MEMBUMIKAN MISI KERAHMATAN
Dan tidaklah kami mengutusmu, melainkan (menjadi) rahmat bagi alam semesta
Ayat ke 107
Ayat ini tidak menyatakan bahwa: "kami tidak mengutus engkau untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau agar engkau menjadi rahmat bagi seluruh alam." Hal ini memberikan pemahaman yang lebih luas bahwa totlitas wujud Nabi Muhammad merupakan rahmat bagi semesta alam. Maka wajarlah kalau dalam al- Quran tidak ada seorang pun yang dijuluki dengan rahmat kecuali beliau (ayat ini) dan tidak ada satu makhluk pun digelari sifat rahim kecuali beliau (QS. Al- Taubah [9]: 128)
Ayat ini memberikan penegasan bahwa kehadiran Nabi adalah sebagai rahmat yang sekaligus merupakan acuan bagi jalan hidup yang mesti ditempuh oleh seluruh umat Islam, kapanpun dan di manapun. Nabi, seperti disebutkan ayat ini, adalah rahmat bagi 'alam dan alam adalah kumpulan makhluk Allah yang hidup, baik hidup yang sempurna atau yang terbatas. Maka ada alam manusia, alam jin, alam malaikat, alam tumbuhan dan lain-lain, dan semua itu memperoleh rahmat dengan kehadiran Nabi, demikian M. Quraish Shihab dalam al- Misbahnya.
Sebelum Eropa mengenal organisasi pecinta binatang, Nabi telah mengajarkan perlunya mengasihi binatang. Banyak sekali pesan beliau menyangkut hal ini, dimulai perintah untuk tidak membebaninya melebihi kemampuannya sampai dengan perintah mengasah pisau terlebih dahulu sebelum menyembelihnya (HR. Muslim). Beliau juga memperingatkan bahwa ada seorang wanita masuk ke neraka karena mengurung seekor kucing hingga akhirnya mati tanpa memberinya makan dan tidak pula melepaskannya mencari makan sendiri (HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibn 'Umar).
Dalam ajaran Nabi Pembawa rahmat ini, terlarang memetik bunga sebelum mekar, atau buah sebelu matang, karena tugas manusia adalah mengantar semua makhluk menuju tujuan penciptaannya. Kembang diciptakan antara lain agar mekar sehingga lebah datang mengisap sarinya, dan mata menjadi senang memandangnya. Bahkan benda-benda tak bernyawa pun mendapat kasih sayang beliau. Ini antara lain terlihat ketika beliau memberi nama-nama bagi benda-banda khusus beliau. Pedang beliau diberi nama Dzul fiqar (yang bercabang), perisainya diberi nama Dzat al-fadhul (yang berjasa), pelananya diberi nama ad-daj (yang meleyani), tikarnya diberi nama al-Kuz (yang menghimpun), cerminnya diberi nama al-Midallah (yang mengantar), gelas minumnya diberi nama ash-Shadir (yang menyegarkan), tongkatnya diberi nama al-Mamsyuk (yang tinggi kuat) dan lan-lain. Itu semua untuk mengesankan bahwa benda-benda tak bernyawa itu, bagaikan memiilki kepribadian yang juga membutuhkan rahmat kasih sayang dan persahabatan.
Indahnya kasih sayang
Untuk mewujudkan misi kerahmatannya, Nabi pernah bersabda, "belum sempurna iman kalian sampai kalian mencintai saudara kalian sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri." (HR Bukhari Muslim). Bagi Nabi, betapa mahalnya harga kehormatan jiwa seorang manusia. Abdullah bin Umar berkata "aku melihat Rasulullah thawaf mengelilingi ka'bah sambil berkata: "alangkah indah dan harumnya baumu (ka'bah). Alangkah agungnya kehormtanmu. Demi Allah. Kehormatan seorang muslim di sisi Allah lebih mulia daripada kehormatanmu." (HR. Muslim)
Maka sejarah mencatat, gambaran praktek saling mencintai yang diperagakan para sahabat tidak pernah ada duanya. Perbedaan asal-usul, watak, kepribadian dan kepentingan tidak menghalangi mereka untuk manciptakan indahnya negeri impian yang berwujud masyarakat madani. Dr. 'Aidh al- Qarni, dalam bukunya fii rihaab al-ukhuwwah mengisahkan Umar bin Khattab yang berkata: " demi Allah, sungguh aku merasa malamku terasa panjang bila aku ingat saudara seimanku, aku barharap waktu pagi segera tiba agar aku segera memeluknya karena rindu ingin menemuinya." Maka keterpautan dan kebersatuan hati mereka telah diabadikan Allah,"dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Anfal [8] : 63)
Kerahmatan berubah anarkisme
Setelah berita kekerasan FPI yang menggegerkan itu berangsur menghilang, maka hari- hari terakhir ini kita disuguhi berita yang tidak kalah mengerikan. Anak-anak negeri ini mengekspresikan keinginnnya dengan membabi buta, merusak, membakar, meruntuhkan pagar, membuat kemacetan dan aksi-aksi yang lain. Seperti seorang anak kecil yang mengamuk ketika keinginannya dihalangi, demikian juga aksi yang dilakukan mahasiswa dan alumni aktifis mahasiswa satu dekade ke belakang. Alasan dan dalih mereka, seperti diungkapkan para korlapnya di layar televisi, sebetulnya masuk akal dan dapat diterima, tapi hukum agama dan Negara ini tidak menghendaki adanya aksi-aksi yang kalau dibiarkan akan merubah negeri ini menjadi hutan rimba.
Apapun alasannya, kekerasan yang diungkapkan untuk menyuarakan kehendak, akan bertabrakan dengan nilai ideal sebuah misi perjuangan suci menolong warga yang merana dihantam kenaikan harga BBM yang merembet kepada kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok. Misi kerahmatan yang diungakapkan dengan ekspresi anarkis justru akan menambah masalah yang runyam ini semakin bertambah runyam. Kekerasan pasti akan berbuah kekerasan, anarkisme akan menghasilkan anarkisme, dan permusuhan akan berbalas pernusuhan serupa.
Paradigma penduduk negeri ini dalam menyikapi perbedaan dan mengekspresikan keinginan harus segera dibenahi atau dirubah. Kita menyaksikan bahwa kehendak yang terekspresikan dengan anarkisme selalu menjauhkan dari target dan tujuan yang diharapkan. Lebih jauh dari itu, bahkan ekspresi-ekspresi tadi hanya menghasilkan antipati dan kebencian.
Misi kerahmatan yang terekspresikan dengan dialog, musyawarah, keteladanan, pengayoman dan jihad pemikiran akan lebih produktif menghasilkan gagasan-gagasan perubahan menuju kondisi yang lebih baik.
Penutup
Dalam membumikan kerahmatan semesta, pasti kita dihadapkan untuk menjaga nilai-nilai kesabaran dan keteladanan. Sabar karena waktu yang dibutuhkan tidak akan sebentar dan keteladanan dibutuhkan kerena seruan dan da'wah verbalistik (di bibir saja) selalu berdampak hanya sesaat. Wallahu A'lam
Asep M Tamam M Ag. Dosen UIN Bandung, dpk pada IAIC Cipasung. Juga mengajar di STAI Tasikmalaya.
Posting Komentar