MEMAAFKAN, BERAT TAPI MULIA
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik. Bersabarlah (hai Muhammad)! dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan."
Dalam lubab al- Nuqulnya, Jalaluddin al-Suyuthi menyatakan bahwa ayat 126-127
Kedua, ayat ini turun sesaat setelah usainya perang Uhud (625 M). Kekalahan menyakitkan yang dialami umat Islam (rujuk Ali Imran [3] : 153) diperberat oleh kondisi mayat umat Islam yang setelah terbunuh, anggota mayat mereka ditamtsil, yaitu disayat, dikoyak, dipotong, diinjak dan diguling-guling di pasir. Kondisi ini kemudian diperparah lagi ketika Nabi melihat jasad Hamzah bin Abdil Muthalib, sahabat, paman dan teman sebaya Nabi yang setelah ditombak oleh Wahsyi, budak dari Muth'im bin 'Adi, jasadnya dipereteli dan hatinya dimakan oleh Hindun yang menuntut balas atas kematian bapaknya, 'Utbah bin Rabi'ah. Nabi kemudian marah dan berjanji untuk membalas perlakuan orang-orang kefir ini dengan perlakuan yang tdak pernah dilakukan siapapun di tanah Arab. Husain Haikal dalam buku Hayat Muhammad mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Nabi tidak pernah sedemikian marah melebihi hari itu. Ayat ini turun membimbing Nabi untuk brsabar dan berjiwa besar menerima kekalahan.
Ketiga, ayat ini turu pada Fath Makkah (630 M). Ketika Mekah ditaklukan, seluruh penduduk Mekah menyerah tanpa perlawanan, ujung nyawa mereka berada di ujung lidah Nabi. Di hari yang bersejarah itu, dalam benak para sahabat terekam jelas perlakuan dan kekejaman yang mereka alami dari orang- orang kafir yang hari itu ada di bawah pedang mereka. Mereka yakin bahwa keputusan Nabi adalah kehancuran orang-orang kafir. Tapi ayat ini kemudian turun mengarahkan Nabi untuk mengampuni mereka. Nabi kemudian berkata: "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni (kalian), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang." (QS Yusuf [12] : 92). Generalle amnesty atau pengampunan umum ini kemudian menghadirkan pemandangan yang sangat indah, yaitu berbondong-bondongnya penduduk Mekah masuk Islam (QS al- Nashr [100] : 1-3).
Misi kerahmatan
Dr. Daud Atthar menegaskan, berulangnya satu ayat yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya –termasuk ayat ini— menandakan betapa pentingnya kandungan ayat tersebut. Nabi, demikian Imam Syafi'I dalam al-Ummnya, bukan hanya mampu meredam amarah, mema'afkan, memohonkan ampunan kepada orang yang bersalah, beliau bahkan sukses menjadi rujukan dalam hal 'mengalahkan hak-hak pribadinya selama bukan hak-hak Allah'.
Pada Fath Makkah yang bersejarah itu, Nabi tidak hanya memaafkan semua penduduk Mekah yang dulu memusuhi, menzhalimi, menyakiti, mencaci maki, mengusir dari kampong halaman dan memeranginya, Nabi bahkan mengampuni lima orang yang pasca perang Uhud dulu diponis mati dan dihalalkan darahnya; Abu Sufyan, Hindun binti Utbah bin Rabi'ah, Ikrimah bin Abi Jahal, Abdullah bin Sark dan Wahsyi.
Pada saat yang lain, orang dusun (badui) menemuinya dengan kasar dan tidak sopan, beliau tersenyum, memaafkan dan bertambah kasih sayangnya. Ayat "maka maafkanlah mereka dengan cara yang baik" (QS al-Hijr [16]) selalu membimbingnya dalam berinteraksi sosial dan mengembangkan misi kerahmatan semesta.
Setiap ada perkataan buruk tentang beliau yang disampaikan seorang sahabat, beliau tidak akan pernah mencari tahu siapa yang mengatakannya. Beliau bersabda: "janganlah ada seorang dari kalian menyampaikan apa yang dikatakan tentang aku, karena aku lebih senang keluar menemui kalian dalam keadaan hati yang bersih" (HR Abu Daud, Ahmad dan Turmudzi). Ketika ibnu Mas'ud menceritakan perkataan buruk seseorang tentang beliau, maka berubahlah raut mukanya dan bersabda: "Semoga Allah merahmati
Akhlak mulia Nabi ini kemudian menjadi acuan para sahabat dan generasi-generasi selanjutnya dalam melanjutkan misi kerahmatan ini. Namun dari semua sahabat, Ahnaf bin Qais adalah yang paling terkenal. Menurut Dr. Mustafa Murad dalam buku Sirat al- Sahabah, Ahnaf sendiri sukses menerapkan akhlak pemaaf ini karena belajar langsung dari ayahnya, Qais bin 'Ashim al- Minqari. Dalam buku yang lain, Fii Rihaab al- Ukhuwwah, Dr. Aidh al- Qarni mencatat bahwa Qais bin 'Ashim al- Minqari ini sepanjang hidupnya tak pernah marah.
Ketika mendengar salah seorang anaknya dibunuh oleh seorang laki-laki yang ibunya sedang berada dekat Qais, Qais tidak bergerak dari tempat duduknya. Ia bertahan untuk tidak memberikan ruang kerja bagi syetan untuk mengusik potensi marahnya. Yang terjadi kemudian adalah Qais berkata: "uruslah jenazahnya dan mandikanlah, bawalah mayatnya ke sini supaya aku menshalatkan dan menguburkannya, lalu ambilah seratus ekor unta untuk diberikan kepada anak itu (yang membunuh) agar dia tidak ketakutan... dan tenangkan ibunya agar dia tidak berburuk sangka kepada kami...dan semoga Allah mengampuni apa yang terjadi."
Kemuliaan pemaaf
Kehidupan sosial yang selalu diwarnai pergesekan karena perbedaan watak, kehendak dan kepentingan begitu lebar membuka peluang terlukanya hati, apakah disebabkan lidah (perkataan) atau anggota badan lainnya (perbuatan). Maka ayat 126 dan 127 dari surat al- Nahl ini menawarkan dua opsi yang keduanya sama bolehnya; membalas dengan perlakuan yang sama atau memaafkan. Namun titik tekan ayat ini adalah perintah Allah untuk memaafkan seberat apapun beban sakit hati dan dendam yang harus ditanggung.
Kalaulah dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kemampuan bersabar dan menahan diri adalah wujud dari pertolongan Allah, maka memaafkan, walau dirasa berat, adalah akhlak/watak yang tidak dimiliki sembarang orang. "Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar" (QS. Fushshilat [41] : 35). Pahala bagi orang yang terlatih untuk memaafkan adalah juga merupakan pahala yang besar di sisi Allah, "barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah (QS al- Syura [42] : 40). Kalaulah memaafkan mengantarkan seseorang kepada taqwa, "dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa"(QS. Al- Baqarah [2] : 237) maka memaafkan juga merupakan ciri-ciri ketaqwaan seorang muslim "dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang." (QS Ali Imran [03] : 134), dan yang pasti, orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain, maka kesalahannya akan mudah dimaafkan oleh Allah "dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"(QS al- Nur [24] : 22)
Penutup
Seorang pemaaf, biasanya menampakan wajah ramah, periang dan menawan. Bersinarnya wajah seorang pemaaf muncul sebagai pancaran dari gambaran hatinya yang bersih dan dadanya yang lapang. Sebaliknya, seorang pemarah, pendengki dan pendendam selalu memunculkan wajah yang sangar dan menakutkan. Kusamnya wajah seorang pendendam lahir dari gelapnya hati dan sempitnya dada. Watak para pemaaf akan menciptakan lingkungan dan suasana yang sejuk, nyaman dan penuh cinta kasih, senyaman kehidupan para sahabat yng disinari bimbingan seorang Nabi yang bersabda: "karena memaafkan, seorang hamba akan bertambah mulia...(HR Bukhari). Wallahu a'lam.
Asep M Tamam. M.Ag. dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC Cipasung, juga mengajar pada STAI Tasikmalaya.
Posting Komentar