MENANTI FILM KETIKA CINTA BERTASBIH
Oleh: Asep M Tamam*
Film nasional kita akhir-akhir ini terus bergeliat. Kuantitas dan kualitas pun bersipadan dan ini menandakan bahwa dunia seni peran di tanah air telah kembali bangkit. Setelah film Ayat-Ayat Cinta (AAC) laris manis di pasaran dengan raihan penonton sekitar 3,7 juta orang (PR, Rabu
Raihan angka penonton sebanyak itu baru terdata dari bioskop jaringan 21 saja dan belum ditambah dengan jumlah penonton di bioskop Blitzmegaplex. Jumlah itu masih akan terus bertambah mengingat hari-hari ke depan, penayangan film itu masih akan terus berlangsung. Produser dan co-producer film tersebut, Mira Lesmana dan Putut Widjanarko bahkan sampai saat ini masih melanjutkan misi promosinya hingga menyentuh wilayah-wilayah di daerah yang belum terjangkau jaringan bioskop seperti Aceh, Natuna, Rantau (Sumatera Utara), Prabumulih (Sumatera Selatan), Kamojang (Jambi), Kalimantan Timur dan Papua.
Fenomena Laskar Pelangi
Sejak 25 september 2008 lalu, film laskar pelangi yang dibintangi anak-anak asli wilayah propinsi Bangka-Belitung ini telah menyihir tidak hanya pecinta seni peran, tapi bahkan sampai anak-anak kecil. Di beberapa
Penulis yang baru sempat menonton seminggu yang lalu, punya apresiasi sendiri dengan film yang diadaptasi dari novel super best seller karya Andrea Hirata ini. Setelah setahun lalu sempat melahap novel aslinya, dan dag dig dug der ketika mendengar novel itu akan difilmkan, akhirnya wajah Ikal (yang punya cerita, Andrea Hirata), Lintang (si jenius), Kucai (KM Laskar Pelangi), Mahar (seniman laskar), A Kiong (seorang Khong Hu Chu yang terdampar di sekolah Islam militan itu) , Harun (penggenap 10 murid), Sahara (satu-satunya murid dari kaum Hawa), Trapani (perfectionist, staylist), Syahdan, Borek (Samson yang otot kawat tulang besi), dan ditambah Flo (masuk anggota laskar di tahun kelima) hadir di depan mata.
Sebagai sutradara yang sukses menangani film Petualangan Sherina beberapa tahun ke belakang, Riri Reza telah sukses mengolah Laskar Pelangi ini dan menggiring emosi penontonnya sehingga anak kecil pun tak mau beranjak dari tempat duduk bioskop. Sentuhan tangan Riri Reza telah mengombang ambing perasaan sehingga penonton ‘berjamaah’ menangis haru pada setting tertentu, juga serempak tertawa pada setting yang lain.
Menurut penulis, novel Andrea Hirata jauh lebih ‘dahsyat’ daripada filmnya. Hanya karena masyarakat kita masyarakat penonton, maka film Laskar Pelangi jauh lebih sukses daripada novelnya. Film Laskar Pelangi tidak cukup kuat dalam menggambarkan geniusitas sang penulis, padahal lembar demi lembar novel Laskar Pelangi benar-benar menggambarkan Andrea Hirata yang berilmu mumpuni dan daya hafal yang kuat terhadap sains (biologi, fisika, metal, ekonomi, politik), agama dan tentu saja ‘permainan’ bahasa.
Kesuksesan Laskar Pelangi ini, tahun 2009 nanti akan disusul oleh sekuelnya Sang Pemimpi yang ternyata sedari sekarang sudah mulai dipersiapkan strategi dan segala macam persiapannya. Tentunya, hari ini kita bisa terlebih dahulu membaca novelnya yang sudah diterbitkan pertamakali bulan Juli 2006 yang lalu dan beredar luas dari toko buku beretalase megah sampai toko buku di daerah-daerah.
Ketika Cinta Bertasbih
November ini adalah bulan pertama shooting sekuel Ayat-Ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman el- Syirazi (Kang Abik) yaitu dwilogi Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Yang pasti, audisi (seleksi) pemeran yang melibatkan salah satu stasiun televisi itu telah berhasil memilih pemeran Azzam, Ana Althafunnisa, Elliana, Furqan, Hafez, Salwa, Cut Mala, Tiara, Fadhil, Sara, Nasir dan lainnya.
Diperkirakan, kesuksesan Ketika Cinta Bertasbih (KCB) ini akan melampaui pendahulunya AAC. Cerita cinta Islami yang masih ber-setting Mesir tempat kuliahnya Habiburrahman el-Shirazi ini, menurut penulis lebih berwarna dibanding AAC. Bila cerita Fahri, Aisha dan Maria (AAC) dari awal sampai akhir terjadi di Mesir, maka akhir cinta Azzam-Elliana dan Furqan-Anna (di akhir cerita, Azzam beristrikan Anna dan Furqan menikahi Elliana) ini berawal di Mesir dan berakhir di Pulau Jawa.
Sebagai pemeluk moralitas religius yang kuat, Habiburrahman el- Shirazi (Kang Abik) dalam dwilogi Ketika Cinta Bertasbih ini masih menampilkan bentuk pacaran dalam Islam yang menurut versinya sedemikian suci dan indah. Dan memang, Kang Abik ingin mengajak dan mendakwahi pembacanya untuk mengenali
Bila di novel AAC kang Abik menampilkan Fahri yang memikat hati para wanita dengan keteguhan akhlak, kekhusyuan ibadah, rajin belajar dan kecerdasan emosional dan sosial, maka di novel dwilogi Ketika Cinta Bertasbih ini, kang Abik menggambarkan Azzam yang jujur, sederhana, pekerja keras (kuliah di mesir dengan membiayai diri dan keluarga dengan berjualan tempe dan bakso), bertanggung jawab dan cinta keluarga. Bila Aisyah yang dinikahi Fahri seorang miliarder berkebangsaan Jerman, maka Anna yang dinikahi Azzam adalah ‘bidadari’ putri seorang kyai di Jawa Tengah. Sebagaimana penulis pernah ganggarateun menunggu buku KCB jilid kedua sampai setahun lamanya, maka film KCB juga sudah ganggarateun penulis tunggu sampai masa tayangnya tiba, entah di bulan Desember tahun ini atau awal tahun 2009 nanti.
Pelajaran bagi insan film
Sebagai rakyat biasa, pikiran penulis tak pernah sampai kepada apa yang ada di benak sebagian pelaku perfilman di tanah air. Selain film-film bermutu dan mengusung nilai-nilai ketinggian moral seperti AAC, Laskar pelangi, dan lainnya, film-film bertema ‘jurig’, paranormal, pergaulan bebas, umbar aurat dan syahwat masih saja mereka ‘perjuangkan’ atas nama HAM, demokrasi dan ekspresi seni. Film-film yang menampilkan ajaran-ajaran moral yang kotor dan bertentangan dengan nilai agama, adat ketimuran dan adat ke-Indonesiaan bahkan hadir dengan arus yang lebih deras dibanding film yang membawa misi keindonesiaan dan ketinggian idealitas.
Maka, laku kerasnya film seperti AAC, Laskar Pelangi dan lainnya, seharusnya —menurut hemat penulis— menjadi bahan renungan bagi semua insan perfilman untuk mencipta karya serupa yang menampilkan citra orang
Kepuasan penulis dan umumnya anda yang telah menonton film Laskar Pelangi ini, tentunya telah menghembuskan semilir kerinduan akan film-film serupa di hari-hari yang akan datang. Lahirnya film-film bermutu ini menggambarkan tanggungjawab dari insan perfilman kita akan betapa pentingnya sebuah misi pengembangan pribadi rakyat
Wallaahu min waraa al- qashd
*Peminat masalah sosial-politik dan keagamaan. Dosen IAIC Cipasung dan STAI Tasikmalaya
Posting Komentar