Senin, 26 Januari 2009

mendesak, pencerahan politik grashroot

Oleh: Asep M. Tamam*


Pembelajaran demokrasi yang dimulai sejak ditenggelamkannya rezim orde baru, tampaknya perlu direfleksi ulang bila kita intens ‘mengaji’ pandangan masyarakat paling bawah tentang kabar politik paling mutakhir. Sungguh, kita akan mendapatkan berita yang cukup menyedihkan bila dikaitkan dengan realitas dan perkembangan dunia politik yang sedang berlangsung. Coba tengok ke kampung-kampung, pencerahan politik yang diidealisasi di berbagai media massa, cetak maupun elektronik tampaknya masih kalah oleh realitas pragmatisme masyarakat awam yang sengaja dibodohkan oleh sistem yang dikembangkan politikus-politikus busuk. Kekuasaan uang dan para ‘pejuang’nya, juga dominasi kekuatan Black Compagne nampaknya masih terlalu kokoh untuk bisa didobrak oleh kemapanan teori apapun untuk saat ini.

Thesis penulis di atas, pastinya tidak dimaksud untuk menggeneralisir kondisi masyarakat bawah di tanah air. Masih banyak, atau bahkan masih lebih banyak masyarakat lain yang budaya politiknya telah benar-benar tercerahkan oleh beruntunnya ajang demi ajang politik yang digelar. Tapi sekali lagi tengok ke bawah, sistem yang sedang berlangsung dan dikembangkan —apalagi setelah MK merubah definisi pemenang kursi legislatif dari nomor urut menjadi suara terbanyak— menggambarkan kedewasaan (maturity) para caleg dengan tim sukses harus terus dipertanyakan.

DEFINISI SUKSES POLITIK
Pemikiran pokok para politikus kita, saat ini hanya terfokus pada kata ‘menang’, dan memang itulah rumus politik. Kesuksesan dalam dunia politik asumsinya disamakan dengan kompetisi. Kompetisi sepak bola saja —yang diawasi wasit, pengawas pertandingan dan ditonton para penonton— masih juga ternodai oleh sikap unfair oknum yang ingin menyudahi pertandingan dengan kemenangan. Pemandangan ini serupa dengan apa yang terjadi dalam dunia politik. Dalam dunia politik, kemenangan yang dikompetisikan terkadang harus diraih walau dengan menghalalkan segala cara. Maka bisa kita saksikan di beberapa daerah, persaingan memperebutkan kursi legislatif di tingkat kabupaten/kota dilakukan dengan menjatuhkan partai lain, caleg partai lain atau bahkan dengan menjegal caleg dari partai yang sama.

Sukses, dalam wacana apapun terlebih dalam politik haruslah mengacu pada tiga variable; di awal (proses meraih kemenangan), di tengah (proses menjalankan amanah setelah memenangkan kompetisi) dan di akhir (setelah masa waktu emban amanah itu habis). Apa yang dilakukan para caleg saat ini, titik fokusnya masih berkutat pada variable pertama, yatu proses di awal. Indikasinya jelas, hampir kebanyakan caleg terkesan terlalu memaksakan diri dalam menggalang kekuatan dan dukungan dengan mengeluarkan modal tinggi. Caleg (lama atau baru) saat ini begitu intens membeli hati masyarakat bawah dan menampakkan diri di tengah warga dengan sangat mencolok. Ratusan bahkan ribuan spanduk-baligo-poster terkesan ditusukkan langsung ke mata warga masyarakat. padahal, di antara banyaknya anggota legislatif yang masih bekerja saat ini, hanya sedikit saja yang manfaat dari prestasi kinerjanya benar-benar dirasakan masyarakat, bahkan sebagian di antaranya mengakhiri masa kerjanya di penjara.


MENYIMAK LATAH POLITIK
Melelahkan bila kita merenungi kerja keras para politikus kita saat ini. Perubahan definisi pemenang dari nomor urut menjadi suara terbanyak membuat semua calon yang begitu banyaknya itu berpacu meraih kemenangan dengan asumsi bahwa hak meraih kemenangan menjadi seimbang. Semua calon terpacu untuk mengeluarkan segenap kemampuan mental, strategi dan terutama materil demi memenangkan kompetisi. Akibatnya, semua calon masuk ke wilayah ‘latah politik’. Setiap jengkal tanah, semua area kosong menjadi demikian semarak dipenuhi aneka warna spanduk-baligo-poster. Tak usahlah kita berfikir terlalu jauh, dari mana para caleg kere mencari modal untuk memaksakan diri mengikuti kompetisi dengan ikut-ikutan memasang spanduk-baligo-poster, karena beberapa di antara caleg kaya, ada juga yang tak memaksakan diri dan pemikiran politiknya tak sampai di sana.

Yang kemudian menarik disimak adalah bagaimana persaingan menjadi memanas di tingkat internal parpol. Di beberapa daerah, persaingan itu mengemuka setelah masing-masing caleg dari partai yang sama memilih tim sukses yang berbeda di dapil yang sama. Gengsi menjadi tim sukses pun dipertaruhkan. Semakin banyak caleg akan cohesif dengan semakin banyaknya tim sukses, dan semakin banyak tim sukses akan membuat kompetisi menjadi rentan konflik.

PENCERAHAN YANG MENDESAK
Mau tidak mau, caleg kita hari ini harus mengeluarkan berbagai jurus andalan menuju kemenangan. Resikonya, pengeluaran pun membengkak dan hal ini menggejala dari hulu sampai hilir republik tercinta ini. Akibat dari semua ini, warga masyarakat pemilih, terutama di tataran masyarakat terbawah menjadi objek pembodohan politik. Warga yang tak cukup ilmu politiknya dimungkinkan mempunyai pilihan caleg lebih dari satu, isa dua, tiga atau lebih sebanyak orang yang datang kepada mereka dengan membawa kalender, stiker dan lainnya. Celakanya, para pemimpin di kampung; ketua RT, RW bahkan para ‘ajengan’ pun, karena bukan PNS, mereka pun terbidik untuk melibatkan diri menjadi tim sukses.

Bila tak ada pencerahan dari berbagai pihak, dan bila tak ada orang yang imparsial (netral) dalam berpolitik, maka suasana politik di negeri ini akan terus terdegradasi menuju lembah yang lebih bawah. Pencerahan yang dilakukan media massa; televisi, Radio, Koran, pamphlet, brosur, dan lainnya sebetulnya sudah maksimal meskipun —menurut penulis— bagi masyarakat awam, arah pencerahan itu seakan ditujukan bagi orang lain, jauh di tempat yang lain.

Namun dalam suasana seburuk apapun, kita harus optimis dan berasumsi bahwa apapun yang telah terjadi dan sedang berlangsung, harus menjadi ‘materi’ pencerdasan politik bagi warga masyarakat, terutama masyarakat grash root. Proses politik di masa kampanye saat ini, adalah proses penyaringan mana politikus kita yang baik (segar) dan mana yang busuk. Ke depan, setiap warga masyarakat akan tahu dan bisa mendesikasikan diri dalam rangka perbaikan kondisi politik, demi menggapai taraf kehidupan yang juga semakin membaik.
Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah peminat masalah-masalah sosial-politik-keagamaan. Tinggal di Tasikmalaya

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO