Minggu, 08 Maret 2009

kewajiban dakwah dan problema keumatan

Oleh: Asep M. Tamam*

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung

Surat Ali ‘Imran ayat 104 ini, adalah salah satu ayat paling populer yang berhubungan dengan dakwah selain ayat ke 125 dari surat an- Nahl [16] “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”, Ali ‘Imran [3]: ayat 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” dan Fushshilat [41]: ayat 33. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”

Ayat ini (Ali ‘Imran [3] ayat 104) Mengandung tiga hal yang harus dilakukan oleh umat Islam, baik secara pribadi ataupun berkelompok, berhubungan dengan upaya pemeliharaan masyarakat dari berbagai hal yang bisa menjerumuskan mereka kepada kesengsaraan di dunia dan kecelakaan di akhirat. Pertama, yad’uuna ilal khair mengajak kepada kebajikan, kedua ya muruuna bil ma’ruuf menyuruh kepada yang makruf dan ketiga yanhauna ‘anil munkar mencegah dari yang munkar.

Dalam tafsir al- Misbahnya (2002), M. Quraish Shihab menjelaskan kewajiban dakwah kepada dua pendapat umum para ulama yang berbeda. Perbedaan demikian dikarenakan kata minkum dalam ayat di atas difahami oleh sebagian mufasir dengan makna ‘sebagian di antara kamu’, dan mufassir yang lainnya memahami min (harf jar) lilbayaan atau ‘penjelasan’, artinya kewajiban dakwah dibebankan kepada semua umat Islam. M. Quraish Shihab sendiri lebih memilih pemahaman pertama, dakwah adalah kewajiban sebagian muslim saja tanpa menutup kewajiban semua umat Islam untuk saling mengingatkan satu dengan yang lain.

Namun demikian, Abdullah Ahmad al- ‘Allaf dalam bukunya Kullunaa du’aat aktsar min aalaaf fikrah wa wasiilah wa usluub fii al- da’wah ilallaah (2008) dan banyak ulama lainnya memahami bahwa da’wah adalah kewajiban setiap individu tanpa kecuali. Dengan kata-katanya yang indah ia berujar, “Da’wah adalah kewajiban yang mesti dilakukan seluruh umat Islam yang mampu memikulnya, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, baik secara teoritis maupun praktik”. Terlepas dari dua pendapat yang sebetulnya sama tapi berbeda penekanan ini, aktifitas da’wah dalam Islam tak dapat ditawar-tawar lagi, ia adalah prasyarat keberlangsungan hidup umat Islam di sepanjang zaman. SK dari Allah SWT. untuk merekomendasikan setiap orang menyibukkan diri di dunia dakwah termaktub dalam ayat ke 110 dari surat Ali ‘Imran.

Dalam ayat ini (Ali ‘Imran 104) terdapat dua kata yad’uuna (mengajak) dan ya muruuna (memerintah). Sayyid Quthub dalam fii zhilaal al- Qur’aan mengemukakan bahwa, penggunaan dua kata yang berbeda itu menunjukkan keharusan adanya dua kelompok dalam masyarakat Islam. Kelompok pertama bertugas untuk mengajak khair, dan kelompok kedua bertugas untuk memerintah ma’ruuf dan melarang munkar. Kelompok kedua ini, tentulah memiliki kekuasaan di bumi, termasuk di antaranya adalah pemerintah.

Apa makna al- khair, al- ma’ruf dan al- munkar? Ibnu Katsir dalam tafsir al- Quran al- ‘azhimnya memberikan batasan al-khair dengan nilai kebaikan universal yang diajarkan dalam al- Quran dan sunnah. Sedangkan al- ma’ruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al- khair. Adapun al- munkar, ia adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Ayat di atas menjelaskan betapa pentingnya mengajak kepada al- khair yang kemudian didahulukan penyebutannya, kemudian memerintahkan kepada yang ma’ruf lalu melarang yang munkar.

DAKWAH DAN PROBLEMANYA
Di setiap masanya, Indonesia adalah negeri yang kaya akan ulama. Mereka berdakwah sesuai kapasitas masing-masing dan efektivitas dakwah mereka terlihat dari tersebar dan mendominasinya umat Islam di pelosok tanah air. Gerakan dakwah massif ini telah merubah Indonesia yang Hinduis dan animis menjadi Islamis. Dan secara mencengangkan, Indonesia lalu menjadi sebuah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia.

Yang harus menjadi bahan renungan bagi kita, adalah kenapa dalam beberapa dekade ke belakang umat Islam terdegradasi secara kuantitatif, bahkan juga secara kualitatif? Jawaban dari pertanyaan ini sangat komplek menyangkut faktor internal umat Islam sendiri ditambah faktor eksternal. kemudian, sering juga penulis dihadapkan dengan pertanyaan klasik “kenapa gairah umat islam untuk mengamalkan ajarannya sedemikian lesu?” jawaban dari pertanyaan inipun sangat komplek. Lalu pertanyaan berikutnya muncul, “apakah kehadiran berbagai institusi dan lembaga dakwah di Indonesia sudah efektif?” sekali lagi, jawaban dari pertanyaan inipun juga komplek. Satu lagi pertanyaan tersisa, gencarnya dakwah di media massa, cetak ataupun elektronik, juga banyaknya da’i da’i muda yang cukup enerjik, kenapa tidak kohesif dengan perubahan dan perbaikan? Jawabannya pun tentunya komplek.

Kompleksitas problematika yang dihadapi umat Islam ini, bila dikaitkan dengan masalah dakwah, andai ditelisik lebih ke dalam sebetulnya tak ‘rumit-rumit’ amat. Bangsa Indonesia adalah bangsa penonton dan pendengar, bukan bangsa pembaca. Menonton dan mendengar adalah amaliah keseharian umat Islam di Indonesia. Menonton dan mendengar dakwah pun bukan hal baru bahkan sudah melekat kuat pada jiwa dan raga mereka.

Masalah pokok yang perlu dikemukakan untuk menjadi bahan renungan kita adalah, ruh atau jiwa dari dakwah yang dihadirkan para pendakwah dan ulama jaman dulu masih murni dan tak terkontaminasi unsur luar yang sekarang ini sedemkian sulit dikendalikan. Sementara ruh dan jiwa dakwah saat ini, maaf, seakan gersang karena kurangnya nilai-nilai keteladanan, keikhlasan, kesungguhan, profesionalitas, dan dari hati ke hati. Faktor-faktor inilah yang dikatagorikan sebagai faktor psikologi massa dalam dunia dakwah.

Seni dakwah yang dipraktekkan dengan teori alakadarnya di jaman dulu, juga merupakan faktor yang saat ini sudah sangat mendesak untuk dihadirkan. Seni dakwah yang dimaksud adalah tadarruj (berjenjang) dalam dakwah. Ibrahim bin Abdillah al- Muthlaq menulis buku al- Tadarruj fii da’wati al- Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (2008). Secara sistematis beliau merunut sejarah dakwah Nabi SAW yang memperagakan keberjenjangan dakwah, apakah dari segi materi, waktu, tempat dan objek dakwah. Sekarang ini, materi dakwah yang disuapkan langsung ke objek dakwah (audience) terpotong-potong dan tematis, sesuai kecenderungan dan minat mereka dalam menonton TV atau mendengar siaran radio.

OPTIMALISASI KHUTBAH JUMAT
Satu hal yang pasti, khutbah jumat adalah cara yang paling efektif dalam keberlangsungan dakwah di zaman Nabi SAW dan para sahabat RA. Disebut efektif karena di zaman ini, Nabi —juga para sahabat— sekaligus menjadi khatib jumat setiap hari Jumat dan dihadiri oleh semua sahabat. Berbeda dengan khutbah Jumat, ta’lim yang dilakukan Nabi tidak dihadiri oleh semua kalangan sahabat. Dalam hal ini, Prof. DR. Mustafa Murad dalam bukunya siirat al- Shahabah (2006) menuliskan cerita para sahabat tentang suasana dan keadaan dakwah di zaman Nabi. Umar bin Khattab dalam hadits riwayat al- Bukhari menceritakan, bahwa beliau mencari nafkah dengan berdagang di kampung Bani Umayyah bin Zaid. Namun demi kecintaannya pada Nabi dan ilmu, ia melakukan tanaawub (giliran) dengan seorang sahabat dari kalangan Anshar, sehari ia sendiri yang datang kepada Nabi, lalu hari berikutnya giliran sahabatnya itu yang menemui Nabi. Sepulang dari Madinah, kedua sahabat ini pasti saling berkunjung untuk menyampaikan apa yang diterimanya dari Nabi, apakah ayat-ayat al- Quran yang baru turun ataupun hadits.

Al- Barra bin ‘Ajib juga berkata, “Tidak semua sahabat Nabi mendengar setiap hadits yang disampaikanya. Di antara kami ada yang bertani, berdagang, dan bekerja dengan pekerjaan lainnya. Selain itu, kami pun butuh waktu luang untuk kumpul keluarga, ia berkata, “kaanat lanaa dhai’ah wa asyghaal” untungnya, ada kegemaran lain di antara mereka, yaitu mereka akan selalu menyampaikan apapun yang didengar dari Nabi itu kepada sahabat-sahabat lain yang tidak hadir, ia melanjutkan, “walaakinnannaasa laa yakdzibuuna hiinaidzin” (HR. Ahmad dan al- Hakim).

Dewasa ini, miris juga kita menyaksikan ironi dakwah yang terjadi di tanah air, pulau Jawa khususnya berkenaan dengan suasana dalam mesjid di saat khutbah Jumat sedang berlangsung. Disebut ironi karena suasana itu mencerminkan sistematika dan materi dakwah yang disampaikan tidak atau belum membumi. “Gemprah”nya jamaah berjamaah tidur di saat khutbah disampaikan memunculkan pertanyaan, siapakah yang bersalah dan bertanggungjawab atas apa yang tengah terjadi dalam tubuh umat ini?

Pertanyaan di atas seharusnya bisa terjawab. Acara pelatihan khatib dan imam jumat harus digalakan dengan target untuk mencapai memperbaiki dan mengobati kondisi ironis dalam acara jumatan. Pelatihan-pelatihan seperti ini, juga diyakini mampu mengarahkan sistematika dan materi khutbah yang lebih baik, dan ini secara tak langsung akan memberi pengaruh dalam pengobatan berbagai penyakit kronis yang menimpa umat Islam.

FENOMENA DAKWAH MODERN
Dalam dua dekade ke belakang, dakwah yang disampaikan kiai pop (demikian Prof. DR. Jalaluddin Rachmat menyebut para muballigh yang dibesarkan media, seperti yang ia tulis dalam buku Ajengan Cipasung karya Iip D. Yahya, 2004) sedemikian membahana di tengah-tengah masyarakat kita. boombastisnya dakwah di TV lalu menjadi tren dakwah yang di awal-awal masanya benar-benar bisa memberikan daya gugah dan daya rubah. Namun belakangan, umat terkesan kecapean dan lalu melewatkan begitu saja tontonan gratis yang dibawakan para da’i kondang yang sebetulnya sayang untuk dilewatkan ini.

Pertanyaannya, apakah umat telah merasa jenuh untuk sekedar meluangkan waktu paginya demi hal positif penyiram dahaga rohani ? ataukah mereka lebih suka memilih acara berita terhangat ataupun acara infotainment? Apakah —kalau boleh lebih jauh kita mempertanyakanmasalah pelik ini— ada yang salah secara internal atau eksternal dalam tubuh umat ini?

Masalah demi masalah yang diajukan dari awal sampai akhir dalam penulisan makalah sederhana ini, adalah bahan refleksi untuk kita semua, penulis khususnya, dalam rangka ‘mengurai benang kusut’ dari pertanyaan yang terjadi seputar kabar paling mutakhir dari problematika dakwah Islam di republik tercinta ini.
Wallaahu min waraa al- qashd

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO