasikan publik bahwa bangunan yang nyingkur di pojok paling ujung itu adalah perpustakaan kota Tasik. Jumlah buku perpustakaan 17.000 eksemplar, itupun bila ditambahkan dengan perpustakaan kelurahan dan pondok pesantren yang ada di lingkungan kota Tasik. Sebagiannya masih dipinjam oleh para pelanggan dan sebagiannya, biasa, diambil orang yang tak punya rasa kasih sayang terhadap buku.

Sementara di perpustakaan kabupaten Tasik, penulis sedih melihat buku-buku yang sudah banyak yang layu. Walaupun jumlah bukunya 9.000 judul (23.000 eksemplar lebih), namun jumlah buku-buku baru masih memprihatinkan. Setahu penulis, yang dimaksud buku baru adalah buku yang terbit minggu atau bulan ini, bukan tahun ini atau 2-3 tahun ke belakang.

beberapa tahun kebelakang, penulis pun merajinkan diri ‘membaca’ daya baca warga Tasik dengan mengunjungi berbagai toko buku dan berbagai perpustakaan kampus yang ada di wilayah Tasik. Rupanya, walaupun kuantitas pengunjung tempat-tempat tersebut dari ke hari bertambah, namun belum sehebat ‘panorama’ jumlah pengunjung di wilayah lain di mana membaca sudah menjadi budaya turun temurun, membaca sudah menjadi kebutuhan dan membaca sudah menjadi konsep hidup.

Bila ditarik benang merah antara kondisi perpustakan di Tasik dengan minat warga terhadap budaya baca, maka ada kesan ketakterpaduan antara berbagai elemen di Tasik dalam menggiring warganya menjadi ‘penggila’ buku. Maka tulisan ini dimaksudkan untuk mendorong diri penulis khususnya, sidang pembaca umumnya, dan wa bil khusus pemerintah dan pihak berwenang, untuk lebih menambah dan meningkatkan porsi atensi untuk menanam, menyiram dan memupuk budaya membaca bagi warganya, di sisa waktu mereka mengurus masalah politik, pembangunan fisik, ekonomi dan masalah penting lainnya.

Pemerintah harus turun tangan

Ada fenomena yang tiap tahunnya menghadirkan ironi bagi kita, yaitu berebutnya warga membeli surat kabar harian (koran) yang memuat pengumuman testing CPNS. Pada hari itu, beberapa koran lokal sudah habis pada pertengahan hari. Kalau diadakan penelitian dan dikemukakan pertanyaan, mengapa mereka berebut membeli koran? maka jawabnya akan seragam: ingin mencari informasi seputar penerimaan CPNS.

Dalam hal ini, penulis berharap pemerintah menangkap fenomena ini sebagai PR (pe-er) untuk mengampanyekan gerakan membaca, entah buku, novel, koran dan lainnya, sehingga kalau mungkin, semarak iklim keilmuan bukan hanya milik murid sekolah dan mahasiswa di kampus saja, tapi juga melembaga di segala sudut kota dan pojok kampung.

Kehadiran sebuah perpustakan di setiap wilayah kabupaten/kota haruslah disyukuri, terutama oleh warga yang kehausan mencari bahan bacaan gratis. Tapi optimalisasi dari sosialisasinya harus juga ditunjukkan dengan keseriusan pemerintah dan pihak-pihak terkait seperti Diknas dan dinas yang lain.

Menggelar berbagai acara yang melibatkan perpustakaan sebagai tuan rumah dan organizer adalah salah satu materi gebyar sosialisasi yang pas untuk mempropokasi minat baca warga. Acara yang bisa penulis usulkan adalah bedah buku, diskusi bulanan, even-even lomba keilmuan dan lain-lain. Bedah buku misalnya, menghadirkan pemateri dari tingkat lokal sampai nasional dan mengundang anak sekolah dan mahasiswa sebagai objek bidikan anggota baru perpustakaan. Diskusi bulanan bisa juga digelar dengan mengundang berbagai siswa, terutama mahasiswa untuk memanfaatkan perpustakaan sebagai wadah bagi berbagai buku dari berbagai dimensi ilmu. Bekerja sama dengan dinas pendidikan, perpustakaan pun bisa menyelenggarakan lomba-lomba keilmuan seperti lomba meresensi buku, cerdas cermat, lomba menulis karya ilmiah, novel, essai, feature, yang tentunya disesuaikan dengan tingkatan pendidikan mereka. Berbagai acara ini, bila bisa digelar dengan bekerja sama dengan koran, radio dan TV lokal akan semakin mempercepat ‘proyek’ ini mencapai target.

Membaca sebagai konsep hidup

Membaca adalah aktivitas yang bagi penikmatnya memberikan efek kepuasan batin yang luar biasa. Para ilmuwan dan ulama di sepanjang masa adalah mereka yang telah berhasil mendedikasikan hidupnya demi membaca dan menulis buku. Mereka pun telah mewakafkan diri menjadi pelopor budaya baca dari mulai lingkungan terdekat dan keluarganya sampai masyarakat makro dan bahkan negaranya.

Keakraban mereka dengan buku sungguh di luar batas apa yang bisa kita bayangkan. Mereka bukan lagi menjadikan kegiatan membaca sebagai hobi dan demi untuk mencari informasi ilmu dan pengetahuan lainnya, tapi bagi mereka, membaca sudah menjadi kebutuhan primer. Tidak hanya cukup dengan itu, membaca bahkan sudah menjadi konsep hidup yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Simak saja apa yang di’lapor’kan Ar-Raghib as- Sirjani dalam bukunya Iqra laa budda an taqra (Spiritual Reading):

“Ibnu Taimiyah adalah tokoh pembaca yang membuat dokter pribadinya pun sampai putus asa menasehati ulama besar ini untuk istirahat karena sakit keras yang dideritanya. Muridnya, Ibnu Qayyim al- Jauziyah, setelah melahap 200.000 buku, ia masih saja ‘kelaparan’ dan mencari buku-buku yang lain. Murid Ibnu Qayyim, Ibnu ‘Uqail, merasakan hasrat membacanya memuncak justru setelah ia berusia lebih dari 80 tahun.

Karena gemar membaca, Abu Thahir al- Hamawi tidak rela menukar buku-bukunya dengan emas dengan berat yang sama. Cerita lainnya, Ibnu Daqiq al-‘Ied sering meninggalkan shalat sunat karena terasikkan dengan kegiatan membacanya. Al-Jahizh, ulama besar ini sering menyewa tempat di berbagai perpustakaan dan menginap di sana dalam berbagai perjalanannya. Hasan al-Lu’lu I lain lagi, Selama 40 tahun ia tak pernah istirahat siang ataupun tidur malam kecuali dia meletakkan buku di dadanya. Tokoh lainnya adalah Ibnu Jaham dan Abdul Ghani al- Muqaddasi, bila Ibnu Jaham selalu mengusir kantuknya dengan mengambil buku dan membacanya, maka Abdul Ghani al-Muqaddasi sampai rabun matanya karena terlalu banyak membaca.

Optimalisasi peran perpustakaan

Sekali lagi, kita harus bersyukur dengan adanya perpustakaan yang dibangun, dikelola dan didanai pemerintah kota dan kabupaten Tasikmalaya ini. Namun, kita akan lebih puas bila pemerintah lebih serius dalam memanfaatkan perpustakaan ini sehingga ia bisa jadi ‘rumah singgah’ yang menunjang peningkatan pengetahuan dan wawasan warga Tasik.

Bila kemauan pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi perpustakaan lebih nyata, maka anggaran untuk membeli buku-buku baru pastilah tiap tahun ditingkatkan seiring peningkatan harga buku yang tiap tahunnya terus melangit. Dan tak ketinggalan, pembelian buku-buku baru tidak harus menunggu setahun sekali, tapi bisa diusahakan satu semester sekali, seiring deras dan banyaknya jumlah buku yang dicetak dan terbit setiap saatnya.

Bila asset warga yang bernama perpustakaan ini dibina, dikelola dan dikembangkan dengan serius, tentunya dengan kemauan keras pemerintah yang selalu menggembar-gemborkan optimalisasi pembangunan bidang pendidikan, maka tentu, budaya membaca warga Tasik akan meningkat, tanpa harus menunggu ‘propokator-propokator’ yang ‘mengompori’ warga untuk menyerbu perpustakaan, bukan untuk berdemo, tapi untuk bersama-sama menikmati hidangan spiritual dari kegiatan yang bernama “membaca”.

Wallaahu min waraa al- qashd

*Peminat masalah sosial-politik dan keagamaan. Dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO