Selasa, 12 Mei 2009

tasik antara santri, gay dan babi

Oleh: Asep M Tamam*

Siapa orang Tasik yang tak bangga dengan Tasik? Pastinya tidak ada. Kota cantik tempat tinggal kita semua ini -dengan hawa sejuknya yang membetahkan- terkenal karena tangan penduduknya yang motekar. Tikar mendong, kelom geulis, sandal kulit, payung geulis, berbagai karya bordir, berbagai karya kerajinan tangan, batik dan lainnya menjadi bukti nyata kemotekaran warga Tasik.

Tengoklah di setiap jengkal tanahnya, gunung, laut, kekayaan bumi dan letak geografisnya yang luar biasa indahnya. Lihatlah juga mojangnya yang gareulis dan jajakanya yang karasep dengan adat priangannya yang sopan dan pikayungyuneun. Intip juga di setiap pori-pori kampungnya, lantunan suara merdu dari load speaker masjid mengumandangkan lantunan bacaan al- Quran dan puji-pujian; sebuah tradisi yang berpuluh-puluh tahun telah terbina apik, wujud dari nafas religis warganya yang selain nyakola juga nyantri. Nikmati juga pemandangan di tiap sore hari, tak ada aktivitas bagi ibu-ibu kita selain mengaji. Bagi mereka, slogan ”tiada hari tanpa mengaji” sudah menjadi nafas dan mendarah daging dalam keseharian. Perhatikan juga rutinitas di pesantren-pesantren, siapa yang tak reugreug menyaksikan anak-anak kita digembleng siang dan malamnya untuk menjadi penerus tradisi kesalehan masyarakat Tasik.

Di Tasikmalaya (kabupaten dan kota) pada tahun 1993 tercatat 613 pesantren dengan jumlah santri 61.000 orang. Data tahun 2009 menyebutkan di kabupaten Tasikmalaya terdapat 604 pesantren dengan jumlah kyai 837 orang, jumlah santri laki-laki 41.203 orang dan 38.241 santriwati. Di kota Tasikmalaya, data terbaru mencatat jumlah pesantren 249 buah dengan 19.093 santri mukim dan 29.541 tidak mukim. Ini adalah prestasi membanggakan di mana Tasik menjadi wilayah tingkat dua di negeri ini yang menampung pesantren dan santri terbanyak.

Di Balik Kebanggaan itu
Kentalnya aroma Tasikmalaya dengan nuansa ‘seribu santri’ bisa disaksikan dari wara-wirinya para kiai dan para santri yang hilir mudik di setiap tempat dan sepanjang jalan, dari utara sampai selatan dan dari barat sampai timur hingga di pusat kota Tasik. Hal ini diperkuat dengan visi “religius Islami” yang senantiasa dipegang teguh dan menjadi wacana yang terus mengumandang di tengah warganya.

Namun di balik kebanggaan itu, hari-hari terakhir ini Tasikmalaya diguncang dua isu menghebohkan; gay dan babi. Ke-kotasantri-an Tasikmalaya lalu dipertaruhkan dan dipertanyakan. Akankah predikat yang telah lama melekat dalam wacana ke-Tasik-an itu akan terus tergerus dan rasa keagamaannya akan bertambah hambar? Ataukah Tuhan sengaja menghadirkan dua isu besar ini agar kita semua introspeksi dan memperkuat barisan agar radiasi daya cemarnya tak bertambah luas.

Di atas segalanya, dua isu besar itu cukup mengganggu suasana nyaman Tasik pasca kerusuhan Desember 1997 yang adem ayem. Isu gay yang tak bisa dianggap main-main itu misalnya, harus menjadi bahan kajian berbagai elemen dan isu ini adalah kesalahan kolektif warga Tasik. Jangan-jangan, selama ini semua sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga semua dibuat terlena. Pemerintah sibuk dengan program-programnya, para ulama sibuk mengasuh santri dan jamaahnya, anggota dewan sibuk dengan kampanye dan dunia politiknya, para guru, civitas akademika kampus, para pengusaha dan para tokoh warga masyarakat sibuk dengan dunianya masing-masing sehingga akhirnya kecolongan.

Harus diakui, bila benar entitas kaum homo itu ada di Tasik dan jumlahnya benar fantastis yaitu 900 orang, ini benar-benar memalukan sekaligus memilukan. Jumlah itu bahkan disinyalir lebih banyak dari jumlah gay yang ada di padayeuh Bandung. Namun sekali lagi, tak elok rasanya bila kesalahan itu dialamatkan ke salah satu alamat karena ini adalah kesalahan kolektif yang hadir tidak untuk diratapi, tapi agar semua elemen sinergis dan bergerak ke depan mencari solusi mengembalikan anak-anak kita ke jalan yang lurus dan mencerahkan.

MUI sebagai garda terdepan dalam menjamin kesehatan rohani warga Tasik, harus lebih pro aktif dalam menangani masalah serius ini untuk mengurai benang kusut yang terjadi di tengah-tengah umatnya. Bila ketua MUI kota Tasik yang di awal kemunculan isu gay ini berjanji untuk segera bergerak dan sinergis dengan pihak kepolisian, maka kita sebagai warga Tasik harus mendorong dan menjadi bagian dari proses itu. Tentunya, kita tengah menunggu janji ketua MUI itu digodok hingga matang dan diimplementasikan dalam bentuk aksi nyata, tentunya lebih lekas lebih bagus.

Bila di Amerika, Eropa dan di negara-negara besar dan demokratis lainnya homoseks merupakan fenomena biasa, tapi di Tasikmalaya yang nyantri dan agamis, hal ini luar biasa, kita harus mengkaji ulang dan mencari solusi terbaik agar herang caina, beunang laukna. Di tengah wacana digulirkannya perda syari’ah, di kala kasus-kasus yang menimpa anak-anak Tasik terus diangkat dalam pemberitaan media, maka isu gay ini harus menjadi prioritas utama mengingat “daya tularnya” yang sporadis dan sangat cepat.

Tak hanya kasus gay, munculnya kasus global yang menjadi bahan kewaspadaan warga negara kita, flu babi (H1 N1) memunculkan kembali wacana RPH (rumah pemotongan hewan) babi yang lokasinya ada di wilayah hukum kota Tasikmalaya. Dilema besar bagi pemerintah kota dan kabupaten Tasikmalaya ini harus didiskusikan ulang oleh pemerintah, DPRD, para ulama dan tokoh masyarakat lainnya sehingga opsi terbaik, sepahit apapun hasilnya bisa menjadi pegangan. Lokalisasi ‘barang haram’ ini tak ubahnya seperti lokalisasi WTS, artinya dilokalisasinya babi ini di satu tempat saja, agar dampak negatifnya –seperti dikatakan drh. H. Budi Utarma, kadis peternakan, perikanan dan kelautan kabupaten Tasikmalaya, Priangan 6/5- tak sampai meluas dan mencemari kehidupan warga Tasik secara umum.

Islam yang diajarkan para ulama kepada umatnya, khususnya di Tasikmalaya telah menempatkan babi pada posisi yang begitu kotornya. Maka amatlah wajar ketika isu global flu babi ini muncul, mata warga Tasik kembali terbelalak. Mereka pun akhirnya tahu bahwa permintaan pasar di Tasik, Banjar, Ciamis dan kota lainnya akan daging babi cukup tinggi. Dilema seperti tahun-tahun ke belakang itu lagi-lagi menyeruak.

Akhirnya kita berharap, keseriusan berbagai pihak dalam menangani dua isu besar yang melanda warga Tasik ini segera menemukan jalan keluar terbaiknya. Tentunya kita tak ingin gara-gara dua isu ini semua kalangan menjadi katempuhan, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Maka gebrakan para pemimpin kita dalam menyelesaikan masalah ini, tak sabar kita nantikan.
Wallaahu min waraa al- qashd

Penulis adalah ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAI Cipasung dan dosen LB STAI Tasikmalaya dan FKIP UNIGAL Ciamis.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Followers

arabiyyatuna © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO