Senin, 26 Januari 2009

Obama, Israel dan Dunia Islam

Oleh: Asep m. Tamam*

Untuk saat ini, lupakan dulu Dewi Persik dengan Aldiansyah Tahernya, atau hilangkan dulu ingatan kita tentang kisah cerai pasangan suami isteri Pasha Ungu dengan Okky iterinya, atau issu murahan tentang pernikahan sirri Yuni Shara dengan Habil Marati, anggota DPR RI karena untuk saat ini, semua perhatian dunia tertuju ke pesohor yang muncul dari dunia politik. Pria kurus berkulit hitam itu baru saja mencatatkan diri sebagai presiden Amerika ke 44 dan presiden pertama dari kulit hitam.

Sesaat setelah pidato berdurasi 20 menit itu, berbagai komentar dari negara A sampai Z bereaksi. Satu demi satu kalimat yang terucap lalu ditafsirkan beragam oleh berbagai komunitas, sesuai dengan minat dan kecenderungannya. Tajuk Republika Kamis, 22/1/2009 misalnya, mencatat kata-kata yang mengandung ‘ruh’ negatif semisal conflict, blame, destroy, fist, corruption, deceit, wrong, atau dissent. Beberapa kalimat yang ditujukan khusus bagi umat Islam seperti “Ketahuilah bahwa kamu berada di sisi yang salah” atau “Kami akan mengulurkan tangan jika kamu bersedia membuka kepalan tinjumu” atau “We will not apologize” juga menggambarkan posisi Amerika yang selalu bersikap jumawa. Sejalan dengan itu, berbagai kalangan di dunia Islam pun menyesalkan isi pidato itu karena tidak menyinggung aggresi Israel terhadap Palestina. Bungkamnya Obama atas aggressi yang tak berujung itu mengundang Amin Rais, vokalis lantang kita, menilai pidato Obama tidak adil. Mestinya, kata Amin, “kalimat yang mengarah pada Israel pun harus ada”.

Namun demikian, sikap berbeda muncul juga dari berbagai kalangan lainnya. Dalam pidatonya yang disiarkan langsung ke seluruh dunia —minus korsel— itu, Obama juga menyiratkan janjinya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik untuk dunia Islam. Kaum muda muslim di negeri Paman Sam, seketika itu juga menyatakan termotivasi untuk melakukan perubahan di negaranya. Salah satu organisasi Muslim terbesar di Amerika, Council on American-Islamic Relations (CAIR) juga menyambut positif keinginan Obama untuk meratas jalan baru dengan negara-negara muslim. Tak hanya di Amerika, ratusan pemimpin muda muslim dari seluruh dunia yang tengah berkonfrensi di Doha, Qatar, telah mengirimkan surat terbuka kepada Obama tentang optimisme pemuda muslim dunia di tangannya.

POSISI ISRAEL
Selasa, 20/1, Capitol Hill menjadi saksi pelantikan terbesar bagi seorang presiden di Amerika. Acara megah dan penuh suka cita itu dihadiri sekitar 2 juta orang dan disaksikan langsung oleh ratusan juta orang di seantero jagad. Sungguh, ini adalah perkumpulan manusia terbesar sepanjang sejarah di Washington dan tontonan politik paling membius bagi warga planet bumi. Gambaran keangkeran hari itu betul-betul menandakan betapa besar harapan Bangsa Amerika dan warga dunia terhadap perubahan signifikan yang akan dibawa Obama empat tahun ke depan.

Lain di Amerika, lain pula di Palestina. Dua pemandangan berbeda yang tepajang di berbagai stasiun TV saat itu begitu kontras. Rintihan warga Gaza yang berjumlah 1,5 juta jiwa itu menyayat hati kita saat mereka menangisi 1.400 keluarga atau saudaranya yang wafat, 400 orang lebih di antaranya adalah anak-anak, 100 orang perempuan dan 5.300 orang cidera. Tak hanya itu, mereka pun tengah menangisi 4000 bangunan yang hancur dan 20.000 bangunan yang tengah menunggu rubuh. Keadaan ini diperparah dengan sekitar 50.000 orang penduduk yang hidup tanpa tempat tinggal dan 400.000 orang hidup tanpa air bersih.

Kebiadaban tiga pekan yang menimbulkan kerugian 2 milyar US$ itu, kelihatannya menjadi bukti kemenangan Israel atas Palestina, padahal secara moril mereka jatuh, demikian juga promotor-promotornya, terlebih Inggris. Namun perang belumlah berakhir. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam Opini di Kompas, Kamis 22/1, membocorkan sebuah petisi rahasia dari 322 kaum akademisi Inggris, dengan berbagai latar profesi bagi penyelesaian menyeluruh konflik Israel-Palestina. Terjemahan petisi itu, “Pembantaian besar-besaran di Gaza adalah Fase perang paling akhir yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina yang sudah berlangsung lebih dari 60 tahun. Tujuan perang ini tidaklah berubah: menggunakan pasukan militer secara melimpah untuk menghabisi rakyat Palestina sebagai sebuah kekuatan politik, kekuatan yang mampu melawan pencaplokan Israel atas tanahdan sumber-sumber mereka”.

Rupanya, Israel yang diklaim HAMAS sebagai pecundang karena hanya mampu membunuh 48 orang saja dari pasukan HAMAS, akan tetap melanjutkan misi Dawud AS 30 abad lalu itu untuk menjadikan tanah Kanaan dan Palestina sebagai tempat berkumpulnya 14 juta warga Yahudi yang hari ini tercecer di bebagai negara di dunia. Azyumardi Azra, cendekiawan muslim asal Ciputat, menyiratkan pesimismenya atas apa yang hari ini terjadi pasca pelantikan Obama. Dalam Resonansi Republika kamis, 22/1, ia menyatakan bahwa meski Israel secara sepihak menyatakan menghentikan agressinya, jelas konflik dan perang terus menggantung di langit Timur Tengah, khususnya di antara Palestina dan Israel. Penghentian agressi dan gencatan senjata selama ini hanyalah menjadi kesempatan jeda untuk kembali memperkuat posisi ke dua belah pihak.

Posisi Israel yang telah terpuruk di mata dunia itu, diperkuat oleh posisi PBB yang beberapa hari ke belakang mulai memperlihatkan sikap. Walaupun personal, Sekjen PBB Ban Ki-Moon, setelah menyaksikan langsung sisa-sisa gempuran Israel di Gaza, menyatakan kegeramannya atas pemandangan yang ia saksikan langsung di Gaza. Ban Ki-Moon menyerukan agar digelar penyelidikan terhadap aksi serangan biadab yang dilakukan Israel itu dan mendesak agar siapaun yang terlibat dan bertanggung jawab atas serangan itu harus diberi hukuman yang setimpal (Media Indonesia, Kamis 22/1).

WAJAH DUNIA ISLAM
Kehadiran Obama, si anak Menteng yang hilang itu, mau tidak mau menjadi pertimbangan sendiri bagi Israel untuk memilih maju terus ataukah terhenti di persimpangan jalan dalam rangka melancarkan aggresinya di Gaza. November 2008 lalu, ketika ia diumumkan sebagai pemenang dalam pemilu Amerika, pengamat politik luar negeri kita, Bakhtiar Ali mengingatkan kita umat Islam di Indonesia agar tidak terlalu bahagia dengan kemenangan Obama. Kita, katanya, hanya tahu Moslem connection Obama tanpa tahu Judaism connectionnya. Kekuatan lobi Yahudi takan mungkin dikalahkan lobi Islam secanggih apapun caranya.

Jargon perubahan yang dikumandangkan ayah dari Malia (10) dan Shasha (7) dan suami dari Michelle ini (uniknya, Obama sendiri telah menjadi personifikasi perubahan itu sendiri) ditunggu realisasinya, terutama dalam 100 hari pertama pemerintahannya. Perubahan yang paling ditunggu oleh dunia Islam saat ini, minimal ia harus berbeda dengan Bush yang wajahnya saja telah memperlihatkan tampang drakula. Berahi perang dan nafsu berkuasa Bush yang dipraktekkannya selama dua periode menjadi presiden Amerika betul-betul telah mengorbankan umat Islam dunia secara keseluruhan. Kebencian masyarakat muslim dunia membuncah, sehingga pantaslah baginya menerima “ciuman perpisahan” dari Muntazer al- Zaidi, wartawan Al- Baghdadia yang mewakili dunia Islam dan lalu mendapatkan apresiasi positif bukan hanya umat Islam, tapi bahkan dari penganut komunis di China.

Langkah pertama Obama untuk perbaikan hubungan di Timur Tengah patut mendapat perhatian serius. Ia telah memilih George Mitchell sebagai utusan khusus AS di Timur Tengah. Pengalaman Mitchell dalam menangani konflik di dunia cukup diperhitungkan. Ia pernah menjadi mediator dalam perundingan damai Irlandia Utara dan mengakhiri konflik berdarah itu pada tahun 1998. Di tahun 2000, dia juga memimpin panitia penyelidikan kekerasan di Timur Tengah dan merekomendasikan Palestina menyetop serangan ke Israel dan Israel berhenti mendirikan bangunan di tanah pendudukan. Untuk itu, kita akan menunggu gebrakan awal Mitchell dan berharap, umat Islam di dunia bisa sedikit bernafas lega dan merasakan keadilan global yang di masa Bush hanya utopi belaka.

Dunia Islam, walaupun berbeda sikap atas konflik di Gaza —terutama para pemimpin Arab Saudi, Mesir, Yordania dan Tunisia— tapi secara umum rakyatnya satu kata. Penulis sendiri, ketika beberapa hari berturut-turut menyimak siaran langsung Al-Jazeera di ruang multi media IAIC Cipasung bersama seorang dosen asli asal Mesir, ustadz Muhammad bin Ismail, merasa geram dengan sikap para pemimpin Arab, terutama keempat negara di atas dan lantas mencari jawaban kenapa sikap mereka seperti demikian. Jawabannya penulis dapatkan dari tulisan Azyumardi Azra dalam resonansi Republika, 22/1. Alasan pertama adalah kepentingan politik dalam negeri dan kedua, karena ketergantungan mereka pada Amerika Serikat.

Kebersamaan kata warga muslim dunia, juga tercermin dari konferensi ulama internasional empat hari yang dilangsungkan di Mekkah dan berakhir Kamis, 22/1 lalu. Konferensi yang dihadiri 170 ulama dan intelektual muslim dari seluruh dunia itu berhasil merumuskan Fatwa Charter (piagam fatwa) yang salah satu isinya mewajibkan setiap muslim di dunia membantu umat Islam di Gaza yang ditindas dan dibantai Zionis Israel.

KAPAN DUNIA ISLAM MANDIRI?
Bila menyimak kisah ketokohan yang diidolakan Obama, kita bisa berharap ia akan berbeda dari Bush. Tokoh idola Obama adalah Abraham Lincoln dan Dr. Martin Luther King. Abraham Lincoln adalah pencetus penghapusan perbudakan melalui proklamasi emansipasi pada 1 januari 1863 dan Martin Luther King adalah figur kunci perjuangan hak-hak sipil Amerika serta peraih nobel perdamaian 1964. dua tokoh itu telah memberikan inspirasi kemerdekaan dan kesamaan hak; hal yang sedang diharapkan warga muslim dunia dari Obama, yaitu agar segera terwujud di percaturan politik internasional.

Citra buruk Amerika mengental selama dua periode pemerintahan Bush. Pada saat yang sama, AS digambarkan sedang mempereteli kekuatannya sendiri dan lalu menjdi sebuah negara yang sempat terpuruk pada titik terendah karena kebijakannya untuk memerangi terorisme dunia salah arah. Dunia berharap, Amerika di bawah komando Obama tidak lagi memainkan peran sebagai jagoan dunia yang bisa semaunya mengintervensi urusan dapur negara lain. Krisis financial di Amerika membuktikan bahw sang jagoan pun rapuh dan tak berdayatanpa dukungan dan kerja sama dengan negara lain.

Namun bagi ymat Islam di dunia, Obama tetaplah Amerika. Change itu tetaplah hanya bagi Amerika (Radar Tasik, Kamis, 22/1). Dunia lain tetaplah berjalan sebagaimana biasanya. Ada yang menunggu, ada yang tak peduli, ada juga yang bersiap-siap dengan jalannya masing-masing. Umat Islam di dunia haruslah belajar dan terus belajar bahwa semua harapan kemajuan dan kemenangan di berbagai bidang harus diraih dengan bertumpu kepada kemampuan dan potensi besar yang dimilikinya. Sampai hari ini, harapan itu masih terpendam, terkubur oleh masalah-masalah pribadi para pemimpinnya yang belum juga mau bersatu dan masih saja mau berlindung di ketiak Amerika, demi menyelamatkan ‘dunia kebendaan’, hal yang sangat murah harganya di mata Allah SWT.
Wallaahu min waraa al- qashd

*penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Institut Agama Islam Cipasung (IAIC) Tasikmalaya, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tasikmalaya.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO