Selasa, 10 Februari 2009

Menikmati Keindahan Bahasa al- Quran

Oleh: Asep M. Tamam*

Pusaka kebahasaan bangsa Arab merupakan bahan kajian kebahasaan terpenting di dunia. Orang-orang Arab sangat mencintai bahasa Arab bahkan hingga tingkat mensakralkan. Mereka memandang otoritas yang ada dalam bahasa Arab tidak hanya mengekspresikan kekuatan bahasa, tapi juga menjadi gambaran kekuatan mereka.

Bangsa Arab adalah satu-satunya bangsa di dunia ini yang menunjukkan apresiasi tertinggi terhadap ungkapan bernuansa puitis (syair), lisan ataupun tulisan. Philip K. Hitti, dalam History of The Arabs (2006) menyatakan, “Sulit menemukan bahasa yang mampu mempengaruhi pikiran para penggunanya sedemikian dalam selain bahasa Arab. Ritme, bait syair dan irama bahasa Arab telah memberikan dampak psikologis kepada bangsa Arab, layaknya hembusan ‘sihir yang halal’. Jika orang-orang Yunani mengungkapkan daya seninya terutama dalam bentuk arsitektur dan patung, orang-orang Ibrani mengungkapkannya dalam bentuk nyanyian agama, maka orang-orang Arab mengungkapkannya dalam bentuk sastra”.

Kecintaan orang-orang Arab terhadap seni sastra, adalah asset cultural terbaik mereka. Menggubah syair merupakan kebiasaan tradisional yang sudah melekat kuat yang dipengaruhi oleh lingkungan hidup dan lisan mereka yang fasih. Posisi syair bagi bangsa Arab, ibarat posisi piramida-piramida, candi-candi, obelisk-obelisk dan tulisan-tulisan yang ada pada barang-barang tersebut bagi sejarah bangsa Mesir purbakala. Dengan kata lain, syair Arab merupakan catatan publik (diwan) bagi bangsa Arab.

SASTRAWAN ARAB SEBELUM ISLAM
Status sebagai sastrawan (penyair) adalah status yang luar biasa tingginya di kalangan bangsa Arab pra-Islam. Para penyair mewakili kelas intelek di antara mereka. Munculnya seorang penyair di kalangan suku tertentu dianggap peristiwa teramat penting. Posisi penyair begitu sakralnya sehingga seiring perkembangan kharismanya, dia memainkan berbagai peran sosial.

Dalam peperangan, lidah seorang penyair sama efektifnya dengan keberanian para pejuang. Pada masa-masa damai, pedasnya lidah seorang penyair merupakan ancaman bagi stabilitas publik. Seorang penyair dapat membuat sebuah suku mengambil tindakan tertentu, dipengaruhi oleh syair-syairnya yang mirip dengan hasutan seorang demagog dalam sebuah kampanye politik modern. Sebagai agen pembuat berita atau jurnalis pada masanya, ia mendapat banyak hadiah dari pemberitaan-pemberitaannya. Syair-syair yang dilestarikan lewat ingatan dan ditransmisikan secara lisan, merupakan sarana publisitas yang sangat efektif dan tak ternilai. Ia adalah pembentuk opini publik. Qath’ al- lisan (memotong lidah) adalah hukuman yang biasa dilakukan dalam rangka menghindari dan menghentikan kecaman-kecaman seorang penyair.

Seorang penyair di satu kabilah ibarat seorang nabi di kalangan umatnya. Bila muncul seorang penyair di antara mereka, maka berdatanganlah utusan dari kabilah-kabilah yang lain untuk menyampaikan tahniah (ucapan selamat). Untuk itu, maka diadakanlah jamuan besar-besaran dengan menyembelih binatang-binatang ternak. Wanita-wanita tercantik pun didatangkan untuk bernyanyi, menari dan menghibur para tetamu.

Kehebatan penyair dengan syi’ir-syi’rnya digambarkan sedemikian tingginya. Seorang penyair, dengan syair-syairnya dapat meninggikan derajat seseorang yang tadinya hina, atau sebaliknya, ia dapat menghina-dinakan seseorang yang tadinya mulia. Sebagai contoh, Abdul ‘Uzza ibn ‘Amir, ia adalah seorang yang tadinya hidup terhina dan melarat. Ia mempunyai banyak anak perempuan dan tidak ada seorang pun pemuda yang tertarik dan mau memperisteri mereka. Kemudian Al A’sya, penyair ulung dan terkenal memuji Abdul ‘Uzza ibn ‘Amir dan anak-anak gadisnya. Syair-syair pujian Al A’sya lalu membahana di mana-mana. Dengan demikian masyhurlah Abdul ‘Uzza dan kehidupannya segera membaik. Tak hanya itu, para pemuda pun datang melamar putri-putrinya.

Penyair lainnya, Al Huthaiyah pernah memuji sekelompok manusia. Mereka merasa berbangga dengan pujian Al Huthaiyah itu seakan-akan mereka beru saja mendapatkan anugerah materi termahal yang pernah ada pada masa itu. Sebaliknya, ketika sekumpulan orang dicela oleh Hasan ibn Tsabit, maka menjadi terhinalah mereka seketika itu juga. Itulah syi’r dan begitulah pengaruhnya di kalangan bangsa Arab pra-Islam.

CAHAYA BAHASA AL- QURAN
Setting bangsa Arab dan budaya mereka dalam menggubah dan menggandrungi syair, menjadi satu di antara berbagai alasan mengapa al- Quran diturunkan di tengah-tengah mereka. Dan memang, semenjak al- Quran turun ayat demi ayat, pamor dan kharisma syair Arab menurun dan bahkan jatuh ke titik terendah.

Atas kehendak Allah, Ia menurunkan al- Quran dengan menggunakan kosa kata bahasa Arab, bahasa mereka. Ini diingatkan-Nya secara tersurat dan tersirat, antara lain melalui surah-surah yang diawali dengan huruf-huruf hijaiyah (alphabet bahasa Arab). Seakan-akan al-Quran berkata kepada mereka yang ragu, “Inilah al- Quran, kalimat-kalimatnya terdiri dari huruf-huruf yang kalian kenal seperti alif, lam, mim, shad, kaf, ha, ya, ‘ain, shad, ya, sin dan-lain-lain. Tetapi, keharmonisan irama yang timbul dari rangkaian huruf demi hurufnya benar-benar di luar kemampuan siapapun juga. Gema irama yang harmonis dalam al- Quran ibarat lukisan yang lengkap, dengan warna-warni yang elegan, ditambah berbagai hiasan indah, seimbang dan memancarkan aneka ragam pesona.

Hadirnya al- Quran mengundang wacana publik bagi bangsa Arab tentang sesuatu yang benar-benar baru berhubungan dengan kegemaran mereka ‘merangkai kata’. Tentang bagaimana reaksi orang-orang Arab ketika turunnya al- Quran, M. Quraish Shihab dalam Mukjizat al-Quran (2006) menulis: “sesungguhnya orang-orang yang hidup pada masa turunnya al- Quran adalah masyarakat yang paling mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al- Quran serta ketidakmampuan manusia untuk menyusun semacamnya. Tetapi, sebagian mereka tidak dapat menerima al- Quran karena pesan-pesan yang dikandungnya merupakan sesuatu yang baru. Hal itu masih ditambah lagi dengan ketidaksejalanan al- Quran dengan adat dan kebiasaan serta bertentangan dengan kepercayaan mereka. Inilah yang tidak dapat mereka terima. Tetapi Bukankah mereka pun menyadari akan keunikan dan keindahan kata-katanya? Benar. Tetapi bagaimana dengan kepercayaan dan adat leluhur? Kepercayaan harus dipertahankan, al- Quran harus ditolak. Begitulah kesimpulan tokoh-tokoh masyarakat waktu itu.”

Suasana yang sedemikian complicable ini ditambah pula dengan tantangan Allah swt. supaya mereka menggubah bahasa sastera terbaik yang mereka miliki untuk menandingi al- Quran. Pertama, Allah menentang siapapun yang meragukan al- Quran untuk menyusun semacam al- Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk meyusun sepuluh surat semacam al- Quran (baca QS 11:13). Ketiga, menentang mereka untuk menyusun satu surat saja semacam al- Quran (baca QS. 10:38). Keempat, menentang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surat dari al- Quran (baca QS. 2:23).

Rupanya, mereka begitu terpepet, terpojok dan kehabisan alasan untuk menolak al-Quran. Berbagai cara mereka lakukan untuk mengenyahkan kekikukan. Ketidakberkutikan kafir Mekah, terutama para penyairnya, membuktikan kemukjizatan dan kebenaran al-Quran, sebuah babak baru dalam sejarah kebahasaan bangsa Arab. Dalam sejarah mereka, bahasa Arab telah melewati masa-masa pasang dan surut, meluas dan menyempit, bergerak dan statis, modern dan kolot, sesuatu yang berbeda dari bahasa al- Quran yang dalam berbagai fasenya berada dalam kedudukan paling tinggi dan menguasai semuanya.
Demi menutupi malu, mereka menyematkan gelar demi gelar yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad. Sesekali mereka menyebutnya ‘penyair’ (sya’ir), di lain kesempatan mereka menggelari Nabi sebagai ‘dukun’ (kahin), dan di lain waktu mereka menganggapnya sebagai ‘orang gila’ (majnun).

Yang menarik dalam konteks ini, adalah gelar penyair yang mereka alamatkan kepada Nabi saw.. Al-Quran mengabadikan ungkapan mereka dalam firman-firman-Nya, (QS. Al- Anbiya [21]:5), (QS. Ath-Thur [52]:30-31), dan (QS. Ash- Shaffat [37]:36-37). Untuk itu, Allah swt tegas menyatakan bahwa al- Quran bukanlah syair, dan Muhammad bukanlah penyair. Ia berfirman, “Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. (QS. 36:69). Dalam ayat-Nya yang lain Ia pun menegaskan, “Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. (QS. 69: 40-41)

Pada perkembangan selanjutnya, track sastra Arab menjadi lurus. Masa depan bahasa Arab pun lebih cerah dan lebih menjanjikan. Di kemudian hari, keindahan bahasa al- Quran menjadi inspirasi lahirnya ilmu Balaghah, ilmu yang telah mapan menjadi acuan para penikmat sastra Arab sampai hari ini. Misi al-Quran ternyata begitu lengkap, bukan hanya sebagai pemuas dahaga mereka yang mencari hidayah, tapi juga bisa dinikmati dari berbagai sisi, salah satunya adalah sisi kebahasaan dan kesusastraan.
Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIC Cipasung dan Dosen Bahasa Arab STAI Tasikmalaya.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO